Jumat, 16 September 2011

SULITKAH MENULIS SKRIPSI?

Semester ini aku mendapat tugas membimbing penulisan skripsi satu orang mahasiswa. Sekitar satu minggu sesudah seminar proposal dia menemui aku untuk memulai bimbingan. Setelah memberikan masukan untuk memperbaiki disain penelitiannya, aku bertanya kepadanya, "Berapa hari lagi kamu akan menemuiku untuk konsultasi? Seminggu lagi? Dua minggu lagi?" Dia mengiyakan dengan bilang, "Insya Allah seminggu lagi"
Beberapa hari hingga tiga minggu berikutnya dia sama sekali tidak menghubungiku. Akhirnya aku SMS mahasiswa itu, "Kapan skripsi dikonsultasikan?". Dia menjawab, "Maaf pak, masih saya ketik" Hingga beberapa minggu berikutnya, dia tetap tidak menghubungiku. 
Suatu ketika aku ketemu dia di kantor jurusan, dan langsung aku tegur, "Mana skripsinya? Cepetan, keburu ujian". Dengan santun dia mendekatiku dan bilang, "Begini pak. Skripsi saya masih kena virus. Nanti kalau sudah selesai saya konsultasikan.
Sekitar enam minggu sejak pertemuan pertama, mahasiswa itu menghubungiku, "Pak, mohon waktu untuk konsultasi". Kontan aku tunggu di ruang dosen. Setelah satu setengah bulan, aku pikir naskahnya pasti sudah setengah jadi. 
Aku kaget. Ternyata, dia hanya membawa flash disk. Setelah aku buka, isinya hanya ketikan tidak teratur, yang kelihatannya baru asal ketik, sebanyak 2 halaman dengan ketikan 1 spasi. "Lha mana? Masa cuma ini?" Tanyaku. "Begini pak. Yang lain masih saya ketik. Ini bahannya sudah saya bawa" jawabnya dengan menunjukkan beberapa lembar foto copy dan catatan di buku tulis.  
Dalam hati aku kecewa. Setelah menunggu sekian lama ternyata belum mengerjakan apa-apa. Meski begitu, aku berusaha bersabar. "Oke. segera diselesaikan bab I saja, nanti segera konsultasikan dengan saya. Berapa hari lagi ketemu saya? Seminggu lagi? dua Minggu?" Tanyaku, disamping memberikan beberapa motivasi agar segera diselesaikan.
Setiap minggu sesudah itu aku selalu SMS, "Bagaimana skripsinya? Kapan dikonsultasikan?" Jawabannya selalu sama, "Maaf pak. Masih saya ketik" Meski begitu, hingga beberapa minggu kemudian dia tidak menghubungiku. 
Sekitar satu bulan sesudah itu, dia baru SMS aku, "Pak, mohon waktu untuk konsultasi bab I, II, dan III" Dalam hati aku mengira, kali mahasiswa itu bekerja keras. Aku hanya minta bab I diselesaikan, ternyata sudah selesai 3 bab. 
Setelah ketemu lagi, aku kembali kecewa, sebab ternyata dia masih membawa file yang sama. Bab II dan bab III yang dia bilang itu hanya ketika asal-asalan sekitar 4 lembar saja. Sebenarnya aku mulai berfikir, ternyata mahasiswa ini lemot banget kerjanya. 
Meski begitu, aku tetap menunjukkan sikap ramah, dan berusaha memberi motivasi agar segera diselesaikan. Aku bahkan minta dia kirim naskahnya lewat email bila selesai sewaktu-waktu. Beberapa minggu kemudian dia beberapa menemui aku dengan membawa naskah yang sama. Paling hanya ada tambahan sekitar 1 atau 2 paragraf saja. Itupun dengan ketikan asal-asalan. Dia kelihatan sekali belum terbiasa mengetik dengan komputer. 
Aku mulai berfikir, mungkin dia tidak akan ikut ujian skripsi semester ini, sebab ketika teman-temannya ujian skripsi, dia baru menulis sekitar 12 halaman saja. Rupanya aku keliru, sebab dia bilang mentargetkan ikut ujian berikutnya, sekitar sebulan lagi.
Melihat kemampuan menulisnya yang lamban aku membantu dia menyusun bab II. Dengan menunjukkan beberapa referensi, satu hari sebelum liburan hari raya dia punya tambahan tulisan sekitar 20 halaman. Tulisannya sendiri sudah sekitar 18 halaman. Jadi total naskahnya baru sekitar 38 halaman. Itu berarti masih kurang, 22 halaman untuk mencapai jumlah 60 halaman.
Setelah libur hari raya, dia kembali menemui aku. Sebelumnya aku minta dia membawa naskah lengkap yang sudah tercetak, karena dia bilang sudah selesai seluruhnya. Ketika ketemu, aku kembali kecewa, sebab dia tidak membawa naskah yang aku minta. "Mana naskahnya?" tanyaku. "Ini sudah 10 halaman terakhir yang saya cetak" jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Kalau gitu, dicetak dulu semua baru konsultasikan. Kalau sudah siap silakan hubungi saya atau kirimkan lewat pos ke rumah" Jawabku tegas.
Subhanallah.... Keluhku dalam hati. Besok pagi ada jadwal ujian skripsi terakhr, dia cuma membawa 10 lembar naskah skripsi untuk konsultasi. Dalam hati aku jengkel sekali. Aku benar-benar yakin mahasiswa itu tidak cukup siap untuk menulis skripsi.     
Kemarin dia menghubungiku untuk konsultasi. Meski bukan hari kerja, aku sempatkan diri datang ke kampus.  Aku berharap tidak mengecewakannya, meski dia tidak bisa ujian semester ini. Kali ini dia benar-benar membawa naskah lengkap dalam map plastik warna hijau. 
Isinya lengkap mulai halaman judul hingga lampira-lampirannya sekalian. Setelah aku bukan, ternyata baru 43 halaman saja, belum cukup untuk ikut ujian. Bab IV belum ada. Isi bab IV hanya daftar nama siswa. "Lho, bab IV kok isinya daftar nama siswa?" tanyaku. "Jadi harus saya perbaiki, pak?" tanyanya lugu. 
"Bukan diperbaiki. Kamu harus buat. Caranya begini... begitu..." Jelasku menahan jengkel. "Berarti yang belum disetujui hanya bab IV dan bab V?" tanyanya lagi tanpa merasa bersalah. "Iya" jawabku, sembari meminta dia segera melengkapi.
Sebenarnya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam penulisan skripsi itu, tapi aku mulai berfikir, percuma saja memintanya membenahi, karena aku pikir itu hanya akan membebani dia. Sesudah dia pergi, aku hanya berfikir apakah waktu masih mahasiswa aku seperti dia? Jangan-jangan aku seperti itu, atau lebih buruk. 
Karena dia tidak sempat ikut ujian, aku berbasa basi dengan bertanya, "Kamu tidak ditanya, kenapa tidak ujian?"
"Iya, pak" jawabnya.
"Kamu jawab gimana?"
"Belum dapat acc dari pembimbing?"
Dalam hati aku kecewa membimbing mahasiswa itu. Mengapa dia tidak menjawab memang belum bisa menyelesaikan?" tanyaku tersinggung. Padahal dia tahu sampai hari ini naskahnya baru 40-an halaman, sehingga belum bisa diujikan. Bab IV isinya masih seperti itu. Dia begitu lamban bekerja, tetapi mengapa seolah menyalahkan aku seakan tidak mampu membimbingnya?
Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku yang tidak mampu membimbing atau dia yang kemampuan menulisnya tidak terlalu rendah? Karena itu, aku tanya padanya, "Apakah kamu tidak biasa menulis? Mengapa kamu begitu lamban menulisnya?"  
Padahal seingatku, menulis skripsi adalah bagian paling mudah yang aku ingat selama kuliah. Aku masih ingat berapa halaman yang aku tulis, bahkan harus dikurangi oleh pembimbingku karena terlalu banyak. Waktu itu aku menulis skripsi sekitar 150 halaman, dan harus dipangkas tinggal sekitar 110 halaman.
Kali ini, aku ketemu mahasiswa yang menulis 60 halaman saja begitu berat. Padahal ketika melihat daftar riwayat hidupnya, mahasiswa itu diterima di perguruan tinggi negeri ini melalui jalur PMDK. Kok bisa?

Selasa, 13 September 2011

SEKOLAH SWASTA HARUS LEBIH BAIK


Pendidikan termasuk bidang layanan sosial, sama dengan bidang sosial lain seperti kesehatan, panti rehabilitasi, panti sosial, panti jompo dan panti asuhan. Penyediaan bidang-bidang layanan sosial pada dasarnya merupakan tugas negara atau pemerintah. Hanya saja, tanggung jawab pemerintah hanya memberi pelayanan pada masyarakat dengan standar minimal.

Dalam bidang kesehatan misalnya, pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Karena pelayanan pemerintah hanya bersifat minimal, maka masyarakat yang memerlukan fasilitas yang lebih baik dan fasilitas tambahan lainnya secara otomatis harus mengeluarkan biaya sendiri. Mereka yang kurang mampu secara ekonomi berhak memperoleh pelayanan kesehatan gratis, tetapi tidak mungkin diberi fasilitas paviliun. 
Pelayanan pendidikanpun berlaku hal yang sama. Tanggung jawab pemerintah pada dasarnya hanya menyediakan layanan pendidikan dengan kualitas minimal, baik sarana, prasarana, kurikulum pendidikan, maupun pelayanannya.
Perbedaan tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan pola pikir menjadikan sebagian masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik dibanding yang disediakan oleh pemerintah. Inilah yang melatarbelakangi munculnya lembaga-lembaga layanan sosial non-pemerintah, swasta, termasuk pendidikan.
Sekalipun pemerintah menyediakan layanan kesehatan melalui puskesmas dan rumah sakit yang relatif murah, tetapi sebagian masyarakat ada yang memilih berobat ke rumah sakit swasta, bahkan ke luar negeri yang sudah pasti tidak lebih murah. Mereka tidak dapat disamakan dengan masyarakat kebanyakan, karena sudah membutuhkan kenyamanan dan akurasi pengobatan yang lebih baik.
Pemerintah juga menyediakan sekolah-sekolah negeri yang murah, bahkan gratis. Meski demikian, ada juga masyarakat yang membutuhkan kualitas pendidikan lebih baik dibanding yang disediakan oleh pemerintah. Mereka adalah anggota masyarakat yang memiliki karakteristik:
1.      Menempatkan anak sebagai prioritas.
Mereka menaruh harapan tinggi pada masa depan putera-puterinya. Mereka berharap putera-puterinya menjadi orang sukses di masa depan, bahkan lebih sukses dibanding dirinya sendiri.
2.      Menempatkan pendidikan sebagai prioritas.
Mereka memandang pendidikan sebagai kebutuhan terpenting di atas berbagai kebutuhan lain. Mereka rela mencurahkan segala daya-upaya agar putera-puterinya mendapat pengalaman belajar sebaik mungkin.
3.      Selektif terhadap pendidikan.
Berbeda dari masyarakat kebanyakan, mereka adalah masyarakat yang memiliki visi dan tujuan hidup yang jelas. Mereka menyekolahkan putera-puterinya karena mempunyai harapan, bahkan target-target tertentu. Mereka bukan penganut paham “asal sekolah”. Mereka hanya memilih sekolah terpercaya, sesuai dengan yang mereka butuhkan.
4.      Percaya bahwa kualitas pendidikan menentukan kualitas dan masa depan putera-puterinya.
Mereka memiliki keyakinan bahwa pendidikan merupakan jalan lapang untuk mengantarkan kesuksesan putera-puterinya di masa depan. Mereka menempatkan pendidikan yang baik hingga jenjang tertinggi sebagai tumpuan.
5.      Berpandangan ke depan (futuristic).
Mereka adalah masyarakat yang menyadari bahwa persaingan hidup di masa depan semakin ketat. Mereka memiliki kepekaan sosial tinggi, menyadari bahwa tantangan sosial yang dihadapi oleh putera-puterinya kian berat dan membutuhkan kewaspadaan tinggi.
Oleh karena itu, mereka berusaha membekali putera-puterinya dengan pengalaman pendidikan yang lebih baik dibanding masyarakat kebanyakan. Selain sebagai wahana mengantarkan sukses, pendidikan yang baik mereka harapkan dapat menyelamatkan putera-puterinya dari berbagai persoalan sosial, seperti kenakalan remaja dan problem-problem patologis lainnya.
Masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan di atas standar yang ditentukan oleh pemerintah tersebut tentunya siap dengan konsekwensi biaya pendidikan yang lebih besar. Pilihan mereka terhadap sekolah swasta dikarenakan mereka berharap memperoleh jaminan pelayanan yang lebih baik. Demi memenuhi kebutuhan mereka akan pendidikan bermutu, tidak sedikit di antara mereka yang bahkan memilih sekolah di luar negeri meski tidak murah.
Itulah sebabnya, sekolah swasta harus lebih baik dibanding sekolah milik pemerintah baik dari segi kualitas pendidikan maupun pelayanannya. Hal ini dikarenakan tujuan sekolah swasta adalah memberikan alternatif layanan pendidikan yang lebih baik dibanding layanan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.
Pengembangan kualitas pendidikan, kualitas layanan, SDM serta sarana dan prasarana mutlak diperlukan agar sekolah swasta mampu memberikan nilai tawar lebih tinggi dibanding sekolah milik pemerintah. Sekolah swasta harus menempatkan diri sebagai sekolah aktenatif, yaitu sekolah yang menawarkan berbagai keunggulan dibanding sekolah konvensional. Sekolah semacam diperuntukkan bagi masyarakat yang rela mengorbankan biaya demi memperoleh pendidikan dengan kualitas lebih baik.
Masalahnya, banyak guru dan pengelola sekolah swasta yang justeru salah menempatkan diri. Mereka tidak berusaha menjadi sekolah alternatif yang lebih baik dibanding sekolah negeri, bahkan ada yang justeru menjadikan sekolah negeri sebagai acuan. Akibatnya, banyak sekolah swasta tidak berkembang dan hanya mampu menempatkan diri sebagai “sekolah buangan” bagi siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri.
MENGUBAH POLA PIKIR
Hal pertama yang perlu dilakukan agar sekolah swasta berkembang adalah mengubah pola pikir segenap guru dan pengelola sekolah wajib.
1.      Dari pola pikir inferior atau rendah diri menjadi self confidence atau percaya diri.
Banyak orang yang kurang percaya diri dengan status swasta. Padahal swasta berasal dari kata swa hasta yang berarti mandiri, mampu hidup dari tangan sendiri. Sekolah swasta harus tampil percaya diri, bangga sebagai sekolah swasta.
2.      Sekolah swasta harus di atas sekolah negeri, bukan sebagai “pengikut” sekolah negeri.
Berbagai inovasi pendidikan mayoritas lahir dari sekolah swasta, bukan negeri. Kemajuan ekonomi negara mayoritas ditentukan oleh tingkat kemajuan perusahaan-perusahaan swasta, bukan perusahaan pemerintah.
3.      Sekolah swasta harus menempatkan diri sebagai pelayanan jasa yang mampu memberikan nilai lebih dibanding sekolah pemerintah.
Sekolah negeri bukan acuan sekolah swasta, bukan pula pesaing, sebab segmentasi sekolah swasta adalah masyarakat yang  bersedia mengeluarkan biaya demi memperoleh nilai tambah.   
Sebagaimana sektor pembangunan ekonomi, kemajuan perekonomian sangat ditentukan oleh peran pihak (perusahaan) swasta dibanding perusahaan pemerintah (BUMN). Hal ini dikarenakan kalangan swasta pada umumnya cenderung lebih dinamis, kreatif dan penuh inovasi dibandingkan kalangan pemerintahan.
Demikian pula dengan pendidikan, di mana inovasi dan berbagai kemajuan di bidang pendidikan juga lahir dari lembaga-lembaga pendidikan swasta, bukan sekolah pemerintah. Hal ini dikarenakan sekolah swasta lebih bebas untuk melahirkan berbagai inovasi dibanding sekolah negeri yang terbelenggu birokrasi. Karena itu, perkembangan pendidikan swasta diakui sebagai indikator penting yang menunjukkan maju-tidaknya pendidikan suatu daerah, bahkan negara.
Di negara-negara maju dan kota-kota besar, sekolah swasta merupakan pilihan pertama bagi masyarakat sadar pendidikan. Sekolah-sekolah terkemuka di kota-kota besar juga didominasi sekolah-sekolah swasta.
Universitas terkemuka di dunia mayoritas didominasi oleh universitas swasta. Karena itu, untuk mendorong kemajuan pendidikan, hampir semua universitas negeri terkemuka di Indonesia saat ini “diswastakan” melalui penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Sabtu, 09 April 2011

BUKAN NABI

-->
Sejak mendirikan lembaga pendidikan ini sebelas tahun silam, hidupku terasa penuh tekanan. Aku merasa benar-benar kehilangan kenyamanan hidup. Aku sering berfikir, bahwa mengelola lembaga pendidikan adalah pilihan hidup yang bodoh.
Bagaimana tidak, terlalu banyak energi harus aku keluarkan hingga nyaris tidak ada yang tersisa untuk mengerjakan pekerjaanku sendiri, mengatur keluarga, terutama memberi perhatian pada anak-anak. 
Pekerjaan ini menyita tenaga dan pikiranku 24 jam sehari, tanpa hasil apapun. Aku sering bertanya, apa yang aku dapatkan dengan semua ini? Pahala belum tentu kudapat, tetapi dosa sudah pasti di depan mata. Konyol!!
Bagaimana mungkin mendapat pahala, sedangkan untuk bekerja secara ikhlas sungguh tak mudah kulakukan? Terlalu besar masalah, tantangan dan ancaman yang harus kuhadapi demi misi ini, mulai dari dicibir orang, dicaci-maki, dijegal, digembosi bahkan hampir diserang secara fisik. Sampai-sampai aku punya keyakinan, bahwa asal tidak dipaido (mencaci-maki) orang saja, itu sudah prestasi tertinggi yang bisa kuraih. Tragis!!
Aku benar-benar bekerja sendiri. Sebelum beberapa tahun terakhir, hampir tidak satupun tetangga sekitar yang mendukungku. Baru sejak  sekitar 2-3 tahun ini saja, terutama setelah lembaga pendidikan ini cukup dipercaya masyarakat, beberapa  orang yang mulai respek dengan usahaku, paling tidak, mereka sudah bersikap netral. Selain mereka, masih ada beberapa pihak dari aparat dinas, guru sekolah lain maupun masyarakat yang masih tetap menunjukkan sikap tidak respek, bahkan tak henti menggembosi lembaga pendidikan ini dengan berbagai cara.
Masih ada pula sebagian orang yang bahkan tetap tidak respek, meski mereka bekerja padaku sebagai guru atau pegawai. Baru setahun terakhir saja sebagian besar guru-guru dan pegawai bersikap netral. Sebelumnya, mereka dengan mudah berbalik menyerangku bahkan mengajak serta wali murid bilamana aku ingatkan, ketahuan berbuat salah, bermaksud memaksakan kehendak atau aku libatkan dalam pengembangan program baru.
Hari ini sebenarnya aku mulai merasa tidak benar-benar sendiri. Sudah ada beberapa orang guru, pegawai dan wali murid yang mendukungku, tapi masih ada beberapa orang yang tidak mau tahu dan mau menang sendiri. Meski tidak banyak membantu mengatasi, setidaknya mereka yang peduli sedikit mengurangi beban mentalku. 
Mengelola lembaga pendidikan bukan pekerjaan yang menghasilkan uang, meski banyak orang mengira demikian. Sebaliknya, terlalu banyak materi dan kesempatan yang harus kami relakan demi membuat lembaga pendidikan ini bertahan dan terus berkembang.  
Untuk memenuhi kebutuhan lembaga pendidikan ini, kami bahkan harus menanggung hutang pribadi ratusan juta kepada pribadi maupun beberapa bank dan perusahaan leasing, tanpa seorangpun peduli. Kami lebih sering harus mengabaikan kebutuhan hidup keluarga demi membuat lembaga pendidikan ini berkembang. Aku sering berfikir, andaikata dulu memilih membuka usaha dan bukan membuat lembaga pendidikan, pasti saat ini usaha itu sudah cukup besar dan bisa dinikmati hasilnya. 
Aku sering bertanya-tanya, apakah mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan ini sebagai pilihan yang salah dalam hidupku? Seharusnya yang mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan adalah mereka yang sudah tidak membutuhkan pengembangan diri, karier apalagi materi. Pekerjaan ini seharusnya dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak uang, sekaligus punya kepedulian tinggi untuk mencerdaskan masyarakat. Aku merasa sama sekali tidak memenuhi kualifikasi itu, meski juga tidak terlalu yakin manusia semacam itu ada.
Mungkin pekerjaan semacam ini seharusnya memang bukan untuk manusia biasa sepertiku. Ini pekerjaan para nabi yang tidak pernah menyerah. Mereka rela mengorbankan apa saja dengan penuh keikhlasan untuk berjuang membebaskan umatnya dari kebodohan, serta membantu menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi generasinya, sedangkan aku sama sekali bukan nabi.

Jumat, 25 Februari 2011

SUKSES ITU JADI PEGAWAI?


Karena sedang merintis usaha, dua tahun lalu aku berkunjung ke sebuah peternakan sapi skala menengah di Malang dalam rangka studi banding. Aku tertarik dengan usaha yang lumayan besar itu, dengan total aset sekitar 2 M.
Pembicaraan menjadi gayeng, karena rupanya pak Didik, pemilik dan pengelola peternakan itu orang Madiun seperti aku. Di antara ceritanya soal usaha penggemukan sapi potong, pak Didik sempat bercerita tentang bagaimana dia sampai di daerah itu.
Sejak lulus kuliah tahun 1984, dia merasa tidak nyaman di rumah. Dia enggan pulang ke kampung halamannya di Madiun, sebab di daerah itu ada anggapan bahwa anak muda, terutama sarjana dianggap belum sukses kalau belum jadi pegawai.
Aku merasa geli mendengarnya, sebab itu pula yang aku alami saat menjelang selesai kuliah dulu. Alasan itu pula yang membuat aku enggan dan tak nyaman untuk pulang. Keluarga, orang tua, tetangga dan masyarakat memandang aneh ketika aku bilang tak ingin menjadi pegawai negeri. Semua mencemooh ketika aku bilang ingin berwirausaha. Mereka seolah sepakat bahwa, "sukses itu berarti menjadi pegawai"
Rupanya anggapan serupa juga berlaku di daerah lain. Di berbagai daerah juga banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi pegawai. Mereka melakukan segala cara agar dapat segera diangkat menjadi pegawai negeri, mulai dari demonstrasi di jalanan sampai suap menyuap.
Seiring jalannya waktu, rupanya anggapan itu belum juga sirna dari alam pikiran orang Madiun. Kemarin aku sempat bertemu seorang ibu, istri tentara. Dia begitu prihatin pada anak-anaknya yang sarjana bekerja di PT INKA dan satunya buka toko. Dia merasa belum tenang kalau mereka belum menjadi pegawai pemerintah seperti ayahnya.
Padahal di sela ceritanya dia selalu mengeluh betapa selama ini kehidupannya sebagai istri TNI terasa pas-pasan. Dia baru merasakan punya rumah sendiri hingga 2 tahun menjelang pensiun. Dia bahkan belum pernah sekalipun menikmati rasanya memiliki mobil bekas, kecuali milik puteranya yang membuka usaha toko kelontong.
Dia tak akan bosan mencari jalan agar anaknya bisa menjadi pegawai. Dia bilang belum merasa tenang bilamana anak-anaknya masih berstatus orang swasta. Dia seakan lupa bahwa kehidupan putera-puterinya sudah jauh lebih baik dibanding saat dia dan suaminya baru mulai berumah tangga dengan status tentara.
Sungguh mengherankan, di tengah dinamika perekonomian nasional dan dunia saat ini ternyata masih terlalu banyak masyarakat berpikiran picik. Pemikiran era kolonial yang menganut negara pegawai (beemtenstaat) yang mendewa-dewakan status pegawai pemerintah masih begitu mendominasi alam pikiran para orang tua.
Mereka memandang status swasta (swa hasta) yang berarti kemandirian sebagai ironi hidup, bukan kemuliaan yang penuh harapan. Padahal ukuran kemajuan perekonomian diukur dari seberapa kuat kaum wirausahawan berkembang, bukan berapa banyak pegawai. Wirausaha adalah sisi dunia yang penuh harapan dan lebih menjanjikan kemajuan dibanding pegawai yang hanya bersifat instrumental.
Seharusnya anggapan semacam itu sudah usang dan selayaknya ditinggalkan. Sayangnya, aku sendiri belum mampu melepaskan diri dari pola pikir naif itu. Meski secara finansial bukan penopang utama ekonomi keluargaku, tapi aku masih dengan suka cita menjalani statusku sebagai pegawai negeri.

Rabu, 16 Februari 2011

DITOLAK SMP NEGERI, TETAPI SAMPAI SINGAPURA

Nilai UASBN murni siswa kami tahu lalu sangat buruk. DANUM tertinggi siswa hanya 24 dan yang terendah 20. Nilai ini berbeda jauh dibanding lulusan sekolah lain, terutama sekolah negeri, yang rata-rata di atas 24.
Akibatnya, mayoritas siswa tidak diterima di SMP Negeri pilihan pertama, yaitu SMPN 1 Tanjunganom Nganjuk. Sebagian siswa memilih ke SMP negeri pilihan kedua, dan sebagian lagi asal memilih sekolah saja.
DANUM Alynka, siswa terpandai di sekolah kami, SD Islam Darush Sholihin, hanya 24. Otomatis dia tidak diterima di sekolah negeri yang dia tuju, SMP Negeri 1 Nganjuk. Sebagai lulusan sekolah plus ternama di wilayah ini, Alynka jadi bahan tertawaan sanak-saudara dan para tetangganya.
Sebelum mendaftar ke sekolah negeri, Alynka dan Diana sudah diterima di kelas RSBI di Darul Ulum Jombang, karena penerimaan sekolah tersebut menggunakan jalur tes.
Dari ratusan calon siswa baru, Alynka yang hanya mempunyai DANUM 24 diterima di sekolah tersebut dan berada pada reangking 9. Diana yang memiliki DANUM 23 hanya reangking 19. Puteri tetangga kami lulusan sekolah negeri terfavorit di kecamatan yang memiliki DANUM 28 juga diterima dan berada di reangking 120.
Setelah beberapa bulan di sekolah, Alynka mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Singapura. Dari ribuan siswa di kabupaten Jombang, Alynka termasuk 1 di antara 2 siswa yang lolos mewakili kabupaten Jombang dalam pertukaran pelajar ke Singapura.
Saat ini Alynka menduduki peringkat 1 di kelas unggulan RSBI dan Diana peringkat 1 di kelas RSBI reguler. Tidak ada lagi yang berani menertawakan gadis manis itu. Tidak ada lagi yang berani menilai rendahnya DANUM sebagai indikator rendahnya kualitas di sekolah kami.
Meski DANUM siswa rendah, 20, Puput dan teman-temannya yang mendaftar di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tanjunganom diterima di kelas unggulan. Siswa lain yang memilih SMP Negeri pinggiran berada pada reangking atas di sekolahnya.
Di sekolah ini memang tidak mengijinkan guru membantu siswa dalam UASBN sebagaimana yang biasa terjadi di sekolah lain di kabupaten Nganjuk. Kami tidak mendukung nilai UASBN dipakai sebagai dasar penerimaan siswa sekolah lanjutan, sebab UASBN di daerah ini penuh kecurangan. Nilai DANUM SD/MI di daerah ini tidak valid, dan sama tidak mewakili kemampuan siswa.

KEBIASAAN BAIK DAN KEBERHASILAN BELAJAR

Belajar adalah kebutuhan penting, tetapi faktanya tidak semua anak manusia merasa membutuhkannya. Mengapa demikian?
POTENSI BELAJAR
Kesadaran seseorang untuk belajar seringkali bukan ditentukan oleh pengetahuan, sebab tidak semua anak manusia menyadari yang dia butuhkan, apalagi anak-anak. Kebutuhan biasanya muncul ketika seseorang merasa terdesak oleh suatu keadaan atau menghadapi situasi di luar kebiasaan.
Manusia mempunya dua belahan otak, otak kanan dan otak kiri. Otak kanan membuat manusia mampu berfikir dan berkreasi. Otak kiri membuat manusia memiliki insting dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, pola hidup manusia lebih banyak dikendalikan insting dan kebiasaannya dibandingkan kemampuan berfikir dan kreatifitasnya.
Kemampuan berfikir dan berkreasi memang dibutuhkan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Kemampuan ini perlu dilatih melalui pendidikan agar mereka memiliki berbagai kecakapan untuk hidup. Meski demikian, melatih kemampuan berfikir dan berkreasi tersebut tidak mudah bilamana manusia tidak memiliki kebiasaan baik dan teratur.
Kemampuan belajar anak lebih ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki.
Anak yang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik disebut anak cerdas emosi (EQ tinggi). Mereka memiliki pola hidup teratur, santun dan toleran. Meski berkecerdasan kognisi (IQ) normal, mereka lebih berhasil dalam belajar dibanding ber-IQ tinggi tetapi ber-EQ rendah.
YANG HARUS KITA LAKUKAN
Melihat kenyataan tersebut, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membina kecerdasan emosi. Anak cerdas emosi memudahkan proses pembelajaran dan pengembangan potensi intelektual dan vokasional.
Di antara langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Menciptakan lingkungan sekolah yang berbudaya teratur, tertib, disiplin, dan bersih.
a. Keteraturan membuat manusia lebih bahagia.
b. Kondisi mental orang yang hidup teratur lebih stabil dan tidak mudah terpancing emosi dibanding yang sebaliknya.
c. Keteraturan membuat setiap tugas dapat diselesaikan sesuai rencana.
d. Keteraturan membuat kehidupan dan proses belajar lebih mudah dijalani.
2. Membangun kebiasaan-kebiasaan baik: budaya santun, rendah hati, dan saling menghargai.
a. Pintu pembuka belajar adalah rasa berharga dan kesediaan untuk rendah hati menghargai orang lain.
b. Seseorang tidak dapat belajar bila tidak punya rasa hormat pada siapa yang mengajar.
c. Anak enggan belajar bila merasa tidak dihargai.
3. Menciptakan lingkungan sekolah yang penuh keramahan
a. Sikap ramah membuat diri sendiri merasa lebih bahagia.
b. Suasana ramah membuat lebih banyak orang merasa nyaman bersama kita.
c. Suasana ramah setiap masalah dapat disikapi dan diselesaikan lebih mudah.
d. Sikap ramah membuat relasi lebih luas.
4. Menciptakan lingkungan sekolah penuh motivasi berprestasi.
a. Guru aktif, siswa aktif
b. Guru semangat, siswa giat
c. Semangat berprestasi (achevement motive)
d. Kaya informasi.

KEMANDIRIAN BELAJAR IBARAT MAKAN

Bila mendidik dapat diibaratkan dengan memberikan makanan pada mereka, maka untuk membuat perut anak terisi makanan, ada banyak cara yang biasa dilakukan, misalnya:
1. Mengikat tubuh anak dan menjejalkan makanan pada mulutnya,
2. Merengkuh tubuhnya dan menyuapinya,
3. Mengikuti anak ke manapun dia berjalan dan menyuapinya sedikit demi sedikit, dan
4. Mengemas makanan agar menarik, sehingga anak tertarik untuk makan. Cara manakah yang paling baik dan mudah?
Setiap cara tersebut bertujuan sama, tetapi dampaknya berbeda. Anak memang dapat makan dengan cara dipaksa, tetapi pemaksaan dapat mengakibatkan trauma, bahkan enggan untuk makan. Menyuapi anak tidak membuatnya mandiri, dan pasti merepotkan.
Menggoda selera anak dengan mengemas makanan semanarik mungkin bukan hal yang mudah. Bahkan setelah berusaha dengan susah payah, sering kali tetap saja tidak menarik selera anak. Bermain-main dan makan jajanan berbahaya bahkan sering kali lebih menarik selera mereka.
Bagaimana sebaiknya?
Pada tahap-tahap awal, memberi makan anak dengan cara menyuapi memang diperlukan. Beberapa jam setelah menetas, anak ayam bisa mematuk makanannya sendiri, tetapi tidak demikian dengan anak manusia. Anak manusia masih perlu belajar (diajari) tentang bagaimana cara makan dan apa yang seharusnya mereka makan.
Inilah sebenarnya tugas utama orang tua. Menyuapi anak diperlukan pada saat mereka masih terlalu lemah untuk makan sendiri dan belum tahu yang harus dimakan.
Jadi, Yang seharusnya dilakukan adalah melatih dan membiasa-kan anak untuk makan sendiri. Kemandirian anak tentu meri-ngankan beban orang tua. Pasti lebih positif bila anak mampu dan terbiasa makan secara mandiri sejak dini, karena akan membuat anak makan sesuai kebutuhan dan seleranya.
Anak juga akan terbiasa mengeksplorasi berbagai jenis makanan, sehingga mengenal berbagai jenis makanan, bahkan membangun obsesi untuk mencoba makanan-makanan lain yang lebih variatif.
Refleksi untuk Pendidikan
Seharusnya, orientasi utama pendidikan bukan dalam rangka memberikan pengetahuan dan ketrampilan, melainkan melatih kemandirian untuk melaksanakan tugas-tugas perkembang-annya, termasuk belajar. Tugas guru bukan semata mengajarkan tentang apa yang harus dipelajari anak (what to know), melainkan mengajarakan pada anak bagaimana cara belajar sesuatu (how to know).
Dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah membentuk mental dan kepribadian anak menjadi manusia yang siap dan merasa butuh belajar.
Sebelum berhasil membuat mental anak mandiri dan siap belajar, maka pembelajaran tidak akan optimal, dan kegiatan pembela-jaran akan menjadi beban bagi anak dan pekerjaan yang sangat membebani guru.
Orientasi pendidikan kita yang pertama-tama adalah memba-ngun kemandirian anak. Anak mandiri adalah anak yang sadar dan bertanggung jawab terhadap tugas dan kwajibannya sendiri, serta terbiasa menjalankan tugas dan kwajibannya sendiri tanpa diperintah oleh orang lain.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...