Sejak mendirikan lembaga pendidikan ini sebelas tahun silam, hidupku terasa penuh tekanan. Aku merasa benar-benar kehilangan kenyamanan hidup. Aku sering berfikir, bahwa mengelola lembaga pendidikan adalah pilihan hidup yang bodoh.
Bagaimana tidak, terlalu banyak energi harus aku keluarkan hingga nyaris tidak ada yang tersisa untuk mengerjakan pekerjaanku sendiri, mengatur keluarga, terutama memberi perhatian pada anak-anak.
Pekerjaan ini menyita tenaga dan pikiranku 24 jam sehari, tanpa hasil apapun. Aku sering bertanya, apa yang aku dapatkan dengan semua ini? Pahala belum tentu kudapat, tetapi dosa sudah pasti di depan mata. Konyol!!
Bagaimana mungkin mendapat pahala, sedangkan untuk bekerja secara ikhlas sungguh tak mudah kulakukan? Terlalu besar masalah, tantangan dan ancaman yang harus kuhadapi demi misi ini, mulai dari dicibir orang, dicaci-maki, dijegal, digembosi bahkan hampir diserang secara fisik. Sampai-sampai aku punya keyakinan, bahwa asal tidak dipaido (mencaci-maki) orang saja, itu sudah prestasi tertinggi yang bisa kuraih. Tragis!!
Aku benar-benar bekerja sendiri. Sebelum beberapa tahun terakhir, hampir tidak satupun tetangga sekitar yang mendukungku. Baru sejak sekitar 2-3 tahun ini saja, terutama setelah lembaga pendidikan ini cukup dipercaya masyarakat, beberapa orang yang mulai respek dengan usahaku, paling tidak, mereka sudah bersikap netral. Selain mereka, masih ada beberapa pihak dari aparat dinas, guru sekolah lain maupun masyarakat yang masih tetap menunjukkan sikap tidak respek, bahkan tak henti menggembosi lembaga pendidikan ini dengan berbagai cara.
Masih ada pula sebagian orang yang bahkan tetap tidak respek, meski mereka bekerja padaku sebagai guru atau pegawai. Baru setahun terakhir saja sebagian besar guru-guru dan pegawai bersikap netral. Sebelumnya, mereka dengan mudah berbalik menyerangku bahkan mengajak serta wali murid bilamana aku ingatkan, ketahuan berbuat salah, bermaksud memaksakan kehendak atau aku libatkan dalam pengembangan program baru.
Hari ini sebenarnya aku mulai merasa tidak benar-benar sendiri. Sudah ada beberapa orang guru, pegawai dan wali murid yang mendukungku, tapi masih ada beberapa orang yang tidak mau tahu dan mau menang sendiri. Meski tidak banyak membantu mengatasi, setidaknya mereka yang peduli sedikit mengurangi beban mentalku.
Mengelola lembaga pendidikan bukan pekerjaan yang menghasilkan uang, meski banyak orang mengira demikian. Sebaliknya, terlalu banyak materi dan kesempatan yang harus kami relakan demi membuat lembaga pendidikan ini bertahan dan terus berkembang.
Untuk memenuhi kebutuhan lembaga pendidikan ini, kami bahkan harus menanggung hutang pribadi ratusan juta kepada pribadi maupun beberapa bank dan perusahaan leasing, tanpa seorangpun peduli. Kami lebih sering harus mengabaikan kebutuhan hidup keluarga demi membuat lembaga pendidikan ini berkembang. Aku sering berfikir, andaikata dulu memilih membuka usaha dan bukan membuat lembaga pendidikan, pasti saat ini usaha itu sudah cukup besar dan bisa dinikmati hasilnya.
Aku sering bertanya-tanya, apakah mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan ini sebagai pilihan yang salah dalam hidupku? Seharusnya yang mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan adalah mereka yang sudah tidak membutuhkan pengembangan diri, karier apalagi materi. Pekerjaan ini seharusnya dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak uang, sekaligus punya kepedulian tinggi untuk mencerdaskan masyarakat. Aku merasa sama sekali tidak memenuhi kualifikasi itu, meski juga tidak terlalu yakin manusia semacam itu ada.
Mungkin pekerjaan semacam ini seharusnya memang bukan untuk manusia biasa sepertiku. Ini pekerjaan para nabi yang tidak pernah menyerah. Mereka rela mengorbankan apa saja dengan penuh keikhlasan untuk berjuang membebaskan umatnya dari kebodohan, serta membantu menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi generasinya, sedangkan aku sama sekali bukan nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar