Tampilkan postingan dengan label KULIAH DI PEGURUAN TINGGI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KULIAH DI PEGURUAN TINGGI. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Juli 2015

SUSAHNYA BERURUSAN DENGAN DOSEN PEMBIMBING

Lima bulan lalu aku berusaha menghadap pengujiku yang satu ini, sebut saja namanya pak Nas. Bukan hal mudah bertemu dosen yang satu ini, karena nomor handphone yang aku dapatkan tak pernah diangkat setiap kali aku telepon, juga tak pernah terjawab setiap aku SMS. Aku sempat ragu apakah ini benar nomor beliau, dan setelah aku konfirmasi ke kantor memang itu nomor beliau.
Gagal bertemu dengan memanfaatkan teknologi, aku memilih cara manual pada minggu berikutnya. Aku cari saja jadwal kuliah yang beliau ajarkan, dan kutemukan dua hari jam mengajar beliau di kampus. Dua hari itu aku menunggu di depan ruang kuliahnya, tapi tidak ada kuliah beliau seperti di jadwal itu. Siang hari setelah jadwal berikutnya juga sama, tidak ada kuliah beliau hari itu. Aku tanya ke staf kantor, apakah beliau mengajar hari ini. "Mestinya iya, tapi kadang jadwalnya diubah dengan kesepakatan mahasiswa" Jawabnya. "Terus kapan dan di mana aku dapat bertemu beliau?" Tanyaku, tapi mereka hanya menggeleng saja, dan akupun memutar otak untuk mencari cara bertemu. 
Minggu berikutnya aku tanya teman-temanku yang mengajar di kampus itu, tetapi semuanya angkat tangan untuk berurusan dengan orang satu itu. Informasi yang kudapat tentang dosen satu ini bahkan kurang mengenakkan, "Kenapa kamu berurusan dengan itu. Dia orang sulit" Begitu teman-temanku menyebutnya. 
Apapun dia aku tak peduli, sebab yang jelas aku memang harus konsultasi dengannya. Dua minggu ini aku memang belum beruntung, dan harus pulang untuk kembali lagi minggu depan, tapi ada satu poin yang kurasa membantu. Salah seorang sahabatku menjadi pimpinan fakultasnya. Aku sempatkan mampir ke kanto, tapi dia sedang ada kegiatan, sehingga aku memilih pulang dulu.
Saat perjalanan pulang aku coba telepon sahabatku itu, tetapi tak terangkat. Akhirnya aku kirim SMS. "Apa kabar pak Dekan. Tadi aku mampi ke kantor, tapi antum kelihatan sibuk. Semoga sukses saja" bunyi SMS-ku.
Di pejalanan pulang, tiba-tiba dia menjawab SMS dariku, dan seketika aku menelponnya. Setelah ngobrol saja sini sambil nyetir kendaraan, aku tanya soal dosen yang satu itu. "Kalau soal itu tanya aku kan beres? Beliau di kampus hari Selasa dan Rabo"
Bener, minggu berikutnya aku berusaha datang pagi-pagi ke fakultas itu. Sekitar setengah tiga sore aku melihat dia mengajar dan aku menunggunya di depan kelas. Saat ada kesempatan, aku langsung masuk menghadap. "Baik. Saya baca dulu. Itu namanya bekerja" Begitu jawabnya. Setelah empat minggu berusaha, minggu ini aku pulang dengan perasaan lega. Aku berharap minggu depan ada kemajuan.
Minggu berikutnya aku menunggunya di depan kelas. Setelah beberapa saat menunggu, aku melihat dia lewat dan langsung kusalami. "Belum. Belum selesai saya baca. Masih ada beberapa naskah lain yang harus saya koreksi" Jawabnya dengan nada datar. 
"Tapi saudara harusnya kan ujian ulang, karena sudah terlalu lama, kan?" Begitu tanyanya mengagetkanku.
"Iya, prof. Saya diberi dispensasi oleh kampus" Jawabku.
"Oke. Nanti saya pelajari dulu" Jawabnya. Akupun pulang dengan perasaan kurang nyaman. Sikapnya memberiku kesan beliau tak berkenan dengan kehadiranku hari ini. Sepertinya aku terlalu cepat datang, padahal beliau butuh waktu lebih lama.
Minggu berikutnya aku tetap saja datang ke ruang kuliahnya, tapi kali ini beliau tidak ditempat. Akupun kembali pulang dan datang lagi minggu berikutnya, tetapi kembali tak berhasil bertemu. Baru minggu berikutnya lagi aku berhasil bertemu. "Belum. Baru punya siapa itu yang selesai" Jawabnya dengan wajah dingin, dan akupun kembali pulang dengan tangan hampa.

Sabtu, 04 April 2015

BUDAYA BELAJAR; MAHASISWA DAN WACANA SOSIAL

Di era 80 dan 90-an, dengan mudah dijumpai kelompok-kelompok mahasiswa yang duduk melingkar di rerumputan dan di berbagai sudut kampus. Mereka berkelompok atas dasar beragam visi, orientasi, bahkan aliran pemikiran yang rajin mendiskusikan berbagai topik. 
Fenomena yang sama akhir-akhir ini semakin jarang dijumpai di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Jumlah kelompok diskusi mahasiswa semakin kecil. Sepertinya semakin sedikit mahasiswa yang tertarik untuk mengasah daya intelektualitas mereka dengan berbagai isu sosial, politik, keagamaan, apalagi mendalami berbagai wacana pemikiran yang rumit. Pengembangan wawasan keilmuan kurang ditempatkan sebagai bagian dari kebutuhan pengembangan diri.
Mahasiswa semakin jauh dari wacana pemikiran, bahkan dengan bidang keilmuan sesuaI jurusan yang tengah mereka tempuh. Mereka lebih tertarik pada gebyar dunia yang pragmatisnya, bahkan cenderung konsumtif. Kafe-kafe di sekitar kampus yang kian ramai sepertinya lebih dibutuhkan dibanding kelompok diskusi dan pengembangan daya intelektual lainnya. Mengasah intelektualitas menjadi kegiatan yang kurang menarik minat mahasiswa. 
Mahasiswa semakin pragmatis dalam menyikapi persoalan akademik. Pola belajar mahasiswa tidak ubahnya pola belajar anak sekolah yang hanya terfokus pada usaha menyelesaikan matakuliah demi mata kuliah yang berorientasi pada pencapaian indeks prestasi akademik.
Sungguh menyesakkan dada saat bertanya perihal isu-isu pendidikan tak satupun mahasiswa yang merespon, bahkan pernah mendengarnya.    

Selasa, 23 Juli 2013

KISAH PERJALANAN PENYELESAIAN STUDI - 2

Setelah dua tahun berlalu, aku kembali menghadap pembimbingku, tetapi hingga beberapa bulan tak berhasil bertemu. Sepertinya beliau sangat sibuk. Kali ini aku tak lagi menyodorkan proposal penelitian, tetapi memberanikan diri menyerahkan draf laporan penelitian akhir yang telah aku buat sebelumnya. Aku berharap segera ada koreksi untuk kuperbaiki.

KISAH PERJALANAN PENYELESAIAN STUDI - 1

Sangat dimengerti bila tak banyak orang yang bisa percaya. Kisah perjalanan studi seperti ini sepertinya hanya ada dalam fiksi, padahal benar-benar terjadi. Aku harus berhadapan dengan dua orang yang sama sekali tak menunjukkan empati yang memudahkanku menyelesaikan studi.

Senin, 22 Juli 2013

EMPAT BULAN BERSAMA PAK NAS

Pak Nas, begitu beliau biasa dipanggil. Aku baru ingat kembali namanya saat hendak mengurus ujian akhir. Terus terang aku tak begitu ingat namanya, apalagi tanpangnya, meski sebelumnya dia pernah menjadi pengujiku di ujian pendahuluan. Selain tak ada yang istimewa, saat ujian tidak ada pertanyaan atau saran menonjol yang layak kucatat. Yang paling kuingat darinya bahkan hanya saran "konyol" agar aku menyajikan ayat-ayat suci dalam laporan penelitianku.

Senin, 23 Juli 2012

PENYEBAB SINDROM AKHIR MASA STUDI


Banyak mahasiswa yang di akhir masa studi di perguruan tinggi merasa tidak bisa apa-apa, tidak merasa ahli bidang keilmuan dan keahlian yang ditekuni sejak lulus SLTA. Padahal mereka dihadapkan pada keharusan untuk mandiri, bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan cara bekerja, tetapi merasa jauh dari professional untuk memasuki bidang pekerjaan yang seharusnya mereka tekuni sesuai dengan bidang keilmuan/keahlian yang dipelajari di jurusan atau program studinya.

Minggu, 22 Juli 2012

SINDROME AKHIR MASA STUDY DI PERGURUAN TINGGI

Kuliah di perguruan tinggi sering dipahami sebagai jenjang pendidikan penentu masa depan. Kuliah sering dipandang sebagai jalan terakhir yang menentukan masa depan seperti apa yang akan diraih dan dijalani oleh seorang pelajar. Semakin spesifiknya bidang ilmu dan keahlian yang diajarkan pada jenjang perguruan tinggi menempatkan seorang pelajar harus bersiap menjadi "sesuatu" sesuai dengan bidang keilmuan dan keahliah yang dipelajari.
Itu sebabnya banyak anak muda berebut kursi di berbagai perguruan tinggi ternama dengan berbagai cara, bahkan bila perlu dengan membayar biaya "joki" yang tidak kecil nominalnya. Jalan lapang menuju masa depan seolah terbuka lebar begitu seseorang diterima di perguruan tinggi pilihan. Besarnya biaya pendidikan ditambah biaya hidup yang tidak sedikit selama studi di perguruan tinggi menjadi pertaruhan masa depan.
Satu hal yang jarang dikemukakan, meski banyak dirasakan oleh para mahasiswa adalah munculnya beban mental yang mereka alami di penghujung masa studi. Beban tersebut biasa dialami oleh mahasiswa semester akhir, juga mereka yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Beban itu adalah:
1.   Merasa Tidak Bisa Apa-apa
Setelah menjalani proses perkuliahan yang tidak mudah, dengan berbagai tugas matakuliah, praktikum, ujian, hingga penelitian ternyata banyak mahasiswa yang tidak dengan sendirinya merasa sudah ahli dalam bidang yang tengah digeluti. Bahkan mahasiswa yang meraih indeks prestasi terbaik banyak yang merasa tidak tahu apa-apa berkenaan dengan bidang keilmuan dan keahlian yang dipelajari di jurusan atau program studinya.
Mereka belum menjadi “sesuatu” sebagaimana idealnya seseorang yang menempuh jenjang pendidikan tinggi. Mereka merasa masih sama dari sebelumnya, kecuali dalam beberapa hal yang tidak substantif, tidak penting, misalnya dalam hal bersikap dan berpakaian.
2.   Merasa Terasing dari Bidangnya
Delapan semester menekuni bidang keilmuan atau keahlian tidak dengan sendirinya membuat seseorang menjadi semakin dekat dengan masa depannya sendiri. Kajian teori, praktik hingga pengalaman lapangan seakan tidak membekas apa-apa dalam diri mahasiswa. Pengalaman lapangan yang panjang dan berbelit tidak membuat mahasiswa merasa dekat dengan dunia nyata, di mana mereka harus menerapkan bidang ilmu dan keahlian yang dipelajarai di jurusan atau program studi tertentu.
Bahkan banyak mahasiswa yang tidak bisa menjawab ketika ditanya akan ke mana mereka setelah selesai studi. Jawaban paling umum hanyalah akan melamar pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian yang secara formal dia miliki. 
3.   Tak Punya Rencana Masa Depan
Banyak sarjana yang tak memiliki rencana yang jelas perihal apa yang akan dilakukan setelah lulus dari perguruan tinggi. Banyak sarjana larut dalam kegembiraan saat wisuda, padahal justeru tantangan terbesar mereka justeru di hari-hari setelah mereka dinyatakan lulus kuliah. Predikat sarjana dengan sendirinya juga disertai predikat orang dewasa yang seharusnya siap mandiri, bahkan eksistensi diri dalam bentuk pekerjaan yang baik dan membanggakan.
Tanpa rencana membuat banyak sarjana hanya menunggu ke mana angin akan membawa mereka selanjutnya. Padahal itulah saat di mana mereka harus menentukan jalan hidupnya di dunia nyata.
4.   Bergantung pada Ijazah
Sering kali ijazah menjadi barang paling berharga setelah lulus kuliah. Ijazah tak jarang ditempatkan layaknya azimat yang akan membawa seseorang menuju kesuksesan. Padahal ijasah tak pernah lebih dari selembar kertas yang tak selalu berguna, kecuali selembar kenangan-kenangan dari kampus.
Bersama ribuan sarjana lain, mereka berebut nasib menjadi pegawai pemerintah. Padahal daya tampung pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah tak pernah lebih dari 20% dari seluruh peminatnya. Orang yang bernasib baik, dapat bekerja sesuai ijazahnyapun tak lebih dari 10 atau 20% saja.

Fenomena unik semacam ini umum dijumpai di kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dari berbagai jurusan atau program studi. Mereka seakan terjebak di sebuah lorong gelap dan tak tahu ke mana akan menuju. Ini bisa terjadi karena berbagai faktor, baik dari diri mahasiswa sendiri, tradisi akademik yang berkembang di lingkungan perguruan tingginya maupun lingkungan kerja atau lingkungan sosial yang akan mewadahi lulusan perguruan tinggi. Menghindari sindrome ini perlu persiapan jauh hari sebelum mahasiswa benar-benar lulus dari bangku kuliah.

Minggu, 27 November 2011

PERINGATAN PERTAMA

Selama lima belas tahun menjadi dosen, belum pernah sekalipun aku memperingatkan mahasiswa baik soal disiplin kehadiran, berpakaian ataupun ketertiban dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Setiap kali ada mahasiswa terlambat hadir di kelas, kuliah hanya mengenakan kaos atau sandal jepit, aku tidak pernah menganggapnya sebagai peristiwa yang istimewa. Aku selalu mengaca pada diriku sendiri saat jadi mahasiswa dulu, yang kurang lebih sama dengan mereka.
Hari ini, Senin 22 Maret 2010, adalah hari pertamaku masuk kelas Pembelajaran Bahasa Inggris. Ini pertama kalinya aku memegang matakuliah ini. Sejak pertama kali menjadi dosen, aku selalu menghidar untuk mengajarkan matakuliah bahasa asing. Tentu saja bukan karena aku tidak menguasainya, melainkan karena sedikit ego akademik.Orang-orang seperti aku biasanya merasa kurang respek, kurang bergengsilah bila mengajarkan mata kuliah bahasa. Kesannya kurang tertantang, seperti jadi guru sekolah/madrasah saja, bukan dosen.
Sejak perubahan formasi dosen, di mana aku ditempatkan di program sudi PGMI, aku tidak dapat menghindar lagi dari keharusan mengajarkan materi-materi kuliah semacam mata kuliah bahasa asing. Aku bahkan menyadari harus menyesuaikan diri dengan suasana akademik bagi para calon guru sekolah dasar atau Madrasah ibtida’iyah tersebut. Kesan angker dan intelek harus kusisihkan jauh-jauh dari suasana perkuliahan, dengan harapan mahasiswaku kelak juga akan terbiasa membangun suasana rileks dalam mengelola pembelajaran.
Setelah beberapa kesan santai kumulai, ada satu mahasiswa, sebut saja Fulan, yang kelihatan sama sekali tidak respek dengan kegiatan yang aku bangun. Bahkan saat yel kelas berulangkali dikumandangkan, dia sama sekali tidak merespon. Dia terus berbicara, bercanda dan mengganggu mahasiswa lain, tanpa mempedulikan apapun yang aku sampaikan.
Meski ini perkuliahan pembuka yang hanya menyampaikan hal-hal umum dan contoh-contoh kasus, aku mencoba membawa mahasiswa pada analisis sederhana mengenai beberapa model pembelajaran bahasa asing. Di antara yang aku kemukakan adalah contoh pembelajaran bahasa asing melalui lagu.
Ketika aku memberikan contoh lagu dan maknanya bagi pembelajaran bahasa Inggris di MI, aku bertanya pada mahasiswa mengenai nilai edukatif minimal dalam pembelajaran lagu. Mengingat saat bertanya si Fulan bercanda sangat keras, pertanyaan langsung kutujukan kepadanya. “Apa yang didapat siswa, mas?”
Kontan dia tergagap dan menjawab sekenanya, “A, pak” Sebuah jawaban ngawur dan melecehkan. Mungkin maunya membuat lelucon, tetapi dengan cara melecehkanku. Langsung saja aku katakan padanya, “Anda boleh keluar dari kelas saya kalau anda mau.... silakan..., bla… bla… bla…”
Aku tak peduli apapun alasannya, yang jelas hanya sekenanya dan mengada-ada. Akhirnya sekalian aku tegaskan, bahwa siapapun boleh tidak ikut di kelasku, bila tidak merasanya nyaman dengan perkuliahanku. Dia bisa mengambil kuliah pada dosen lain atau minta nilai C saja tanpa perlu kuliah.
Sejak pertama kali jadi dosen, ini pertama kalinya aku memperingatkan mahasiswa dengan nada sedikit tegas. Ini juga pertama kalinya ada mahasiswa yang meremehkan kelasku. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan dengan tindakanku. Aku sendiri tak nyaman harus melakukannya, karena pernah berfikir akan mengingatkan mahasiswa dengan cara ini.
Aku sama sekali tidak membencinya, meski terasa berbeda karena ini pertama kalinya aku memberi peringatan. Lagi pula sebenarnya sudah kwajibanku sebagai pengajar untuk mengingatkan mereka. Out of all, aku berharap dapat membangun suasana perkuliahan yang sedikit berbeda, rileks seperti mengajar sekolah dasar, agar kelak mereka juga dapat melakukan hal yang sama dan lebih efektif saat jadi guru sesungguhnya.

Jumat, 16 September 2011

SULITKAH MENULIS SKRIPSI?

Semester ini aku mendapat tugas membimbing penulisan skripsi satu orang mahasiswa. Sekitar satu minggu sesudah seminar proposal dia menemui aku untuk memulai bimbingan. Setelah memberikan masukan untuk memperbaiki disain penelitiannya, aku bertanya kepadanya, "Berapa hari lagi kamu akan menemuiku untuk konsultasi? Seminggu lagi? Dua minggu lagi?" Dia mengiyakan dengan bilang, "Insya Allah seminggu lagi"
Beberapa hari hingga tiga minggu berikutnya dia sama sekali tidak menghubungiku. Akhirnya aku SMS mahasiswa itu, "Kapan skripsi dikonsultasikan?". Dia menjawab, "Maaf pak, masih saya ketik" Hingga beberapa minggu berikutnya, dia tetap tidak menghubungiku. 
Suatu ketika aku ketemu dia di kantor jurusan, dan langsung aku tegur, "Mana skripsinya? Cepetan, keburu ujian". Dengan santun dia mendekatiku dan bilang, "Begini pak. Skripsi saya masih kena virus. Nanti kalau sudah selesai saya konsultasikan.
Sekitar enam minggu sejak pertemuan pertama, mahasiswa itu menghubungiku, "Pak, mohon waktu untuk konsultasi". Kontan aku tunggu di ruang dosen. Setelah satu setengah bulan, aku pikir naskahnya pasti sudah setengah jadi. 
Aku kaget. Ternyata, dia hanya membawa flash disk. Setelah aku buka, isinya hanya ketikan tidak teratur, yang kelihatannya baru asal ketik, sebanyak 2 halaman dengan ketikan 1 spasi. "Lha mana? Masa cuma ini?" Tanyaku. "Begini pak. Yang lain masih saya ketik. Ini bahannya sudah saya bawa" jawabnya dengan menunjukkan beberapa lembar foto copy dan catatan di buku tulis.  
Dalam hati aku kecewa. Setelah menunggu sekian lama ternyata belum mengerjakan apa-apa. Meski begitu, aku berusaha bersabar. "Oke. segera diselesaikan bab I saja, nanti segera konsultasikan dengan saya. Berapa hari lagi ketemu saya? Seminggu lagi? dua Minggu?" Tanyaku, disamping memberikan beberapa motivasi agar segera diselesaikan.
Setiap minggu sesudah itu aku selalu SMS, "Bagaimana skripsinya? Kapan dikonsultasikan?" Jawabannya selalu sama, "Maaf pak. Masih saya ketik" Meski begitu, hingga beberapa minggu kemudian dia tidak menghubungiku. 
Sekitar satu bulan sesudah itu, dia baru SMS aku, "Pak, mohon waktu untuk konsultasi bab I, II, dan III" Dalam hati aku mengira, kali mahasiswa itu bekerja keras. Aku hanya minta bab I diselesaikan, ternyata sudah selesai 3 bab. 
Setelah ketemu lagi, aku kembali kecewa, sebab ternyata dia masih membawa file yang sama. Bab II dan bab III yang dia bilang itu hanya ketika asal-asalan sekitar 4 lembar saja. Sebenarnya aku mulai berfikir, ternyata mahasiswa ini lemot banget kerjanya. 
Meski begitu, aku tetap menunjukkan sikap ramah, dan berusaha memberi motivasi agar segera diselesaikan. Aku bahkan minta dia kirim naskahnya lewat email bila selesai sewaktu-waktu. Beberapa minggu kemudian dia beberapa menemui aku dengan membawa naskah yang sama. Paling hanya ada tambahan sekitar 1 atau 2 paragraf saja. Itupun dengan ketikan asal-asalan. Dia kelihatan sekali belum terbiasa mengetik dengan komputer. 
Aku mulai berfikir, mungkin dia tidak akan ikut ujian skripsi semester ini, sebab ketika teman-temannya ujian skripsi, dia baru menulis sekitar 12 halaman saja. Rupanya aku keliru, sebab dia bilang mentargetkan ikut ujian berikutnya, sekitar sebulan lagi.
Melihat kemampuan menulisnya yang lamban aku membantu dia menyusun bab II. Dengan menunjukkan beberapa referensi, satu hari sebelum liburan hari raya dia punya tambahan tulisan sekitar 20 halaman. Tulisannya sendiri sudah sekitar 18 halaman. Jadi total naskahnya baru sekitar 38 halaman. Itu berarti masih kurang, 22 halaman untuk mencapai jumlah 60 halaman.
Setelah libur hari raya, dia kembali menemui aku. Sebelumnya aku minta dia membawa naskah lengkap yang sudah tercetak, karena dia bilang sudah selesai seluruhnya. Ketika ketemu, aku kembali kecewa, sebab dia tidak membawa naskah yang aku minta. "Mana naskahnya?" tanyaku. "Ini sudah 10 halaman terakhir yang saya cetak" jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Kalau gitu, dicetak dulu semua baru konsultasikan. Kalau sudah siap silakan hubungi saya atau kirimkan lewat pos ke rumah" Jawabku tegas.
Subhanallah.... Keluhku dalam hati. Besok pagi ada jadwal ujian skripsi terakhr, dia cuma membawa 10 lembar naskah skripsi untuk konsultasi. Dalam hati aku jengkel sekali. Aku benar-benar yakin mahasiswa itu tidak cukup siap untuk menulis skripsi.     
Kemarin dia menghubungiku untuk konsultasi. Meski bukan hari kerja, aku sempatkan diri datang ke kampus.  Aku berharap tidak mengecewakannya, meski dia tidak bisa ujian semester ini. Kali ini dia benar-benar membawa naskah lengkap dalam map plastik warna hijau. 
Isinya lengkap mulai halaman judul hingga lampira-lampirannya sekalian. Setelah aku bukan, ternyata baru 43 halaman saja, belum cukup untuk ikut ujian. Bab IV belum ada. Isi bab IV hanya daftar nama siswa. "Lho, bab IV kok isinya daftar nama siswa?" tanyaku. "Jadi harus saya perbaiki, pak?" tanyanya lugu. 
"Bukan diperbaiki. Kamu harus buat. Caranya begini... begitu..." Jelasku menahan jengkel. "Berarti yang belum disetujui hanya bab IV dan bab V?" tanyanya lagi tanpa merasa bersalah. "Iya" jawabku, sembari meminta dia segera melengkapi.
Sebenarnya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam penulisan skripsi itu, tapi aku mulai berfikir, percuma saja memintanya membenahi, karena aku pikir itu hanya akan membebani dia. Sesudah dia pergi, aku hanya berfikir apakah waktu masih mahasiswa aku seperti dia? Jangan-jangan aku seperti itu, atau lebih buruk. 
Karena dia tidak sempat ikut ujian, aku berbasa basi dengan bertanya, "Kamu tidak ditanya, kenapa tidak ujian?"
"Iya, pak" jawabnya.
"Kamu jawab gimana?"
"Belum dapat acc dari pembimbing?"
Dalam hati aku kecewa membimbing mahasiswa itu. Mengapa dia tidak menjawab memang belum bisa menyelesaikan?" tanyaku tersinggung. Padahal dia tahu sampai hari ini naskahnya baru 40-an halaman, sehingga belum bisa diujikan. Bab IV isinya masih seperti itu. Dia begitu lamban bekerja, tetapi mengapa seolah menyalahkan aku seakan tidak mampu membimbingnya?
Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku yang tidak mampu membimbing atau dia yang kemampuan menulisnya tidak terlalu rendah? Karena itu, aku tanya padanya, "Apakah kamu tidak biasa menulis? Mengapa kamu begitu lamban menulisnya?"  
Padahal seingatku, menulis skripsi adalah bagian paling mudah yang aku ingat selama kuliah. Aku masih ingat berapa halaman yang aku tulis, bahkan harus dikurangi oleh pembimbingku karena terlalu banyak. Waktu itu aku menulis skripsi sekitar 150 halaman, dan harus dipangkas tinggal sekitar 110 halaman.
Kali ini, aku ketemu mahasiswa yang menulis 60 halaman saja begitu berat. Padahal ketika melihat daftar riwayat hidupnya, mahasiswa itu diterima di perguruan tinggi negeri ini melalui jalur PMDK. Kok bisa?

Senin, 22 Maret 2010

PERINGATAN PERTAMA

Selama lima belas tahun menjadi dosen, belum pernah sekalipun aku memperingatkan mahasiswa baik soal disiplin kehadiran, berpakaian ataupun ketertiban dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Setiap kali ada mahasiswa terlambat hadir di kelas, kuliah hanya mengenakan kaos atau sandal jepit, aku tidak pernah menganggapnya sebagai peristiwa yang istimewa. Aku selalu mengaca pada diriku sendiri saat jadi mahasiswa dulu, yang kurang lebih sama dengan mereka.

Hari ini, Senin 22 Maret 2010, adalah hari pertamaku masuk kelas Pembelajaran Bahasa Inggris. Ini pertama kalinya aku memegang matakuliah ini. Sejak pertama kali menjadi dosen, aku selalu menghidar untuk mengajarkan matakuliah bahasa asing. Tentu saja bukan karena aku tidak menguasainya, melainkan karena sedikit ego akademik.Orang-orang seperti aku biasanya merasa kurang respek, kurang bergengsilah bila mengajarkan mata kuliah bahasa. Kesannya kurang tertantang, seperti jadi guru sekolah/madrasah saja, bukan dosen.

Sejak perubahan formasi dosen, di mana aku ditempatkan di program sudi PGMI, aku tidak dapat menghindar lagi dari keharusan mengajarkan materi-materi kuliah semacam mata kuliah bahasa asing. Aku bahkan menyadari harus menyesuaikan diri dengan suasana akademik bagi para calon guru sekolah dasar atau Madrasah ibtida’iyah tersebut. Kesan angker dan intelek harus kusisihkan jauh-jauh dari suasana perkuliahan, dengan harapan mahasiswaku kelak juga akan terbiasa membangun suasana rileks dalam mengelola pembelajaran.

Setelah beberapa kesan santai kumulai, ada satu mahasiswa, sebut saja Fulan, yang kelihatan sama sekali tidak respek dengan kegiatan yang aku bangun. Bahkan saat yel kelas berulangkali dikumandangkan, dia sama sekali tidak merespon. Dia terus berbicara, bercanda dan mengganggu mahasiswa lain, tanpa mempedulikan apapun yang aku sampaikan.

Meski ini perkuliahan pembuka yang hanya menyampaikan hal-hal umum dan contoh-contoh kasus, aku mencoba membawa mahasiswa pada analisis sederhana mengenai beberapa model pembelajaran bahasa asing. Di antara yang aku kemukakan adalah contoh pembelajaran bahasa asing melalui lagu.

Ketika aku memberikan contoh lagu dan maknanya bagi pembelajaran bahasa Inggris di MI, aku bertanya pada mahasiswa mengenai nilai edukatif minimal dalam pembelajaran lagu. Mengingat saat bertanya si Fulan bercanda sangat keras, pertanyaan langsung kutujukan kepadanya. “Apa yang didapat siswa, mas?”

Kontan dia tergagap dan menjawab sekenanya, “A, pak” Sebuah jawaban ngawur dan melecehkan. Mungkin maunya membuat lelucon, tetapi dengan cara melecehkanku. Langsung saja aku katakan padanya, “Anda boleh keluar dari kelas saya kalau anda mau.... silakan..., bla… bla… bla…”

Aku tak peduli apapun alasannya, yang jelas dia hanya merespon sekenanya dan mengada-ada. Akhirnya sekalian aku tegaskan, bahwa siapapun boleh tidak ikut di kelasku, bila tidak merasanya nyaman dengan perkuliahanku. Dia bisa mengambil kuliah pada dosen lain atau minta nilai C saja tanpa perlu kuliah.

Sejak pertama kali jadi dosen, ini pertama kalinya aku memperingatkan mahasiswa dengan nada sedikit tegas. Ini juga pertama kalinya ada mahasiswa yang meremehkan kelasku. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan dengan tindakanku. Aku sendiri tak nyaman harus melakukannya, karena pernah berfikir akan mengingatkan mahasiswa dengan cara ini.

Aku sama sekali tidak membencinya, meski terasa berbeda karena ini pertama kalinya aku memberi peringatan. Lagi pula sebenarnya sudah kwajibanku sebagai pengajar untuk mengingatkan mereka. Out of all, aku berharap dapat membangun suasana perkuliahan yang sedikit berbeda, rileks seperti mengajar sekolah dasar, agar kelak mereka juga dapat melakukan hal yang sama dan lebih efektif saat jadi guru sesungguhnya. Dan aku harap, ini yang terburuk yang pernah kulakukan pada mahasiswa saat kuliah di kelas.

Senin, 16 Februari 2009

SAAT STAF TU BERKUASA

Beberapa waktu lalu beberapa mahasiswa kompalin nilai. "Pak, nilai kita kok semuanya B?" Sudah barang tentu aku kaget mendengarnya. Kontan aku berfikir jangan-jangan nilaiku di-drop sama TU. Soalnya di perguran tinggi memang ada aturan yang menyatakan, bahwa bila dosen terlambat menyerahkan nilai, maka bagian akademik berhak memberikan nilai B untuk seluruh mahasiswa.

Aku sendiri sebenarnya sudah selesai memberikan nilai pada mahasiswa bahkan jauh hari sebelum UAS diselenggarakan. Nilai tersebut, meski hanya dalam bentuk rekapannya saja aku up load di salah satu blog mata kuliahku. Karena itu wajar bila mahasiswa yang sudah tahu nilainya A terkejut dengan nilai yang keluar.

Segera saja aku berfikir untuk memberikan revisi nilai saja pada mahasiswa. Dengan cara ini, paling tidak mereka yang seharusnya memperoleh nilai lebih baik (A) dapat memperoleh haknya. Soalnya, selama ini mahasiswa yang komplain nilai bisa melakukan revisi nilai, dengan berbekal memo dosen yang bersangkutan. Sementara mahasiswa yang mestinya memperoleh nilai lebih rendah bahkan tidak memperoleh nilai dapat tersenyum bahagia karena tertolong oleh pekerjaan staf Tata Usaha.

Rupanya tidak demikian. Staf TU bersikukuh tidak bersedia merevisi, bahkan sebagian menyikapinya dengan marah-marah. Dengan berdalih bahwa ini sudah keputusan PD 1 mereka tidak bersedia merevisi nilai. Aneh. Padahal ketika aku tanyakan pada PD 1, yang bersangkutan mempersilakan saja. Penilaian memang seharusnya menjadi otoritas dosen, bukan lembaga, apalagi staf TU.

Sebenarnya jauh hari aku sudah mencetak nilai matakuliahku, tapi terus terang aku sendiri lupa apakah sudah aku serahkan atau belum. Itu masalahnya. Kalaupun ternyata aku belum menyerahkan sampai deadline terakhir, seharusnya masih mungkin diberikan pemberitahuan, lewat telepon atau SMS.

Ini kan bukan jaman prasejarah? Banyak teknologi bisa dipakai mengingatkan bila memang dosen belum menyerahkan nilai di hari-hari terakhir. Apalagi tidak ada bukti hitam di atas putih penyerahan nilai dari dosen ke staf TU. Bila ternyata dosen sudah menyerahkan dan hilang di tangan mereka, apa berarti itu kesalahan dosen juga, dan mereka berhak men-drop nilai begitu saja?

Entahlah, mungkin orang lebih suka main kuasa dari pada berkomunikasi secara baik-baik. Kayaknya ini jadi
moment
spesial bagi staf TU untuk menunjukkan kekuasaannya pada dosen dan mahasiswa. Apalagi memang ada paradigma kecemburuan mereka terhadap dosen. Mereka merasa bekerja lebih berat dan lebih keras dibanding dosen, sehingga ada saat di mana mereka tidak perlu menghargai dosen dengan membuat nilai sendiri.

Meski kecewa, aku sendiri sebenarnya tidak terlalu dirugikan dengan kejadian ini, tapi kasihan mahasiswa yang seharusnya memperoleh nilai baik.

PERTANYAAN KONYOL MAHASISWA

Setiap akhir semester aku selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dan menggelikan dari mahasiswa. "Pak, saya masuk terus kok cuma dapat (nilai) B?" Dengan redaksi berbeda, sebagian mahasiswa lain mempertanyakan, "Pak, saya aktif terus, kok cuma dapat nilai B?"Masih dengan maksud yang sama, ada lagi yang bertanya, "Pak, saya menyerahkan tugas terus, tapi kok cuma dapat (nilai) B?"

Itu baru pertanyaan dari mahasiswa yang mendapatkan nilai B. Apalagi lagi kalau mahasiswa mendapatkan nilai C ke bawah, wah.... lebih seru lagi. Di antara pertanyaan yang muncul adalah "Pak, saya masuk terus kok cuma dapat C?" atau "Pak, saya aktif terus kok cuma dapat C?"

Pertanyaan itu seakan-akan menunjukkan bahwa kalau mahasiswa aktif layak mendapat nilai A. Nilai mata kuliah seakan diambil berdasarkan buku presensi, bukan berdasarkan kelayakan akademik yang mereka capai. Sungguh, konyol, bodoh,
edian .... tenan bila ternyata di dunia pendidikan harus berlaku norma seperti itu.

Ini fenomena menarik dan selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku. Kenapa selalu muncul pertanyaan konyol seperti itu? Apakah hanya aku saja yang dapat pertanyaan sebodoh itu? Apakah hanya di kampusku, fakultasku atau jurusanku saja ada pertanyaan bodoh seperti itu?

Kenapa ada fenomena seperti ini? Kenapa mereka begitu ambisius dengan nilai mata kuliah? Kenapa ambisi mereka terhadap nilai mata kuliah tidak sebanding dengan antusiasme mereka terhadap penguasaan materi kuliah? Kenapa bukan ambisi mengembangkan keilmuan dan keahlian yang menonjol pada mahasiswa, tapi pada formalitas? Pada nilai? Ironis.

Sebagian mahasiswa yang mempertanyakan nilai dengan kalimat demikian memang mahasiswa yang selalu masuk kelas saat aku mengajar, tapi sebagian hanya main klaim saja. Mereka yang kemudian kedapatan hanya main klaim biasanya mengajukan permohonan konyol lagi, "Terus gimana dong, pak? Mohon kebijaksanaannya".

Selama menjadi pengajar aku tidak pernah sekalipun mendengar kata "mohon maaf" dari mereka karena tidak aktif kuliah dengan segala alasannya. Mereka bahkan seakan merasa berhak menuntut nilai terbaik, meski nyata-nyata tidak aktif kuliah.

Pertanyaan dan permohonan ini tentu saja hanya merupakan kelanjutan dari pertanyaan konyol sebelumnya. Aku tidak melihat adanya itikad baik untuk mengembangkan kompetensi akademik pada mereka. Ini membuat aku merasa hanya jadi alat mereka untuk mendapatkan nilai mata kuliah saja, syukur-syukur dengan skor terbaik.

Kadang aku berfikir, apakah waktu masih kuliah dulu aku sekonyol mereka? Aku rasa tidak. Aku bahkan tidak tahu nilai apa yang aku peroleh hingga menerima transkrip KHS. Jujur saja, aku senang bila mendapatkan nilai baik, tapi tidak pernah sekalipun bertanya atau mempertanyakan bila mendapatkan nilai buruk.

Sepertinya tidak hanya etos keilmuan formalistik yang menggejala pada mereka, tapi juga etika akademiknya. Sekali lagi, ini sungguh sebuah ironi. Aku belum tahu apakah ini merupakan kasus tunggalku semata, atau menggejala pada kebanyakan pengajar? Apakah ini akibat sistem atau entahlah... Mudah-mudahan segera ada jawaban dan solusinya.

DIBOHONGI MAHASISWA

Setiap akhir semester selalu ada mahasiswa yang komplain karena nilainya tidak keluar. Aku sudah hafal, mereka pasti mahasiswa yang biasanya tidak aktif kuliah, tapi minta nilai dan minta lulus pastinya. Aku sudah 14 tahun jadi dosen, dan hampir 20 tahun jadi mahasiswa. Jadi, kalau bohongin dosen atau dibohongin mahasiswa rasanya sudah hafal luar dan dalam. Bahkan seharusnya aku lebih tahu bagaimana berbohong atau dibohongin dibanding mahasiswa-mahasiswaku, karena referensi sosiologis dan antropologis yang aku miliki jauh lebih banyak dibanding mahasiswaku. Sudah begitu, kok ya masih ada yang berani berbohong padaku.
Kecuali mahasiswa yang komplain nilai karena memang nilai tugas matakuliahnya belum sempat aku up load atau publikasikan, argumentasi mahasiswa pembohong selalu sama, "Pak, saya masuk terus kok nilai saya kosong?". Mahasiswa yang lain mengklaim, "Pak, saya selalu menyerahkan tugas, tapi kok ada kosong?"
Beberapa hari yang lalu ada beberapa mahasiswa (pembohong) yang komplain lewat telepon, "Pak, saya masuk terus, tapi nilai saya kok kosong?"
Saya jawab, "Ya, tugas kamu yang ke 1, 2 dan 3 kosong"
"Gimana dong, pak?" tanyanya.
"Ya, kamu harus bikin lagi" jawabku tegas.
"Tugasnya apa, pak?"
"Ya, seperti tugas kelas biasanya. Kamu ngerasa pernah buat apa tidak?"
"Saya buat. Saya nyerahkan terus"
"Kalau gitu buat lagi yang seperti itu. Serahkan saya Rabo di kampus"
Dalam hati aku sudah tahu, mahasiswa ini sudah bohong padaku. Bagaimana mungkin mereka sudah menyerahkan tugas, dengangkan tugasnya kaya apa mereka tidak tahu? Seharusnya aku tidak menanggapi mereka, karena jelas-jelas sudah tidak aktif kuliah dan masih ditambah bohong lagi. Tapi karena aku sedang banyak kesibukan, aku biarkan saja, dan kulayani seolah tidak ada apa-apa.
Benar saja. Sehari kemudian dia telepon lagi, "Pak, saya tanya teman-teman, tugasnya kaya apa kok nggak ada yang bisa kasih tahu. Bisa kasih penjelasan?"
"Kamu masuk kuliah, nggak?"
"Masuk, pak. Saya aktif, saya masuk terus"
"Tanya teman kamu yang lain saja, kutunggu rabo" jawabku singkat
Ha, ha, ha... Dalam hati saya tertawa, meski dalam hati sedih dan marah. Gimana tidak, katanya masuk terus, kok nggak tahu tugasnya seperti apa? Ini kan aneh????
Hanya saja, rasanya nggak tega menghukum mereka. Saya pura-pura saja tidak tahu kalau mereka bohong. Saya kehilangan simpati dan empati saya, meski sebagai pendidik seharusnya saya tidak boleh demikian. Bagi saya, mahasiswa-mahasiswa itu tidak ada, bukan manusia, karena tidak punya etika dan tanggung jawab moral.
Selama ini saya memang tidak pernah memberikan Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS) dan satu tugas matakuliah seperti dosen pada umumnya. Aku sudah hafal, mereka yang tidak aktif kuliah dan dicekal saat mengikuti UTS dan UAS karena presensi tidak memenuhi syarat pasti minta rekomendasi, dan dengan terpaksa aku berikan. Karena itu, beberapa tahun terakhir saya lebih suka melakukan penilaian proses.
Setiap sesi perkuliahan, mahasiswa selalu mengerjakan sesuatu dan itu yang saya jadikan penilaian. Karena itu, mahasiswa yang tidak hadir pasti nilainya bolong. Tidak usah mengabsen saja saya sudah tahu apakah mereka masuk atau tidak, karena hasil kerja mereka di kelas itulah yang saya jadikan bukti kehadiran mereka. Kalau ada yang mengklaim menyerahkan tugas, sementara dia sendiri tidak tahu tugasnya seperti apa, itu jelas-jelas bohong.
Kalau ada yang komplain, dan bilang "Saya masuk terus kok nilai saya kosong?" atau "Saya sudah menyerahkan tugas kok nilainya kosong, saya bisa pastikan bahwa mereka berbohong. Padahal kebohongan adalah sesuatu yang paling buruk di mata saya, dan mungkin di mata Allah. Kebohongan adalah pangkal dari semua kejahatan, kerusakan.
Sampai saat ini saya hanya bisa mencatat nama-nama mereka di buku memori mengajarku, manusia-manusia yang tidak bisa dipercaya, manusia-manusia paling menyedihkan di mata saya, karena mereka anak didik saya.
Andai saja mereka mau jujur, saya pasti menghargai mereka lahir dan batin. Seperti semester kemarin ada beberapa mahasiswa yang membuat tugas plagiat dan mengakui kesalahannya, saya dengan lapang hati membantunya dan memberinya kesempatan membuat tugas perbaikan.
Meski demikian, kali ini saya berusaha tidak menampakkan rendahnya pandangan saya pada mahasiswa pembohong itu. Saya tidak akan menghukum mereka, tapi dengan tulisan ini saya berharap mereka sadar atas perbuatannya. Kalau ternyata mereka tidak juga sadar dan berubah aku rasa ini adalah semester terakhir saya mentolerir kebohongan mereka.

Senin, 12 Januari 2009

MISORIENTASI PENDIDIKAN

-->
Masalah mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah rendahnya mutu lulusan baik dari segi keilmuan (intelektual), pembentukan kepribadian (character building) maupun kompetensi profesional. Akibatnya pendidikan di negeri ini seolah hanya menjadi masa penundaan pengangguran hingga sesorang anak manusia lulus dari dunia pendidikan. Tentu saja, penyebab rendahnya mutu pendidikan tersebut terkait dengan berbagai hal, mulai dari faktor manusia (antropologi), budaya, sistem pendidikan, situasi politik, ekonomi dan berbagai faktor lain yang sangat kompleks dan saling kait-mengkait.
Dari perspektif manusia dan kemanusiaan (antropologi), kecenderungan rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat dicermati dari cara pandang dan orientasi masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Tanpa banyak disadari, masyarakat kita telah berkembang menjadi manusia yang formalistik. Artinya orientasi hidup kita lebih tertuju pada target-target formal dibanding meraih kenyataan yang hakiki (esensial). Dalam kasus yang umum dapat kita perhatikan, banyak orang bangga bila anaknya naik kelas, lulus ujian akhir sekolah atau bahkan menjadi juara kelas, meski mungkin bila melihat kemampuan sebenarnya tidak demikian. Sebaliknya, mungkin sekali kita kecewa bilamana anak kita atau kita sendiri tidak naik kelas atau lulus ujian, meski berdasarkan kemampuan dan hasil tes yang dilalui anak memang yang bersangkutan tidak layak lulus.
Di masyarakat juga mudah dijumpai banyak orang bangga memakai gelar kesarjanaan, bahkan magister atau doktor dalam bidang keilmuan tertentu, meski tidak melalui proses pendidikan sebagaimana mestinya. Dari kalangan pejabat tinggi sampai rendahan dengan mudah dapat dijumpai, banyak orang tidak malu memakai gelar akademik tertentu meski kemampuan yang dimiliki tidak merepresentasikan kualitas gelar yang disandang.
Dari sini dapat dinyatakan bahwa banyak orang yang menempuh pendidikan tertentu tapi sebenarnya tidak untuk mencerdaskan diri. Meski menempuh pendidikan formal, sebenarnya banyak orang tidak benar-benar ingin pintar atau menguasai bidang keilmuan/keahlian tertentu, melainkan hanya menginginkan ijasah saja. Karena itu, dapat dipahami mengapa pendidikan di negeri ini tidak dapat mencapai tujuannya. Tujuan pendidikan yang mestinya untuk pencerdasan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sering terbelokkan menjadi jalan untuk meraih gengsi dan harga diri.
Dalam pengalaman mengelola lembaga pendidikan Darush Sholihin, kami sering menjumpai banyak pelamar yang nota bene sarjana pendidikan tapi tak tahu apa-apa soal menyusun program, tak paham visi dan misi, tak kenal administrasi pendidikan, strategi pengajaran, pengembangan program dan hal-hal yang mestinya menjadi bagian dari keahlian seorang sarjana pendidikan. Banyak sarjana yang kemampuannya hanya di atas kertas ijasah, dan tidak dalam keilmuan dan praktik kependidikan.
Bukan rahasia lagi, ujian akhir sekolah yang masih dipaksakan saat ini banyak dipenuhi kecurangan yang melibatkan kalangan guru dan sekolah, dan sedihnya, justeru banyak seolah dan orang tua yang bangga anak-anaknya lulus dengan cara demikian. Kita tidak merasa sedih dan bersalah meski anak-anak kita dibekali kebohongan dan kecurangan justeru di lembaga yang seharusnya membentuknya menjadi manusia jujur dan penuh integritas. Sebaliknya, banyak wali murid kecewa dan memilih memindahkan putera-puterinya ke sekolah lain karena putera-puterinya dinyatakan tidak naik kelas.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa orientasi pendidikan masyarakat kita sebenarnya masih belum terarah pada upaya mencerdaskan putera-puterinya melainkan juga demi nilai-nilai yang bersifat formalitas. Bila kecenderungan ini terus berlangsung maka yang terjadi dan tak mungkin terhindarkan adalah lahirnya sarjana-sarjana formal seperti di atas. Akibatnya, generasi yang akan melajutkan masa depan negeri ini sepuluh atau dua puluh tahun ke depan tampaknya tidak akan banyak berbeda dari yang ada saat ini.
Kasus-kasus serupa juga terjadi di luar dunia pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kecenderungan serupa seolah menjadi bagian dari keseharian kita, seperti dalam mengurus SIM (Surat Ijin Mengemudi), melanjutkan pendidikan, menjadi pegawai negeri, militer atau instansi tertentu, atau memenangkan suatu perlombaan. Kita selalu ingin berhasil, meski tidak melalui proses yang sebenarnya; kita selalu ingin menang meski seharusnya kalah. Kita hanya menginginkan selembar SIM, status sosial, atau juara meski sebenarnya kita belum pantas mendapatkannya. Kita selalu ingin diakui sebagai orang hebat atau diakui punya anak-anak pintar, meski sebenarnya tidak demikian. Padahal, dengan sikap demikian berarti kita sudah mengorbankan harga diri kita yang hakiki.
Ironis, dan mungkin inilah yang disebut éyang Ronggo Warsito sebagai jaman édan; sing ora édan ora kêduman. Lembaga pendidikan benar-benar dihadapkan pada dilema, bila mudah mencetak ijasah dan meluluskan siswa dengan segala cara diminati orang, sementara mereka yang bersungguh-sungguh memegang teguh prinsip akademik ditinggalkan. Padahal, tugas lembaga pendidikan mestinya untuk membentuk manusia yang mampu berfikir waras, jernih dan cerdas, bukan sebaliknya. Naudzubillahi min dzalik.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...