Tampilkan postingan dengan label PARENTING. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PARENTING. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Januari 2024

Mukjizat Kata-kata

Para pakar psudosains percaya bahwa kata-kata, apalagi kata-kata orang tua mampu menentukan masa depan anak manusia. Sadar atau tidak, kata-kata yang Anda ucapkan atau yang sering didengar anak, bahkan sembari bercanda, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk mental dan kepribadian anak-anak Anda. Pada masanya, kata-kata itu akan menentukan seperti apa masa depan mereka.

Di antara kisah paling populer tentang mukjizat kata-kata adalah kisah Thomas Alfa Edison, yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Saat pulang sekolah, gurunya memberi Edison sepucuk surat untuk disampaikan kepada orang tuanya. Ibu Edison menangis setelah membaca surat itu, hingga Edison pun bertanya, “Surat itu isinya apa, ma?” tanya Edison melihat ibunya menangis.

“Cuma Surat Biasa. Gurumu cuma bilang, kamu terlalu pintar untuk belajar di sekolah. Jadi mulai hari ini kamu belajar di rumah saja sama mama, agar kelak kamu jadi orang hebat”, jawab ibunya dan sejak saat itu Edison berhenti sekolah.

Di saat teman-teman sebayanya pergi sekolah, Edison hanya belajar bersama ibunya dan guru-guru yang diundang untuk mengajarinya. Setiap kali Edison kesulitan dalam belajar, Sang Ibu selalu meyakinkannya bahwa Edison pasti bisa, “Kamu anak hebat dan kelak pasti jadi orang hebat”

Keajaibanpun terjadi, yang mana setelah dewasa Edison benar-benar menjadi orang hebat dengan berbagai penemuan ilmiah dan mendapatkan lebih dari 1000 hak paten. Salah satu temuanya adalah lampu pijar bertenaga listrik yang menjadi cikal bakal lampu modern yang diikmati manusia hingga saat ini.

Beberapa saat setelah ibunya meninggal dunia, Edison membongkar lemari orang tuanya dan menemukan sepucuk surat yang dulu dikirimkan oleh gurunya di hari terakhir dia sekolah. Edison terkejut membaca isi surat itu, sebab isinya tidak seperti yang dikatakan ibunya waktu itu. Rupanya

isi surat itu berbunyi, “Mulai hari putera Anda tidak perlu datang ke sekolah lagi, karena dia terlalu bodoh untuk belajar”.

Edison menyadari betapa kesuksesannya datang dari kata-kata mukjizat sang ibu. Semua yang dia raih tidak lepas dari peran sang ibu yang selalu meyakinkannya bahwa dia adalah anak hebat dan akan jadi orang hebat.

Belajar dari kisah Edison, ada baiknya semua orang tua dan guru membiasakan diri berbicara positif pada anak dalam keadaan apapun. Orang tua dan guru perlu belajar menata hati dan pikiran agar terbiasa bersikap dan bicara positif di hadapan anak-anak dan murid-muridnya.

Selain berikhtiar memberikan pendidikan terbaik pada mereka, Yakinlah bahwa mereka adalah calon-calon orang shalih dan hebat di masa depan. Selalu yakinkan anak-anak kita bahwa mereka bisa, mereka hebat dan akan akan jadi orang hebat.

Dalam situasi apapun, hindari kata-kata negatif yang dapat melemahkan mental mereka. Katakan hal-hal baik dan positif saja pada mereka dan yakinkan bahwa mereka pasti jadi anak-anak hebat di masa depan, agar anak-anak dan murid-murid kita jadi Edison-edison baru di masa depan.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 25 Maret 2020

MEMAHAMI KESIAPAN MENTAL ANAK SAAT MEMASUKI MASA REMAJA



Usia remaja adalah fase rawan dalam perkembangan mental anak. Memasuki masa remaja seorang anak memasuki masa pancaroba atau masa perubahan sikap dan perilaku yang sangat drastis. Masa ini biasa disebut masa badai, yaitu masa-masa di mana seorang anak mengalami guncangan mental yang sangat berat. Anak-anak yang kurang siap memasuki fase ini sering kali mengalami krisis jati diri yang membuat hari-hari mereka diliputi oleh kegalauan, sehingga mudah emosi, tersinggung, memberontak atau sebaliknya menutup diri, hingga melakukan hal-hal di luar nalar.
Tidak mengherankan bila sebagian anak kadang mengalami perubahan drastis, dari yang biasanya pendiam menjadi sangat aktif, tadinya betah di rumah menjadi gemar keluar, ceria menjadi pemurung, tenang menjadi pemarah, lembut menjadi kasar, penurut menjadi pemberontak dan sebagainya. Perubahan dari anak-anak menjadi remaja dan setengah dewasa mendorong anak mencari jati dirinya yang baru melalui berbagai cara, terutama melalui proses imitasi terhadap lingkungan. Kebanyakan anak mulai mengidolakan hal-hal di luar dirinya dan kebiasaan keluarganya, yang karenanya lingkungan terdekat sering kali menjadi penentu bentukan karakter anak pada masa selanjutnya.
Masa pancaroba dapat dilalui dengan “aman” bagi orang tua yang memiliki cukup waktu untuk tetap menjaga kedekatan dengan anak-anaknya, mendampingi dan mengarahkan anak di fase perubahan sikap dan perilaku tersebut. Anak-anak seperti ini biasanya tumbuh secara normal dan terus berkembang menjadi manusia dewasa yang minimal tanpa “membuat masalah” yang berarti, serta dapat meraih sukses seperti harapan orang tuanya.
Sumber:  Irfan TamwifiMasalahnya, tidak sedikit orang tua yang karena kesibukan dan berbagai alasan justeru semakin berjarak dari anak-anaknya. Banyak orang tua yang bahkan kehilangan kendali atas perkembangan sikap dan perilaku anak di masa pancaroba, sehingga anak tumbuh dengan sikap, perilaku dan orientasi yang jauh dari harapan orang tua. Selain itu, anak-anak dengan tiper kepribadian tertentu memang sudah mempunyai potensi untuk tumbuh di luar harapan orang tua. Mereka bahkan sudah dapat diidentifikasi sejak awal, yaitu di fase akhir masa anak-anak, terutama kelas V dan VI SD, yang secara umum dibedakan ke dalam beberapa kategori: Prestasi, Potensial, Rawan dan Labil.

1.      Prestasi
Termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak yang memiliki karakter kuat, yang ditandai dengan sikap mandiri, visioner, fokus di bidang akademik atau vokasional. Anak-anak seperti ini secara konstan biasanya berprestasi menonjol di sekolah, sejak kelas masuk sekolah sampai lulus sekolah. Pasang surut prestasinya tidak terlalu signifikan.
Anak-anak seperti ini bisa masuk sekolah jenis apa saja, baik sekolah konvensional, unggulan atau yang menyelenggarakan program khusus. Kesiapan mentalnya memungkinkan beradaptasi secara dinamis dengan tuntutan akademik dan vokasional di jenjang yang lebih tinggi.
2.      Potensial
Anak potensial adalah anak-anak yang sebenarnya memiliki prestasi rata-rata di sekolah, tetapi memiliki kesiapan mental yang cukup baik. Mereka adalah anak-anak yang sudah mandiri, paham dengan tugas perkembangannya dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan kecil kemungkinan akan terpangaruh sikap, perilaku dan perangai negatif.
Mereka anak-anak yang tahu diri untuk menjaga nama baik orang tua dan berusaha keras membuat orang tuanya bangga dengan prestasi-prestasinya, tetapi karena keterbatasan kemampuan berfikir bawaannya, membuat prestasi akademiknya hanya sampai pada level rata-rata. Meski demikian, mereka masih mempunyai peluang untuk berprestasi menonjol terutama di bidang-bidang non-akademis. 
3.      Rawan
Ini adalah kategori anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dari orang tua dan guru. Anak-anak tipe ini sebenarnya memiliki kemampuan akademis dan vokasional yang baik, tetapi kesiapan mentalnya belum memadai dalam memasuki masa remaja. Pola asuh dan lingkungan sosial yang kurang positif membuat mental anak rawan terpengaruh oleh hal-hal negatif dan merugikan.
Anak-anak tipe ini dapat berkembang menjadi anak potensial atau bahkan prestasi bila mampu melampaui masa remaja secara sehat. Sebaliknya, anak-anak seperti ini dapat berkembang menjadi anak labil bila pematangan mentalnya tidak terfasilitasi dengan baik.
4.      Labil
Anak tipe terakhir ini tidak selalu memiliki orientasi dan prestasi akademis rendah. Sangat boleh jadi sebagian dari mereka sebenarnya memiliki kecerdasan tinggi. Hanya saja karena pola asuh, kondisi keluarga atau trauma-trauma tertentu membuat mereka memiliki mental yang rapuh. Anak-anak korban perceraian, anak yang karena suatu alasan dititipkan pengasuhannya pada kakek-nenek atau orang lain, serta korban kekerasan adalah sebagian di antara anak-anak yang terkategori labil.
Anak-anak tipe ini membutuhkan pendampingan khusus agar mampu melewati masa remaja dengan mental yang kuat. Anak-anak tipe ini seharusnya belajar di sekolah yang mampu memberi perhatian lebih terhadap perkembangan mentalnya. Bila dimasukkan ke sekolah konvensional, mereka akan cenderung kurang mendapat perhatian sehingga dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif di sekitarnya. Pada kasus-kasus tertentu, anak-anak tipe ini dapat melakukan hal-hal tidak terduga baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Atas dasar itulah, pilihan jenjang pendidikan lanjutan untuk anak seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan karakteristik setiap anak. Untuk anak-anak tipe Prestasi dan Potensial dapat memilih sekolah manapun, meski tetap menuntut perhatian dan kedekatan lebih dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan masa remaja bagaimanapun merupakan fase rawan, masa badai, yang tak seorangpun mampu menduga apa yang akan terjadi dan dihadapi oleh anak-anak kita.
Khusus, untuk anak-anak tipe rawan, seyogyanya dimasukkan ke sekolah-sekolah yang memberikan pelayanan lebih (plus), yang umumnya adalah sekolah-sekolah swasta. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan mental mereka teradvokasi dengan baik, sehingga mereka mampu meraih masa depannya secara gemilang.

Selasa, 24 Maret 2020

MENDAMPINGI ANAK DI TENGAH DISTANSI SOSIAL

Mungkin sedikit terlambat menulis artikel ini, sebab gerakan Distansi Sosial sudah berjalan lebih dari seminggu, tapi tidak ada salahnya tips ini dibagikan, apalagi kapan tuntasnya penanganan wabah kali ini  masih sulit diprediksi. Sangat boleh jadi masyarakat masih harus bertahan di tengah situasi ini seminggu ke depan dan tidak menutup kemungkinan lebih panjang.
Yang pasti menjaga dan membantu anak belajar dan menghabiskan waktu di rumah bukanlah hal mudah. Lebih-lebih Distansi Sosial berbeda sama sekali dari hari libur. Distansi Sosial mengharuskan setiap orang dalam keluarga menghabiskan banyak waktu di rumah. Anggota keluarga, siapapun, termasuk ayah dan ibu, dihimbau untuk tidak keluar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang demi tidak terpapar ataupun menularkan virus pada orang lain.
Ya, Distansi Sosial tidak ubahnya membuat setiap orang menjadi semacam "tahanan rumah". Masyarakat hanya perlu merelakan sebagian kebebasannya dan tentu saja menderita pelambatan ekonomi demi tidak membuat pandemi ini semakin parah. 
Tidak hanya itu, masyarakat juga harus menanggung beban mengasuh dan mendidik sendiri anak-anaknya, tugas yang sebelumnya menjadi tugas sekolah atau lembaga-lembaga kursus. Hal ini tentu bukan hal mudah, mengingat mengajar anak-anak sendiri sering kali jauh lebih sulit dibanding anak orang lain.
Agar pandemi ini tidak semakin meluas, kita aman dari paparannya dan anak-anak dapat belajar dengan baik, berikut ini ada beberapa tips yang perlu dicoba.
1.  Tetap Tenang dan Menenangkan
Tetaplah tenang dan jangan panik, sebab kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Bosan, kesulitan ekonomi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari sudah pasti kita alami,. Meski demikian, kondisi ini jauh lebih baik dibanding mereka yang tertimpa musibah bencana alam atau keadaan rusuh akibat perang yang penuh ketidakpastian.
Anak-anak juga pasti tidak nyaman dengan situasi ini dan orang tuanyalah yang seharusnya mampu memberi ketenangan pada mereka. Tidak perlu menambah beban anak-anak kita dengan kepanikan orang tuanya. Jangan membuat anak-anak trauma dengan peristiwa ini.
2.  Hanya Dengarkan Pemerintah
Wabah ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi sudah mendunia. Banyak negara mengalaminya dan semua bisa dijelaskan secara sainstifik, ilmiah. Ini bukan kutukan atau azab Tuhan, tapi peristiwa biasa dalam sejarah manusia. Kita bersyukur karena penjelasan sains bisa membuat wabah ini diantisipasi secara cepat oleh dunia medis.
Karena itu, dengarkan dan ikuti pernyataan dan keputusan pemerintah saja dan hanya pemerintah, bukan yang lain. Merekalah satu-satunya pihak yang berkompeten dan layak dipercaya. Buang jauh-jauh berita, informasi, penjelasan ataupun broadcast  orang dan media sosial yang tidak jelas sumbernya dan dinyatakan oleh mereka yang tidak jelas kompetensinya. 
Bimbinglah anak-anak untuk selalu update dan peka terhadap informasi resmi dan terhindar dari informasi-informasi tidak jelas dan menyesatkan. Waspdalah, sebab di situasi seperti ini selalu saja ada orang-orang jahat yang berusaha memanfaatkan keadaan.
3.  Hindari Marah pada Anak
Mendampingi anak, apalagi ditambah harus membantu belajar di rumah membuat kita sering dihadapkan pada sikap dan perilaku anak yang tidak sesuai keinginan orang tua. Banyak hal yang bisa memancing kita untuk marah atau bersikap keras pada anak.
Dalam situasi semacam ini, sedapat mungkin orang tua tidak marah pada anak, sebab tidak memberikan keuntungan apapun bagi anak maupun orang tua sendiri. Marah pada anak pada dasarnya hanya memuaskan emosi orang tua dan sama sekali tidak membuat anak lebih baik. Kalaupun anak mengikuti kehendak orang tua, itu terjadi hanya karena rasa takut bukan karena kesadarannya. Kita harus marah dan marah lagi untuk memaksa anak, padahal itu sangat tidak nyaman buat orang tua maupun anak, bahkan semakin memperburuk suasana.
4.  Mengubah Cara Berkomunikasi
Di antara sisi positif dari peristiwa ini adalah, keluarga mempunyai momen untuk menjalin kedekatan seoptimal mungkin. Anak-anak umumnya lebih mudah dikendalikan dan terhindar dari pergaulan yang jauh dari harapan.
Orang tua perlu belajar berkomunikasi dengan anak, bukan semata-mata antara orang dewasa dan anak-anak, tetapi sebagai tim dan partner yang solid dalam beraktivitas bersama. Inilah momentum yang tepat memulai relasi yang baru dalam keluarga, yang mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya musibah ini.
Ini adalah saat-saat yang tepat untuk mengajarkan life skill dan tanggung jawab mereka pada keluarga. Berbagai life skill seperti mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah adalah kecakapan penting yang sering terlewatkan untuk diajarkan pada anak-anak jaman ini.
5.  Belajar Online
Mengajarkan materi pelajaran saat ini bukanlah hal mudah bagi orang tua, sebab cakupan dan kerumitannya berbeda dari pelajaran jaman dulu. Selain itu, perjalanan waktu membuat banyak materi pelajaran yang orang tua sudah tidak mengingatnya lagi.
Meski demikian tidak perlu khawatir, karena belajar di era digital jauh lebih mudah dibanding era manual. Semua materi pelajaran ada di internet berikut penjelasannya. Orang tua bersama anak tinggal googling dan browsing untuk dipelajari bersama-sama. Inilah saatnya merasakan manfaat gadget bukan hanya untuk bermain medsos dan game, tapi untuk belajar.
Sudah pasti orang tua harus mengubah kebiasaan, dari yang selama ini pasrah pada guru sekolah atau guru les menjadi harus terlibat sendiri. Menjadi guru dadakan tentu sedikit tidak nyaman, tetapi akan terasa asyik bila kita berusaha menikmatinya.
Semoga bermanfaat.




Jumat, 17 Juni 2016

10 PROBLEM UMUM BELAJAR ANAK

Oleh:  Irfan Tamwifi

Pembelajaran efektif merupakan dambaan setiap guru dan sekolah, tetapi mewujudkannya tidak selalu mudah dilakukan. Berbagai hambatan dihadapi guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Selain karena faktor instrumental, seperti kurikulum, guru dan infrastruktur, pembelajaran yang tidak dapat diabaikan adalah yang terletak pada diri peserta didik. Ibarat memasak suatu masakan atau memproduksi suatu produk, efektif tidaknya pencapaian hasil belajar juga ditentukan oleh bahan yang akan dimasak atau bahan baku produksinya. 
Meskipun demikian, sebagian problem belajar yang terletak pada peserta didik pada dasarnya dapat diupayakan untuk dikembangkan, baik secara sendirian, bersama sekolah, wali murid maupun pihak lain seperti konselor. Bahkan tugas pertama guru pada dasarnya adalah mempersiapkan peserta didik agar siap mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu memahami problem-problem umum yang biasa menghambat proses belajar anak. Di antara problem tersebut adalah sebagai berikut.
1.   Minat Belajar
Problem paling umum belajar anak terletak pada rendahnya minat belajar. Belajar sering kali dijalani peserta didik sebagai ritual, aktivitas rutin, dan bukan atas kehendak, keinginan atau inisiatifnya sendiri. Rendahnya minat belajar mengakibatkan proses belajar hanya akan menjadi kegiatan yang kurang bermakna, dan dijalani sambil lalu.
2.   Kemauan Belajar
Belajar merupakan proses yang membutuhkan usaha yang keras. Belajar merupakan proses di mana seseorang melakukan suatu aktivitas mental hingga memperoleh suatu pengetahuan atau keahlian tertentu. Proses yang membutuhkan usaha dengan sendirinya tidak selalu mudah untuk dijalani. Meski demikian, setiap peserta didik yang kondisi mentalnya normal pada dasarnya mampu mempelajari seluruh materi pembelajaran dengan maksimal. Yang membedakan hasil belajar peserta didik satu dari yang lain pada umumnya terletak pada perbedaan kemauan untuk menempuh proses belajar dengan segala beban dan kesulitan di dalamnya. 
3.   Kemandirian Belajar
Pada dasarnya setiap manusia dapat belajar sendiri dari berbagai sumber. Hanya saja, kebanyakan anak cenderung ketergantungan pada guru, sekolah atau orang tuanya. Pada banyak kasus, hambatan belajar terjadi akibat ketergantungan tersebut, padahal seharusnya mereka dapat melakukan proses itu secara mandiri. Banyak anak yang lebih suka disuapi dibanding mengeksplorasi sendiri beragam pengetahuan dan keahlian di sekelilingnya, meskipun internet, media massa dan buku-buku mudah diakses. Ketidakmandirian belajar sering kali menjadi penyebab tidak optimalnya proses belajar yang dilalui peserta didik. Padahal semakin mandiri seorang anak, maka semakin cepat mereka mencapai tujuan belajar.
4.   Kesadaran dan Tanggung Jawab
Seharusnya belajar merupakan kebutuhan setiap individu agar berkembang kemampuannya baik aspek kognitif maupun vokasionnalnya. Hanya saja, tidak semua anak memiliki kesiapan untuk belajar untuk dirinya sendiri. Banyak anak yang tidak merasa butuh untuk belajar. Ketergantungan anak pada orang lain, seperti keluarga dan lingkungan menjadikan belajar sering kali bukan bermakna sebagai kebutuhan diri sendiri, melainkan orang lain, terutama orang tua dan guru.
5.   Mental dan Kepribadian
Anak-anak dengan kondisi mental dan kepribadian tertentu cenderung tidak mudah untuk mengikuti proses pembelajaran secara efektif. Kondisi mental dan kepribadian tersebut tercermin dalam sikap dan perilaku anak dalam mengikuti proses pembelajaran. Anak-anak dengan mentalitas manja, liar, tidak tenang, kesulitan memfokuskan perhatian membutuhkan tenaga ekstra untuk mengantarkan mereka mencapai hasil belajar yang memadai.
6.   Kesiapan Mental
Belajar membutuhkan fokus perhatian secara optimal. Pembelajaran efektif membutuhkan kesiapan mental anak untuk menghadapi dan berproses di kelas. Sering dijumpai anak-anak yang secara fisik di kelas, tetapi sangat boleh jadi hati dan pikirannya berada di tempat lain. Kesiapan mental sangat penting diperhatikan dalam proses pembelajaran, agar hal-hal di luar tujuan pembelajaran dieliminasi sehingga anak lebih fokus pada proses belajar.
7.   Kecerdasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembelajaran, terutama dalam bidang-bidang kognitif membutuhkan tingkat kecerdasan tertentu. Anak-anak dengan tingkat kecerdasan rendah, apalagi sampai taraf disleksia misalnya, akan menyulitkan guru dalam mengantarkan mereka pada hasil belajar yang optimal. Kecerdasan seorang anak mempengaruhi kemampuan mereka dalam merekam informasi, memahami, apalagi mengimplementasikan konsep atau pengetahuan.
8.  Gaya Belajar
Pembelajaran ideal sering menuntut guru untuk menyesuaikan pendekatan pembelajarannya dengan gaya belajar peserta didik. Masalahnya, di kelas yang peserta didiknya memiliki gaya belajar beragam pada umumnya menyulitkan guru mencapai hasil pembelajaran secara optimal. Mengikuti gaya belajar sekelompok anak berpotensi merugikan anak yang lain, 
9.  Lingkungan Belajar
Aspek krusial yang sering kali diabaikan dalam pengelolaan belajar adalah budaya belajar di suatu sekolah. Budaya sekolah yang tidak terkonsep atau terlanjur diliputi oleh sikap, perilaku dan kebiasaan yang tidak kondusif cenderung sulit mengarahkan peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan. 
10.  Lingkungan Sosial
Pembelajaran di sekolah pada dasarnya bukan proses yang berdiri sendiri. Secara tidak langsung, lingkungan di mana peserta didik tinggal dan bersosialisasi menentukan seberapa efektif mereka belajar di sekolah. Anak-anak yang bergaul dengan anak-anak yang malas belajar, akan cenderung demikian ketika di sekolah. Anak-anak di keluarga yang menekankan pentingnya belajar dan tidak juga menentukan bagaimana mereka belajar saat di sekolah. 

Senin, 13 Juni 2016

3 DAMPAK RENDAH DIRI PADA REMAJA

Oleh:  Irfan Tamwifi

Berbeda dari masa anak-anak yang umumnya bebas berekspresi, banyak anak yang berubah menjadi lebih tertutup, pendiam dan pasif saat memasuki masa remaja. Di satu sisi hal ini terjadi dikarenakan mulai tumbuhnya kesadaran mengenai normal dan nilai, tetapi di sisi lain perubahan tersebut sering kali terjadi akibat berkembangnya perasaan kurang percaya diri. 
Kesadaran atas nilai dan norma merupakan hal yang wajar dan seharusnya terjadi, tetapi akan menjadi masalah yang merugikan bilamana perubahan terjadi karena penurunan kepercayaan diri. Ironisnya, penurunan kepercayaan diri sering kali menjadi problem kejiwaan paling merugikan yang dialami anak saat memasuki masa remaja. Di antara kerugian anak yang rendah diri adalah: 
1.   Gagal Mengeksplorasi Diri
Setiap manusia pasti memiliki potensi-potensi mental dan fisik yang bilamana digali dan dilatih secara  optimal akan mengantarkannya meraih sukses. Hanya saja, rendahnya kepercayaan diri dapat mengakibatkan anak kehilangan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai potensi dirinya. Anak yang kurang percaya diri cenderung menarik diri dari arena pertaruangan dan menutup peluang untuk mengembangkan berbagai potensi diri mereka. 
Dengan kata lain, rendahnya kepercayaan diri membuat anak kalah sebelum bertanding. Padahal bila anak memiliki kesempatan untuk berkembang secara optimal, sangat boleh jadi mereka dapat bersaing dengan anak-anak yang kepercayaan dirinya lebih tinggi.
Dalam banyak kasus, anak-anak yang sukses tidak selalu berasal dari anak yang potensi dirinya lebih baik dibanding anak-anak yang gagal. Mereka yang berhasil meraih posisi-posisi prestisius seperti menjadi aparat pemerintahan, menjadi guru, dosen, atau profesi-profesi menterang lainnya, tidak selalu memiliki potensi kecerdasan lebih dari yang lain. Banyak di antara orang-orang yang sukses meraih karier yang mapan dalam hidupnya lebih dikarenakan modal keberanian dan kepercayaan diri dibanding kemampuan bawaan.
2.   Melemahkan Semangat Juang
Tidak salah bila para pakar kesuksesan berkeyakinan bahwa modal utama kesuksesan hidup lebih ditentukan oleh kekuatan mental dibanding kecerdasan, keahlian dan kompetensi teknis lainnya. Kesuksesan lebih ditentukan oleh kekuatan mental seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Kekuatan tersebut berupa keyakinan diri atau kepercayaan diri, keberanian, kekuatan kemauan dan semangat juang seseorang dalam meraih sukses.Kemampuan kerja memang tidak selalu dapat dipelajari dengan mudah, tetapi kekuatan kemauan memungkinkan seseorang belajar dan meraih sukses. 
Rendahnya kepercayaan diri dengan sendirinya akan menghambat kekuatan mental seseorang untuk mengalahkan tantangan sejati dalam meraih sukses. Tantangan sejati dalam meraih sukses yang pertama dan terutama adalah mengalahkan kelemahan diri sendiri. Seseorang tidak akan mampu mengalahkan orang lain, bila dalam dirinya tidak ada kepercayaan diri.
Ibarat menghadapi pertempuran, orang yang tidak percaya diri bukan berarti tidak lebih terampil dalam bermain senjata dengan lawan, tetapi orang yang tidak punya nyali untuk bertempur. Tidak adanya nyali akan dengan mudah meruntuhkan semangat juangnya dan pada gilirannya akan dengan mudah dikalahkan oleh lawan.
3.   Memperkokoh Ketidakmampuan
Ketidakpercayaan diri cenderung membuat anak menarik diri dari percaturan hidup. Menarik diri dari percaturan hidup sama artinya dengan menutup diri, menutup jalan menuju sukses. Anak remaja yang rendah diri akan diliputi oleh perasaan kalah, bahkan sebelum pertandingan dimulai, yang pada gilirannya akan membuat mereka memilih untuk tidak bertanding.
Masalahnya, ketidakpercayaan diri sering kali tidak begitu jelas dialami oleh setiap remaja. Tingginya ego, perasaan lemah dan berbagai alasan membuat perasaan rendah diri sering diekspresikan secara berbeda-beda oleh setiap anak. Sebagian mengekspresikan perasaan rendah diri dengan cara menarik diri, menutup diri, dan membatasi diri untuk berkembang, sedangkan sebagian remaja lain cenderung mengekspresikan rasa rendah diri dengan cara sebaliknya. 
Dalam keseharian dapat dijumpai remaja yang terlihat pemberani, ugal-ugalan, dan agresif, meski pada dasarnya sikap dan perilaku tersebut sebenarnya bukan dikarenakan kepercayaan diri yang tinggi, melainkan sebaliknya. Banyak remaja yang berpakaian atau berdandan aneh-aneh, besikap arogan atau bahkan agresif bukan karena percaya diri, tetapi pada dasarnya justeru terjadi akibat ketidakpercayaan diri. Mereka berusaha menutupi ketidakpercayaan dirjnya dengan cara seolah-olah percaya diri.
Ketidakpercayaan diri baik yang diekspresikan dengan sikap dan perilaku tertutup maupun agresif pada dasarnya hanya memperkokoh ketidakmampuan diri anak. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkembang secara positif karena sikap dan perilaku anak yang tidak percaya diri  cenderung menjauhkan mereka dari kesempatan untuk belajar secara wajar dan terstruktur.

Jumat, 23 Agustus 2013

3 ALASAN MEMILIH SEKOLAH

Sebagian orang mengatakan, "Sekolah itu sama saja". Itu sebabnya, sebagian orang tidak berminat memilihkan sekolah yang "aneh-aneh: apalagi yang berbiaya mahal bagi putera-puterinya. Mereka bahkan memandang "aneh" mereka yang memilih sekolah mahal, sebab menurut mereka di manapun sekolah itu sama.

Jumat, 16 Desember 2011

MENGELOLA LIBURAN SEKOLAH YANG BERMAKNA


Liburan sekolah di Indonesia akhir-akhir ini mendapat alokasi waktu yang cukup panjang dibanding masa-masa sebelumnya. Libur semester 1 atau semester gasal berlangsung 2 minggu dari sebelumnya yang hanya 1 minggu. Libur semester 2 atau semester genap berlangsung 3 minggu dari sebelumnya yang hanya 2 minggu.
Panjangnya masa liburan menjadi masalah tersendiri, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah dan bagi keluarga yang tidak mengagendakan liburan sekolah sebagai momen istimewa. Apalagi liburan sekolah tidak selalu bersamaan dengan liburan hari kerja di perusahaan dan instansi pemerintah, sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengisi liburan bersama keluarga.
Sebagian sekolah lebih suka membiarkan liburan berlangsung begitu saja, tanpa agenda yang dipandu melalui sekolah. Siswa dapat memilih kegiatan liburan sesuai dengan kondisi masing-masing. Akibatnya, liburan tidak jarang menjadi momen yang menjemukan bagi sebagian siswa dan bagi siswa yang lain bahkan mengarahkan mereka pada hal-hal yang tidak konstruktif.

PERLUNYA MENGELOLA LIBURAN SEKOLAH

Liburan biasanya menjadi saat-saat yang paling ditunggu oleh siswa maupun guru. Mereka biasanya menyambut hari libur engan suka cita, sebab liburan berarti kebebasan dari berbagai beban dan tanggung jawab di sekolah. Kecenderungannya, guru maupun siswa bahkan selalu merasa berat ketika hari libur sekolah berakhir.
Liburan sendiri merupakan ritual umum di setiap instansi pemerintah maupun swasta, dan tidak terkecuali sekolah. Tradisi liburan sudah ada dalam kehidupan masyarakat tradisional, sebagai tuntutan-tuntutan tradisi ataupun akibat faktor alam.

Sabtu, 03 Desember 2011

4 ALASAN DEKAT DENGAN ANAK

Saat anak-anak masih kecil, sebagian orang tua suka mengeluh soal anak-anaknya. Mereka merasa terganggu kesibukannya karena anak-anak belum mandiri, belum mau makan, tidur atau mandi sendiri. Tidak jarang mereka protes ketika sekolah mengadakan kegiatan yang mengharuskan orang tua mengantar-jemput, atau bahkan menemani di sekolah.
Sebagian orang tua merasa enggan ketika harus mengantar-jemput anak ke sekolah, kursus, atau les. Banyak orang tua merasa terlalu sibuk untuk menemani anak belajar dan memilih mengudang guru les privat ke rumah. Sebagian lagi memilih membiarkan anak-anaknya memilih kegiatannya sendiri, bermain apa saja, sesukanya, asal pulang ke rumah saat malam tiba.

Rabu, 16 Februari 2011

TIPE-TIPE ANAK DIDIK

Anak didik merupakan “bahan baku” pendidikan. Dialah yang menjadi bahan mentah untuk dikembangkan kompetensi emosional, intelektual dan keahliannya.
Menjadikan mereka anak-anak yang sukses dalam belajar dan kehidupan merupakan tugas mulia guru. Agar usaha mencapai hasil optimal, setiap guru perlu memahami potensi yang dimiliki oleh anak didik.
Sebagai manusia, setiap anak memiliki potensi belajar beragam. Ada yang mudah dan ada pula yang perlu usaha ekstra. Oleh karena itu, tipe-tipe anak didik berdasarkan potensinya perlu dikenali dengan baik.

Secara sederhana, potensi anak didik dapat dicermati berdasarkan dua aspek. Aspek tersebut adalah kesiapan mental dan kecerdasannya. Kesiapan mental biasanya tampak pada kemandirian anak. Sementara kecerdasan umumnya tampak pada daya serap anak terhadap suatu kompetensi.
Atas dasar itu, tipe-tipe anak didik dapat dipetakan sebagaimana bagan berikut.
1. Tipe Cerdas
Ini adalah tipe siswa yang paling mudah diajar. Mereka memiliki tingkat kemandirian dan sekaligus daya serap tinggi.
Mendidik anak tipe ini sangat mudah bagi guru. Kemandirian dan kecerdasannya bahkan menjadikan guru tidak perlu mengajar, karena anak memiliki minat dan kemampuan belajar secara mandiri.
Tipe seperti ini kadang ada karena faktor bawaan, tetapi tidak jarang sebagai hasil bentukan lingkungan baik karena pola asuh orang tua maupun pembelajaran kepribadian di sekolah.
2. Tipe Pintar
Ini adalah tipe anak didik pada umumnya. Meski bukan anak cerdas secara kognitif, tetapi dia memiliki kesiapan mental, berupa kemandirian, dan minat belajar tinggi.
Tipe ini umumnya menjadi siswa yang berhasil dalam belajar maupun dalam hidupnya. Modalitas mental dan kemandirian yang memadai menjadikan anak mampu mengatasi berbagai masalah belajar.
Pada anak seperti ini, tugas guru adalah membelajarkan mengenai cara belajar efektif dan berbagai trik pembelajaran. Meski tidak secepat anak cerdas, anak pintar sering kali dapat sesukses anak cerdas.
3. Tipe Aktif
Ini adalah tipe anak didik yang relatif membutuhkan keahlian dan tenaga ekstra dari guru. Anak seperti ini pada dasarnya cerdas, tetapi kurang memiliki kesiapan mental (kecerdasan emosi).
Anak tipe ini biasanya banyak ulah, banyak kemauan, dan agak egois. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kecerdasan pikir dan emosinya, sehingga tersublimasikan ke dalam sikap dan perilaku aktif, atraktif dan semau gue.
Banyak guru dan orang tua salah mempersepsikan mereka sebagai anak nakal. Padahal sangat boleh jadi sebenarnya mereka anak yang terlalu cerdas daya pikirnya. Bahkan tokoh-tokoh besar yang terlahir dengan kondisi seperti mereka.
Anak seperti ini membutuhkan guru yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan memiliki keahlian bidang pembinaan kecerdasan emosi. Keberhasilan membentuk kembali emosi anak merupakan kunci keberhasilan belajar.
4. Tipe Sulit
Ini adalah tipe anak didik yang membutuhkan guru berkeahlian ganda. Ini dikarenakan problem belajar anak terletak pada dua aspek fundamental, yakni kesiapan mental dan kecerdasan sekaligus.
Untungnya, anak tipe ini semakin jarang ditemukan saat ini. Kualitas gizi yang dikonsumsi orang tua saat hamil dan anak semasa kecil makin baik, hingga jumlah anak seperti ini semakin sedikit.
Guru berkeahlian khusus diperlukan agar minat anak terbangun seperti anak tipe pintar. Bila hasil pembelajaran kognitifnya tidak sebaik anak yang lain, maka peluang untuk membuatnya sukses harus digali dari potensi-potensinya yang lain.
Setiap anak memiliki potensi kecerdasannya sendiri. Anak pasti memiliki kelebihan (kecerdasan) di bidang tertentu. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara guru dan wali murid agar potensi anak dapat digali dan dikembangkan lebih optimal.

Senin, 20 April 2009

UASBN DAN MATA BANDENG

wBeberapa hari yang lalu, kepala sekolah di lembagaku melapor. "Pak, saya tadi baru ikut sumpah"
"Sumpah apa?"
"Sumpah UAN"
"Sumpah UAN?"
"Kita disumpah untuk menjamin mutu pelaksanaan UAN"
"Hmm..."

"Masalahnya sumpah sesudah sumpah itu"
"Lho, sumpah apa lagi?" tanyaku kaget.
"Kita juga disumpah untuk menjaga rahasia"
"Rahasia apa?" tanyaku.


Sejenak kepala sekolah itu diam, lalu menjelaskan. "KKS gugus ini merasa malu, nggak enak hati. Gugus sekolah kita ini kan yang paling menonjol di wilayah ini. Kita selalu dijadikan prioritas semua program, berbagai fasilitas "istimewa" dinas pendidikan, termasuk di antaranya penempatan proyek DBE, tapi dalam UASBN selalu kalah dibanding sekolah-sekolah di pingiran yang tidak jadi prioritas dan tidak pula mendapat fasilitas seperti halnya gugus ini. Oleh karena itu, guru-guru kita yang ditunjuk menjadi pengawas UABN diinstruksikan untuk menggunakan
mata bandeng"
"Mata bandeng?" tanyaku keheranan.
"Iya. Matanya melorok, tapi (pura-pura) nggak melihat apa-apa" Serentak kami tertawa kecut.

"Saya jadi serba salah. Mengikuti mereka bertentangan dengan kebijakan yayasan agar siswa mengerjakan soal UABN secara mandiri, murni hasil kerja siswa, tapi tidak mengikuti mereka pasti membawa konsekwensi yang tidak enak bagi saya dan mungkin juga sekolahan kita. Masalahnya lagi, kalau anak-anak (siswa sekolah kami) kita biarkan bekerja secara murni, bisa-bisa nilai mereka nanti di bawah nilai siswa sekolah lain" Paparnya.

Sejenak aku terdiam. Aku teringat peristiwa yang sama sejak beberapa tahun silam, yang rupanya terulang dan terulang lagi. Sekolah-sekolah di pinggiran selalu mendapatkan nilai yang baik dalam UABN. Hal ini dikarenakan fokus perhatian para pengawas independen dan masyarakat terfokus pada sekolah di gugus ini, sementara guru-guru di sekolah pinggiran dapat dengan leluasa mengajari siswa-siswinya mengerjakan soal UABN. Akibatnya, nilai UASBN siswa sekolah di gugus ini selalu lebih rendah dibanding sekolah-sekolah pinggiran.

Mereka memang tidak segan-segan masuk kelas, meski ada pengawas dari sekolah lain. Guru-guru di sekolahku selalu mengeluh bila harus menjadi pengawas ujian di sekolah-sekolah itu. "Masa, guru-guru sekolah itu sama sekali tidak segan sama kita (pengawas ujian). Dengan santainya, mereka bilang, permisi pak, lalu masuk kelas dan mendiktekan jawaban pada siswa" jelas pak Din, guru sekolahku waktu itu.

Pak Nanang dan bu Khotim juga sempat jadi bahan pembicaraan di lingkungan dinas pendidikan karena menegur siswa yang mencontek saat UABN. Mereka bukannya menghargai ketegasan pengawas, melainkan mencaci maki di depan forum guru dan dipermalukan KKG. Katanya, guru-guru sekolah kami terlalu ketat, dan menyebabkan siswa menjadi tegang saat ujian.

Dunia sudah kebalik-balik. Yang benar dan yang baik malah disalahkan, dibenci, dimusuhi, sementara yang buruk justeru didukung. Pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran, justeru sebaliknya. Sejak dini anak-anak kita sudah diajarkan untuk tidak jujur, korup.

Sulit dibayangkan, bagaimana bila mereka besar kelak? Akankah mereka jadi orang baik, atau menjadi penerus generasi korup? Ironis, tragis, menyedihkan. Masa depan mereka telah dikorbankan demi ambisi dan nama baik guru-guru dan pejabat dinas yang tidak memiliki tanggung jawab moral yang positif.

Serba salah rasanya berada di
jaman edan. Nggak edan nggak keduman. Mau lapor juga nggak tahu, lapor sama siapa? Lapor dinas? Mustahil dan sama saja mencari perkara, karena instruksi itu sebenarnya dari mereka juga. Melaporkan masalah macam ini di daerah seperti ini bisa-bisa malah mencelakakan diri sendiri. Kita pasti dimintai bukti dan saksi, bahkan bisa-bisa dituduh mencemarkan nama baik. Repot!!!

"Lalu kita mesti gimana?" tanya kepala sekolah yang sedari tadi menunggu responku.
"Tetap seperti biasanya" jawabku tegas.
"Dengan segala konsekwensinya?"
"Ya. Mungkin sampai saat ini kita belum bisa memberikan (mengajarkan) sesuatu yang berarti bagi anak-anak kita, karena itu jangan sampai kita mengajarkan kebohongan pada mereka"

"Bagaimana dengan wali murid?"
"Wali murid kita adalah orang-orang pintar. Mereka sudah tahu. Mereka pasti sudah mendengar itu semua. Kalau ada yang belum bisa mengerti, maka tugas kita memberikan pengertian pada mereka. Percuma saja, kita bersusah payah membangun sekolahan yang menguras tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit ini, bila ujung-ujungnya hanya mengajarkan kebohongan. Kalau ada yang tidak setuju, biarkan mereka ikutan korup bersama guru dan sekolah yang lain, bukan dengan kita"

"Masalahnya lagi, untuk masuk SMP di sini tidak boleh melakukan tes"
"Biar saja..."
"Terus kalau nilai anak-anak tidak kompetitif bagaimana?" tanyanya lagi.

Sejenak aku terdiam. Bagaimanapun ini bukan semata soal mengajarkan kejujuran, tapi juga menyangkut masa depan mereka. Sialnya, pemerintah daerah kabupaten Nganjuk memang melarang penerimaan siswa baru SMP melalui jalur tes. Usulan guru-guru SMP agar penerimaan siswa baru dilakukan melalui tes dimentahkan oleh DPRD periode sekarang.

Padahal guru-guru SMP rata-rata sudah tahu bahwa nilai UASBN SD rata-rata, tidak murni, bukan hasil tes yang jujur, hasil korupsi. Berdasarkan hasil seleksi calon siswa baru atas dasar nilai UASBN beberapa tahun terakhir mereka mendapati banyak siswa yang nilai UABN-nya tinggi, ternyata tidak menjamin kesiapan mereka menjalani pendidikan tingkat SMP.

Untuk membentengi ulah korupnya, sejak awal guru-guru SD menentang keras keterlibatan guru SMP sebagai pengawas ujian. "Wah..., ada apa ini?" Itulah komentar serempak mereka pada waktu kepala dinas setempat mensosialisasikan rencana penggunaan guru SMP sebagai pengawas UABN SD/MI. Akhirnya rencana itupun mentah di tangan guru-guru SD/MI, dan penyelewengan akademik tersebut terus berlanjut hingga detik ini.

Sial. Rupanya yang berotak korup tidak hanya guru, tapi juga DPRD dan Pemdanya. Aku jadi bimbang mikir nasib anak didikku. Andai saja hari ini aku sudah bisa menyediakan sekolah lanjutan buat mereka, mungkin akan lebih mudah menghadapi situasi ini.

"Begini saja. Kita undang wali murid. Kita beritahu kondisi yang kita hadapi, prinsip kita. Mudah-mudahan mereka bisa mengerti"
"Wah..., nanti bisa bocor sumpah kedua kita"
"Ah..., itu kan sumpah yang buruk, harus dilanggar"
"Jadi kita konfrontasi?"
"Tidak. Kita hanya melakukan yang seharusnya kita lakukan. Yang pasti, kita harus pastikan agar anak-anak bisa berusaha melakukan yang terbaik. Kalaupun mereka tidak diterima di SMP sekitar sini, sebenarnya mereka juga tidak rugi. Kalau
raw input SMP seperti ini, kurasa itu bukan SMP yang baik buat mereka, kan? Dan kalau bisa, kita dorong mereka agar melanjutkan pendidikan di luar Nganjuk saja. Mungkin di Kediri, Gontor atau sekolah plus lain yang lebih kredibel"

Kepala sekolah hanya terdiam. Aku tahu dia masih gamang dengan keputusanku, meski tak punya alasan untuk menolaknya. Ini memang keputusan yang berat. Di tengah budaya yang penuh angkara, kejujuran memang bukan hal mudah untuk dilakukan.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...