Tampilkan postingan dengan label PERNIKAHAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERNIKAHAN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 November 2019

MEMAHAMI "POLIGAMI" DAN "POLIANDRI", SEBUAH REFLEKSI

Dari dulu saya termasuk orang yang tidak setuju dengan poligami ataupun sebaliknya, poliandri. Menurut saya, waktu itu, poligami merupakan sebuah praktik ketidakadilan dalam menjalin relasi bersama pasangan. Apalagi bila dihadapkan pada perubahan sosial dan kebudayaan era modern, yang menempatkan manusia sebagai individu mandiri, otonom, menjadikan poligami sebagai praktik yang sudah sewajarnya ditinggalkan.
Seiring berjalannya waktu, dan tentu saja pengalaman berumah tangga, saya bisa memahami mengapa ada orang-orang yang pada akhirnya memilih menjalankan poligami atau poliandri. Dalam hal ini saya memahami poligami bukan dalam konteks normatif ataupun keagamaan, juga tidak selalu berkonotasi dengan pernikahan. Poligami saya pahami dalam konteks menjalin relasi dengan selain pasangan pertama. Maaf, mungkin keluar dari pemahaman mainstream apalagi keagamaan, bagi saya poligami tidak ubahnya sebuah bentuk "ketidaksetiaan" pada satu pasangan, sehingga, dalam konteks ini, memiliki istri kedua, ketiga dan seterusnya, secara legal ataupun ilegal (sirri), serta bisa pula relasi pria dan wanita dalam konotasi negatif, seperti perselingkuhan atau prostitusi, saya masukkan ke dalamnya. 
Seabsah dan sebaik apapun orang berpoligami atau berpoliandri, pada dasarnya tetap melukai batin pasangan yang diduakan. Sebagian dapat menutupi luka itu dengan justifikasi, meminjam istilah Bourdieu, dalam bentuk penindasan simbolik, yaitu mengubah luka menjadi kebanggaan, kebaikan dan kemulyaan atas nama-nilai-nilai agama atau budaya tertentu. Sementara mereka yang tidak memegang justifikasi penindasan simbolik menyisakan luka terpendam, masalah relasi dengan pasangan pertamanya hingga perpisahan.
Atas dasar itulah, saya memahami poligami sebagai sebuah bentuk kegagalan dalam mempertahankan relasi suami-istri dalam pernikahan. Ya, kegagalan, mengingat pilihan melakukan poligami ataupun poliandri memperlihatkan ketidakmampuan pasangan mempertahankan harmoni dan romantisme relasi pernikahan. Akibatnya, ada fungsi-fungsi pernikahan yang terkikis, hilang dan, sayangnya, membutuhkan orang ketiga untuk melengkapinya. Di antara fungsi-fungsi dimaksud meliputi (1) kenyamanan dalam menjalin relasi, (2) kebutuhan akan romantisme, serta (3) kebutuhan akan seksualitas.
Indah-tidaknya pernikahan bukan dinilai berdasarkan padangan orang lain atas sebuah pasangan, tetapi pada apa yang dirasakan oleh salah satu atau keduanya. Seiring waktu dan dinamika dalam menjalin hubungan, pasangan dapat merasakan seberapa cocok mereka sebenarnya, seberapa bahagia keduanya, serta seberapa kuat relasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk kesetiaan. Sangat boleh jadi kedua belah pihak sebenarnya menemukan banyak ketidakcocokan, terlukai oleh pasangan, hilangnya harmoni dan romantisme, serta hilangnya relasi seksual, tetapi memilih bertahan demi alasan-alasan tertentu, sehingga terbuka ruang kosong yang harus diisi oleh orang ketiga. 

Bagi mereka yang 

Kamis, 07 Agustus 2014

CINTA DALAM PERNIKAHAN



Pernikahan memiliki makna beragam bagi setiap pasangan. Banyak orang mengira pernikahan merupakan perwujudan hubungan cinta kasih dalam bentuk ikatan pernikahan, padahal tidak selalu demikian. Cinta adalah cinta, dan pernikahan adalah pernikahan. Masing-masing memiliki konteks sendiri-sendiri.
Cinta merupakan perasaan unik yang tumbuh di dalam jiwa seseorang secara misterius. Cinta lahir karena perasaan murni yang tumbuh tanpa perlu penjelasan mengenai mengapa orang tertentu begitu istimewa di hati seseorang, atau mengapa sepasang kekasih saling mencintai. Ini dikarenakan cinta ada begitu saja. Cinta adalah anugerah Yang Maha Kuasa Rhoma Irama.
Pernikahan merupakan sebuah ikatan moral antara pria dan wanita untuk hidup bersama yang sering kali dikuatkan secara hukum. Pernikahan hakekatnya bahkan tidak berbeda dari perjanjian atau kontrak antara dua orang untuk saling mengikatkan diri dengan status pemilik dan yang dimiliki, menguasai dan dikuasai, dengan seperangkat hak dan kwajiban masing-masing.
Cinta adalah soal rasa dan perasaan seseorang dengan orang lain, sedangkan pernikahan adalah soal status hubungan dua pihak. Sangat boleh jadi pernikahan didasari oleh perasaan cinta, tetapi tidak sedikit orang yang menikah bukan dengan seseorang yang dicintai. Pernikahan bahkan sering kali didasari oleh kebutuhan untuk memiliki pasangan, sedang cinta didasari oleh kata hati.
Berbeda dari cinta, pernikahan merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar ataupun tidak. Pernikahan adalah tindakan menjali hubungan dengan lawan jenis berdasarkan perhitungan logika tertentu. Banyak orang berharap pernikahan merupakan tindak lanjut dari perasaan cinta yang diwujudkan dalam sebuah ikatan, tetapi itu tidak berlaku pada semua orang.
Banyak orang Barat yang tidak lagi membutuhkan pernikahan, karena untuk hidup bersama mereka sudah merasa cukup hanya dengan cinta. Sementara bagi sebagian orang Timur menuntut pernikahan karena mereka memandang cinta tanpa pernikahan tidak ada artinya.
Jalan hidup tak selalu sejalan dengan keinginan. Tidak semua hasrat batin seseorang dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Kompleksnya kehidupan sering membuat seseorang tidak dapat hidup bersama atau menikah dengan seseorang yang paling dicintai. Besarnya kekuasaan roda kehidupan kadang memaksa seseorang harus percaya pada Ebid G. Ade, yang menyatakan bahwa cinta tak selalu harus memiliki.
Itu sebabnya tak semua pernikahan didasari cinta. Keterikatan dan kebersamaan yang panjang dalam pernikahan kadang dapat menumbuhkan perasaan cinta, tetapi tidak jarang yang hanya berhenti pada keterikatan semata. Tak sedikit pasangan yang tak berhasil menumbuhkan perasaan cinta pada pasangannya seindah cinta yang pernah tumbuh dan dirasakan di luar konteks pernikahan.
Seseorang mungkin saja menemukan cinta terbaik dan terindahnya dalam pernikahan. Tidak sedikit pula orang yang dapat membangun rasa cinta dalam pernikahannya tetapi tanpa menggeser cinta yang sudah ada pada orang lain. Tidak jarang pula seseorang baru merasakan jatuh cinta setelah menikah, tetapi bukan dengan pasangan resminya.
Ya. Seseorang bisa saja memiliki dua cinta, yaitu cinta yang murni dan cinta karena harus mencintai. Masing-masing memiliki arti, nilai dan tempat sendiri-sendiri di ruang batin seseorang. Kebanyakan orang harus berdusta, belajar melupakan, atau menyimpan dalam-dalam salah satu perasaan cinta itu dari pasangannya, sebab saat seseorang terikat dengan seseorang maka cinta lain harus dinilai sebagai perasaan terlarang.
Jadi sangat mungkin seseorang mengatakan si Dia adalah istriku atau suamiku, tetapi dia bukan kekasihku, bukan orang yang aku cintai. Mungkin terdengar menyakitkan, tetapi begitulah fakta kehidupan. Kebanyakan orang memilih berbohong, dengan mengatakan pada suami atau istrinya bahwa hanya kamu yang aku cintai, meski hati kecilnya mengatakan ada yang lebih aku cintai, meski tak mungkin kuwujudkan.
Hanya sedikit padangan yang mampu menerima kenyataan bahwa rasa dan perasaan tak mungkin dibatasi, apalagi dilarang. Hal ini dikarenakan hubungan seseorang bukan hanya melibatkan cinta tetapi juga ego. Mereka yang tak mampu mengendalikan ego akan sangat sulit menerima kenyataan seperti itu. Mereka yang mampu mengelola egonya akan memungkinkannya belajar memahami dan menerima kenyataan akan kata hati pasangannya. 

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...