Sebagai komunitas
muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) akhir-akhir ini kembali
dihadapkan pada pertarungan wacana (ghozwul
fikr) yang keras dengan berbagai ormas dan gerakan yang mengusung
paham-paham keislaman yang beragam. Hadirnya wacana Islam Nusantara merupakan
salah satu upaya NU dalam pertarungan tersebut. Islam Nusantara pada dasarnya
merupakan upaya NU untuk turut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan corak keislaman a’la nahdliyyah,
yang di antara ajarannya dikemas dalam manhaj
ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja).
“Kompetitor” NU
sebenarnya tidak terlalu banyak dibanding jumlah nahdliyyin baik secara jam’iyyah
maupun jama’ah, tapi gaungnya terkesan
jauh lebih besar dan lebih berasa. Kecanggihan para “kompetiror” NU bahkan
mampu membuat banyak nahdliyyin tidak
sepakat dengan gerakan yang diusung oleh PBNU tersebut. Karena itu diperlukan
pencanggihan ikhtiar kalangan nahdliyyin
agar harapan para pendiri NU benar-benar memberi warna bagi kemajuan bangsa
ini.
Dinamika Kontemporer
Merebaknya terorisme,
radikalisme dan kekerasan atas nama agama (Islam) akhir-akhir ini mematik
beragam respon, mulai dari yang konon
disebut sebagai Islamo-phobia,
apresiasi terhadap Islam hingga tuntutan rekonseptualisasi peran Islam dalam
kehidupan kekinian. Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim,
akhir-akhir ini bukan disibukkan oleh kekhawatiran atas dominasi tradisi
sekuler (Barat) atau kecenderungan komunis dan atheisme, tapi oleh problematika
klasik di antara umat Islam sendiri. Dunia Islam justru “direpotkan” oleh
menguatnya paham-paham radikal yang potensial besar membuahkan kekerasan, teror
bahkan perang sesama muslim.
Gejala serupa juga
terjadi di Indonesia, di mana radikalisme tumbuh subur di berbagai lini dan hampir-hampir
mendominasi setiap sudut ruang publik. Suara-suara Islam yang sebelumnya penuh damai
dan sarat edukasi tenggelam oleh wacana-wacana yang mengancam kedamaian serta masa
depan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bangsa dan umat yang susah
payah dipersatukan tiba-tiba terseret ke dalam suasana permusuhan meski masih
sebatas wacana dan ujaran-ujaran kebencian.
Rendahnya
kenegarawanan para politisi membuat situasi ini semakin memanas, sebab kaum
radikal adalah “aset politis” yang secara mutual sering dimanfaatkan untuk menggerakkan
dukungan politik. Besarnya militansi, kuatnya jaringan, kepintaran memainkan
media massa dan media sosial, serta kecanggihan memainkan hoax mampu mengubah persepsi masyarakat tentang pilihan politiknya,
sekaligus menyepakai pemikiran dan cara-cara mereka dalam beragama.
Muara akhir mereka
sangat jelas, yaitu mengambil alih kendali politik dan pemerintahan, untuk
kemudian mengubah arah kebijakan sosial, ekonomi, politik bahkan agama sesuai
kehendaknya. Setelah gerakan teror gagal menarik simpati umat Islam, mereka
berusaha menggoyang sendi-sendi kehidupan sosial politik dan kebangsaan melalui
kampanye yang sangat massive. Mereka memiliki
semua instrumen yang diperlukan untuk mewujudkan ambisinya, mulai organisasi massa
dengan struktur dan sistem yang kuat, media massa, media sosial, serta
lembaga-lembaga sosial dan pendidikan.
Pengalaman naif umat
Islam di Irak, Suriah dan Libya telah membuka mata banyak penguasa muslim untuk
mengubah haluan. Bukan hanya haluan politik, banyak pemerintahan di
negara-negara muslim kembali membangun wacana tentang Islam yang toleran. Arab
Saudi yang sebelumnya sangat getol mengkampanyekan paham wahabi berusaha
mengubah arah kebijakannya tentang Islam. Tidak sedikit negara muslim di Timur
Tengah dan Asia Selatan yang belajar pada Indonesia, terutama NU, dan berupaya
mengembangkan tradisi keagamaan serupa di negaranya.
Mengapa NU?
“Kebangkitan” kembali
NU akhir-akhir ini adalah momentum penting dalam mereduksi menguatnya
radikalisme di Indonesia. Di antara berbagai elemen bangsa ini, kekuatan yang
paling mungkin membendung laju gerakan radikal dan destruktif bagi bangsa ini adalah
NU.
Hal ini dikarenakan “the nature” NU adalah gerakan Islam yang
berbeda dari gerakan Islam manapun di negeri ini. Sejak awal berdirinya, NU
adalah gerakan yang “melawan arus” (khariqul
‘adah) sejarah. Hampir semua gerakan politik dan keagamaan di Indonesia
pada masa awal kemerdekaan berkiblat ke Eropa dan Timur Tengah. Kaum
nasionalis, sosialis, komunis, dan modernis berdiri dengan membawa paham atau
minimal diinspirasi oleh paham dan pemikiran yang berkembang di Barat dan Timur
Tengah. Hal ini berbeda dari NU yang justru dengan bangga mengusung paham,
pemikiran dan tradisi keagamaan yang sudah mendarah-daging di nusantara.
Islam memang dari
Timur Tengah, tetapi di Indonesia sudah menjadi kekayaan lokal (local wisdom) hingga menampilkan
keunikan dan berbagai kekhasan tradisi keagamaan. Tradisi-tradisi tersebut banyak
yang tidak dikenal di tanah kelahiran Islam, Arab maupun kawasan lain, tetapi
diterima sebagai bagian dari kehidupan
umat Islam di nusantara.
Ini menjadikan NU
sejak awal sudah lebih nasionalis dibanding mereka yang berpaham nasionalis. Nasionalisme
NU bukan sebagai doktrin yang diajarkan secara verbal dan doktriner melalui pelatihan-pelatihan.
Bila nasionalisme diibaratkan rasa cinta, nasionalisme NU bukanlah cinta yang
didengungkan lewat syair dan lagu, tetapi cinta yang melampaui semua kata-kata.
Tokoh-tokoh nasionalis pada umumnya bangga memakai busana modern, tapi tokoh-tokoh
NU periode awal tidak canggung berbusana khas pesantren meski berada di
forum-forum internasional. Mereka begitu lekat dengan berbagai khazanah
kebangsaannya sendiri dibanding yang datang dari luar.
Sebagai entitas sosial
berbasis local wisdom, NU memiliki kematangan
politik lebih di atas entitas lain di negeri ini. NU merupakan ormas dan
gerakan yang mewarisi kultur masyarakat nusantara yang toleran karena lekat
dengan tradisi tawasuth dan tawazun. Kematangan itulah yang
mengantarkan NU menjadi entitas politik yang paling mudah menjalin kerjasama di
masa demokrasi konstitusional (liberal). Sebelum NU terjun langsung ke arena
politik secara mandiri, pembentukan pemerintahan selalu berlangsung alot dan
kalaupun berhasil terbentuk, pada umumnya kabinet tidak bertahan lama. Berbeda
halnya ketika NU berdiri menjadi partai politik, pembentukan pemerintahan
sangat mudah dilakukan dan bertahan lama.
Keluarnya NU dari
politik pada kurun awal Orde Baru menjadi langkah cerdas dan bijak (strategis)
di tengah berbagai perubahan politik pada era-era sesudahnya. NU dapat berperan
sebagai kekuatan civil society yang
sangat berpengaruh di negeri ini. Bahkan sejarah mencatat bahwa berakhirnya
Orde Baru pada dasarnya tidak lepas dari kontribusi NU, meski penyelesaian
akhirnya ada di tangan para politisi.
Akhir-akhir ini
kontribusi NU kembali dibutuhkan di tengah munculnya berbagai ancaman konflik
dan perpecahan yang mengatasnamakan agama. Sebagai ormas dan gerakan, yang menurut
para pengamat disebut asosiasi tradisi, NU merupakan ormas yang mempunyai
pengalaman dan kemampuan mengelola perbedaan dan menghindari konflik. Cita rasa
Islam Indonesia yang dikenal toleran oleh masyarakat dunia pada dasarnya
dikarenakan Islam yang dominan di negeri ini adalah Islam khas an-nahdliyah, meski secara formal bukan
jama’ah NU. Ini menjadikan NU punya potensi besar untuk dikokohkan sebagai mainstream keislaman di negeri ini dan
seluruh dunia yang mampu menjamin berlangsungnya relasi kemanusiaan yang
pluralism.
Menuju Kekuatan Baru
Modalitas NU yang
sedemikian kuat tidak ada artinya bila tidak disertai dengan penataan kekuatan
organisatoris yang baik. Apalagi berbagai kelebihan NU tersebut bukan tidak ada
kelemahan, dan di antara kelemahan yang paling mendasar terletak pada kekuatan
organisasinya. Akibatnya gerakan-gerakan NU relatif kurang tersistem, kurang
terstruktur dan terkesan insidental. Sebagaimana pengalaman berhadapan dengan
PKI, NU baru bergerak ketika situasi benar-benar menuntutnya untuk bergerak.
Hal ini tentu kurang
menguntungkan, mengingat NU pada dasarnya merupakan “sasaran tembak” semua
kekuatan Islam baru di negeri ini. Bahkan sejak era pergerakan nasional,
gerakan-gerakan Islam yang berkembang sejak masa itu menjadikan NU sebagai
sasaran kritik, sasaran dakwah yang harus mereka taubatkan. Sampai saat inipun
tradisi NU masih sering menjadi sasaran kritik dan cemoohan dan relatif tanpa
perlawanan. Meski tidak mudah, generasi-generasi NU seharusnya diajarkan
menyatukan pandangan sehingga mampu menangkal gerakan-gerakan serupa menyasar nahdliyyin.
Generasi-generasi
muda NU perlu diarahkan untuk membangun wacana dan tradisi yang mudah diterima
berbagai kalangan, terutama menjangkau kelas menengah. Sangat boleh jadi, kalangan
muda NU melakukan rebranding terhadap
ajaran dan nilai-nilai aswaja sehingga lebih mudah dipahami dan diterima
masyarakat yang selama ini di luar cakupan NU.
NU juga perlu mengisi
lini-lini perjuangan di luar mengelola madrasah, pesantren dan perguruan tinggi
agama. Hal ini dikarenakan mayoritas posisi-posisi strategis di berbagai
instansi pemerintahan dan perusahaan didominasi lulusan sekolah umum, kejuruan
dan perguruan tinggi umum. Merekalah yang nantinya mengisi kelas menengah di
negeri ini, yang suaranya menggema di seantero negeri.
Ikhtitam
Ditetapkannya hari
santri merupakan momentum berharga bagi NU sebab ini menyangkut eksistensi NU
dan kelangsungan Islam a’la ahlus sunnah
wal jama’ah. Hari santri tak seharusnya hanya menjadi momentum ceremonial
yang tak bermakna. Seharusnya momentum ini menjadi tonggak penyadaran bagi nahdliyyin dan terutama kalangan mudanya
untuk mengenali peluang dan tantangan yang dihadapi, serta meningkatkan kapasitasnya
sehingga mampu berkontribusi lebih besar dalam mengatasi berbagai tantangan bangsa
ini.