Rabu, 08 Januari 2025

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi

Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang dan selama menjadi presiden. Bahkan sebaliknya, beberapa pihak tak henti menyerang Jokowi dengan berbagai framing dan narasi, serta melibatkan banyak tokoh termasuk para influencer politik yang dulu menjadi pembela Jokowi.

Secara bombastis beberapa tokoh bahkan membangun narasi seakan ada kejahatan besar Jokowi dan keluarganya yang bakal dibongkar. Mereka mengklaim menyimpan data-data kejahatan Jokowi dalam bentuk file dan video, yang konon bakal mengguncang negeri ini, meski sampai detik ini baru sebatas omong kosong belaka.

Situasi saat ini mirip dengan masa-masa menjelang Jokowi maju sebagai calon presiden lebih dari sepuluh tahun silam, tapi sejauh ini tidak ada kasus besar yang benar-benar signifikan untuk secara nyata dapat digunakan untuk menghabisi Jokowi. Framing dan narasi yang bertebaran bahkan lebih didominasi hoax dan isu-isu remeh-temeh yang berpretensi melecehkan dan merendahkan.

Serangan bertubi-tubi terhadap Jokowi memunculkan tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya terjadi, terutama bagi masyarakat yang sampai detik ini masih mengelu-elukan Jokowi.

Balas Dendam Politik 

Serangan terhadap Jokowi merupakan aksi balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang gagal dan pecundang politik di negeri ini. Penggerak utamanya adalah para pecundang pilpres dan pilkada 2024, yang tidak dapat menerima kekalahan dengan lapang dada. Pimpinan, tokoh-tokoh dan kolega partai politik yang sebelumnya merupakan pendukung Jokowi sendiri sangat bernafsu menghukum Jokowi yang dituding sebagai biang kekalahan dalam pilpres dan pilkada.

Serangan besar-besaran dilancarkan dari berbagai penjuru, melibatkan semua elemen dan kekuatan politik yang mereka miliki. Beragam tokoh, influencer hingga buzzer dikerahkan untuk membangun framing, narasi bahkan hoax digunakan untuk menghajar Jokowi dengan segala cara. Buka hanya Jokowi pribadi, serangan dilakukan secara membabi-buta hingga mengenai anak, isri dan andakata mungkin pasti diarahkan pula pada cucu-cucu Jokowi.

Serangan semakin bergema karena sudah pasti memancing para pecundang politik semasa Jokowi berkuasa turut bergerak. Mereka adalah kelompok dan orang-orang gagal dan terisisih dari pentas politik di era kepemimpinan Jokowi, yang hari-harinya diliputi kegagalan demi kegagalan dalam menjegal Jokowi.

Serangan masssive dari partai pendukung Jokowi membuat mereka kembali bersemangat meluapkan antipatinya pada Jokowi. Tidak heran bila orang-orang yang kembali berkoar-koar menyerang Jokowi di media massa, media sosial bahkan menggerakkan demo di lapangan masih wajah yang itu-itu lagi.

Pengalihan Isu

Serangan Jokowi semakin massive sejak pimpinan partai yang sebelumnya menjadi pendukung Jokowi dinyatakan sebagai tersangka di KPK. Seperti kasus Marzuki Ali yang dipenuhi banyak drama beberapa tahun silam, fenomena serupa sepertinya berulang kembali pada kasus yang menimpa pimpinan bekas partai pendukung Jokowi. Selain beberapa kali mangkir dari panggilan KPK, tokoh-tokoh yang resmi dinyatakan terlibat pada kasus korupsi PAW berusaha keras mengalihkan isu dengan beragam drama dan cerita.

Tokoh-tokoh pendukung partai tidak kalah heboh membangun narasi yang sepertinya ditujukan untuk mengintimidasi Jokowi dan tokoh-tokoh yang dekat dengannya. Dalam beberapa podcat, tokoh-tokoh anti-Jokowi membangun narasi seakan memiliki bukti kejahatan Jokowi dan koleganya berupa file maupun video, meski sampai kini tidak pernah faktanya.

Sebagian tokoh tersebut bahkan membuat informasi sarkastik dan melecehkan anak dan istri Jokowi dengan cerita-cerita tidak masuk akal, kemudian diframing dan dinarasikan oleh para buzzer partai di media sosial. Sepertinya mereka sudah kehilangan akal sehat hingga membuat beragam hoax dan narasi jahat melampaui batas-batas etika. Padahal si penyebar informasi adalah perempuan yang dipertanyakan reputasi moralnya.

Meski demikian, berkat narasi-narasi itulah media massa dan media sosial lebih ramai oleh berbagai narasi tentang Jokowi, penolakan PIK2 dan berbagai framing merendahkan keluarga Jokowi. Hasilnya, kasus hukum yang menjerat pimpinan partai tersebut relatif tersisih dari perhatian publik, meski tampaknya KPK tak bergeming dan terus melanjutkan tugasnya.

Menghapus Pengaruh Jokowi 

Meski bukan lagi presiden, kepemimpinan Jokowi mencatatkan banyak pencapaian yang melampaui presiden-presiden sebelumnya dan sepertinya hampir mustahil disamai oleh presiden sesudahnya. Tidak mengherankan bila di akhir masa jabatannya Jokowi mendapatkan rating kepuasan tertinggi sepanjang sejarah republik ini. Pengaruh Jokowi (Jokowi effect) bahkan menjadi modal paling menentukan bagi Prabowo dalam memenangjan pertarungan Pilpres dengan skor fantastis.

Sayang sekali pencapaian Jokowi berbanding terbalik dengan pencapaian bekas partai yang semula menjadi pendukungnya. Partai tersebut justeru terpuruk bahkan mengantarkan pimpinan partainya berhadapan dengan KPK, yang semakin memanaskan amarah dan ambisi besar untuk menghukum Jokowi sekeras mungkin yang mereka bisa.

Secara emosional, partai tersebut memecat Jokowi dan keluarganya, serta tokoh-tokoh partai yang sepaham dengan Jokowi. Para pimpinan partai berusaha membersihkan diri dari pengaruh Jokowi, bahkan berusaha adalah mengubah sejarah, menghapus jejak sukses karir politik Jokowi dan menggubah seluruh pencapaian Jokowi menjadi kisah sebaliknya. Mereka berupaya keras mengubah kisah manis kepemimpinan Jokowi menjadi kisah kelam penuh noda dan dosa yang harus dipertanggungjawabkan.

Politik memang kadang teramat kejam. Tanpa alasan yang jelas, kawan satu partai yang meraup suara pemilu empat puluh ribu saja dipecundangi dengan peraih lima ribu suara, apalagi Jokowi yang nyata-nyata telah mempermalukan pimpinan partai. Bukan mustahil bila saat ini mereka sibuk mencari-cari kesalahan Jokowi di masa lalu untuk menuntaskan dendam yang terlalu dalam.

Menghentikan Karier Gibran

Selain menghukum Jokowi, target akhir serangan terhadap Jokowi adalah menjatuhkan Gibran yang nota bene merupakan representasi Jokowi di arena politik dan pemerintahan. Gibran dan bila perlu Boby Nasution, menantu Jokowi, harus turut merasakan hukuman partai seberat hukuman buat Jokowi.

Masalahnya, belum ada isu politik yang cukup signifikan untuk menjatuhkan Gibran dari kursi wakil presiden. Jabatan wakil presiden yang tidak lebih dari ban serep membuat posisi Gibran begitu aman. Tuntutan mengganti Gibran, serta faming dan narasi melecehkan sudah banyak ditebar di berbagai media sosial, tetapi masih kurang signifikan menjadi alasan pemakzulan.

Pilihan satu-satunya hanya membangun framing dan narasi yang ditujukan untuk mendelegitimasi Jokowi dan mengkampanyekan bahwa Jokowi adalah pemimpin gagal bahkan layak untuk diadili sebagai penjahat besar. Menjatuhkan marwah Jokowi tampaknya menjadi cara mereka menjatuhkan reputasi dan membendung karier politik keluarga Jokowi.  

Apalagi Gibran jelas-jelas telah menampilkan diri sebagai “ancaman politik” paling nyata bagi perebutan kursi pimpinan nasional di masa depan. Itu sebabnya mendelegitimasi Jokowi dan keluarganya menjadi “proyek besar” dalam rangka menutup karier politik Gibran dan seluruh keluarga Jokowi agar ternoda, meski hanya akibat narasi dan framing mereka.

Tanpa Bumper Politik

Serangan masssive bekas partai pendukung Jokowi memperlihatkan pertarungan tentang siapa sesungguhnya yang lebih kuat dan harus dijadikan panutan. Serangan terhadap Jokowi merupakan ajang pembuktian apakah Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa partai, atau partai yang tidak ada apa-apanya tanpa Jokowi.

Gelaran Pilpres dan Pilkada 2024 sudah membuktikan bahwa yang kedualah yang terjadi, tetapi justeru hal itulah yang memicu serangan lebih keras lagi. Partai yang dulu membesarkan Jokowi kini sangat bernafsu menenggelamkannya dengan semua cara yang mereka bisa.

Setelah tanpa partai, ormas atau komunitas pendukung yang melindungi, posisi politik Jokowi saat ini benar-benar lemah dan rentan diserang dari berbagai sisi. Selama didukung partai saja Jokowi diserang habis-habisan, apalagi tanpa backing politik apapun. Kalaupun ada satu atau dua masyarakat yang membelanya, dipastikan suaranya tidak begitu bergema.

Penutup

Selain dalam rangka menghukum Jokowi, serangan politik yang begitu keras terhadap Jokowi akhir-akhir ini dilakukan banyak pihak dalam rangka “proyek besar” menghapus pengaruh Jokowi di arena politik nasional dan masyarakat luas. Sasaran utama “proyek besar” tersebut sebenarnya tertuju pada upaya mengakhiri karier politik Gibran dan seluruh keluarga Jokowi agar tidak menjadi ancaman di masa depan.

Seperti pengalaman yang sudah lalu, semua framing dan narasi yang ditujukan untuk menjatuhkan marwah Jokowi runtuh di tengah jalan dan mempermalukan tokoh-tokoh dan influencer yang getol menarasikannya. Meski demikian, tampaknya drama masih belum akan berakhir, karena kisah Jokowi dan para penyerangnya tak ubahnya cerita Batman dan Joker, tokoh baik melawan tokoh jahat yang mana Joker tak pernah jera membuat gara-gara meski kalah dan dipermalukan berkali-kali.

 

Sabtu, 27 Januari 2024

Mukjizat Kata-kata

Para pakar psudosains percaya bahwa kata-kata, apalagi kata-kata orang tua mampu menentukan masa depan anak manusia. Sadar atau tidak, kata-kata yang Anda ucapkan atau yang sering didengar anak, bahkan sembari bercanda, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk mental dan kepribadian anak-anak Anda. Pada masanya, kata-kata itu akan menentukan seperti apa masa depan mereka.

Di antara kisah paling populer tentang mukjizat kata-kata adalah kisah Thomas Alfa Edison, yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Saat pulang sekolah, gurunya memberi Edison sepucuk surat untuk disampaikan kepada orang tuanya. Ibu Edison menangis setelah membaca surat itu, hingga Edison pun bertanya, “Surat itu isinya apa, ma?” tanya Edison melihat ibunya menangis.

“Cuma Surat Biasa. Gurumu cuma bilang, kamu terlalu pintar untuk belajar di sekolah. Jadi mulai hari ini kamu belajar di rumah saja sama mama, agar kelak kamu jadi orang hebat”, jawab ibunya dan sejak saat itu Edison berhenti sekolah.

Di saat teman-teman sebayanya pergi sekolah, Edison hanya belajar bersama ibunya dan guru-guru yang diundang untuk mengajarinya. Setiap kali Edison kesulitan dalam belajar, Sang Ibu selalu meyakinkannya bahwa Edison pasti bisa, “Kamu anak hebat dan kelak pasti jadi orang hebat”

Keajaibanpun terjadi, yang mana setelah dewasa Edison benar-benar menjadi orang hebat dengan berbagai penemuan ilmiah dan mendapatkan lebih dari 1000 hak paten. Salah satu temuanya adalah lampu pijar bertenaga listrik yang menjadi cikal bakal lampu modern yang diikmati manusia hingga saat ini.

Beberapa saat setelah ibunya meninggal dunia, Edison membongkar lemari orang tuanya dan menemukan sepucuk surat yang dulu dikirimkan oleh gurunya di hari terakhir dia sekolah. Edison terkejut membaca isi surat itu, sebab isinya tidak seperti yang dikatakan ibunya waktu itu. Rupanya

isi surat itu berbunyi, “Mulai hari putera Anda tidak perlu datang ke sekolah lagi, karena dia terlalu bodoh untuk belajar”.

Edison menyadari betapa kesuksesannya datang dari kata-kata mukjizat sang ibu. Semua yang dia raih tidak lepas dari peran sang ibu yang selalu meyakinkannya bahwa dia adalah anak hebat dan akan jadi orang hebat.

Belajar dari kisah Edison, ada baiknya semua orang tua dan guru membiasakan diri berbicara positif pada anak dalam keadaan apapun. Orang tua dan guru perlu belajar menata hati dan pikiran agar terbiasa bersikap dan bicara positif di hadapan anak-anak dan murid-muridnya.

Selain berikhtiar memberikan pendidikan terbaik pada mereka, Yakinlah bahwa mereka adalah calon-calon orang shalih dan hebat di masa depan. Selalu yakinkan anak-anak kita bahwa mereka bisa, mereka hebat dan akan akan jadi orang hebat.

Dalam situasi apapun, hindari kata-kata negatif yang dapat melemahkan mental mereka. Katakan hal-hal baik dan positif saja pada mereka dan yakinkan bahwa mereka pasti jadi anak-anak hebat di masa depan, agar anak-anak dan murid-murid kita jadi Edison-edison baru di masa depan.

Semoga bermanfaat.

Jumat, 27 Maret 2020

MENYIKAPI WABAH PANDEMIK

Saat wabah melanda seperti saat ini, beragam brodcast, status ataupun petuah bertebaran di media sosial. Broadcast yang berisi himbauan-himbauan sesuai protokol nasional dalam menyikapi wabah dunia ini atau broadcast yang berisi ajakan untuk saling menguatkan tentu sangat positif dalam menghambat penyebaran dan penanganan wabah ini. Masalahnya banyak pula broadcast yang bernada menyalahkan, menakut-nakuti masyarakat dan mengait-kaitkannya  dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Di era yang mana peran sains begitu menentukan saat ini masih saja ada sebagian orang yang mengkaitkan pandemi ini dengan ras, agama, kutukan, tanda kiamat dan hal-hal yang bernada keputusan. Padahal semuanya dapat dijelaskan, dimitigasi dan ditangani dengan sains dan teknologi kedokteran serta mitigasi sosial.
Seharusnya masyarakat lebih mendengar pihak berwenang dan mereka yang kompeten dalam mennagani masalah ini. Uluran bantuan dari China tidak seharusnya dipolitisasi apalagi dikait-kaitkan dengan berbagai kecurigaan tentang adanya konspirasi jahat, sebab faktanya sains dan teknologi China terbukti jauh lebih maju dari negara kita.
Sulit dibayangkan seandainya virus ini berkembang dan menyebar pertama kali di Indonesia. Minimnya dukungan sain dan teknologi, ditambah masyarakat yang lebih didominasi cara berfikir tradisional, pasti jumlah dan sebaran pandemi di negeri ini jauh lebih parah. Dapat dibayangkan betapa musibah ini dengan mudah menjadi isu politis yang justeru membuat masalah semakin sulit ditangani.
Dominasi berfikir tradisional akan sangat rentan membangkitkan sentimen sosial dan politik atas dasar argumen-argumen dan narasi-narasi yang tidak masuk akal, terutama yang dikaitkan dengan keyakinan agama. Kuatnya tradisi bahkan bukan mustahil membuat pandemi jauh lebih parah lagi, karena pendukunan, dan gerakan-gerakan spiritual akan mendorong masyarakat justeru berkumpul demi membangun koalisi doa yang melibatkan massa yang melimpah.
Betapapun parah dan mengancamnya wabah ini, masyarakat seharusnya tetap mengedepankan akal sehat. Perlu dicatat bahwa:
1.   Ini Wabah "Biasa"
Dengan tidak bermaksud mengecilkan ancaman pandemi ini, wabah penyakit adalah hal biasa dalam catatan sejarah manusia. Betapapun mematikannya wabah ini, munculnya wabah tidak ada kaitannya dengan urusan agama dan kepercayaan. Wabah memang sering terjadi sebagai konsekwensi dari "kesalahan" interaksi manusia dengan alam, baik tanaman, hewan atau sumber-sumber alam, tetapi sama sekali bukan kutukan. Bagi umat Islam, wabah juga terjadi di era nabi, sahabat dan umat terdahulu sebagai fenomena yang alamiah dan "wajar" saja.
2.  Percayakan pada Sains dan Teknologi
Kita beruntung hidup di era yang diliputi oleh kemajuan sains dan teknologi, sehingga fenomena semacam ini segera mampu dikenali dan harapan akan ditemukannya vaksin dan teknik pengobatan tinggal menunggu waktu saja. Banyak kasus serupa yang telah berhasil ditangani seperti malaria, influenza, hepatitis, kolera dan sebagainya, sehingga jatuhnya korban dapat diminimalisir. Bandingkan dengan wabah yang terjadi era sahabat yang mencapai puluhan ribu orang atau wabah yang memporak-porandakan bangsa Aztec tanpa diketahui sebab maupun solusinya.
3.  Mematuhi Pihak Berwenang
Di dalam maupun luar negeri sudah banyak orang, bahkan tokoh yang dengan mengatasnamakan agama dan keyakinan menyepelekan bahkan menentang instruksi pihak berwenang justeru terkena wabah ini.  Tidak ada gunanya merasa diri paling agamis dan taat pada Tuhan, karena tidak ada manusia yang benar-benar perkasa berhadapan dengan virus mematikan, sekalipun mereka yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Tidak ada penolong yang lebih baik melebihi Tuhan, tapi tidak seorangpun tahu apakah Tuhan akan turun tangan menyelamatkan kita dari pandemi ini tanpa mengikuti arahan mereka yang berkompeten. Hidup dan mati memang urusan Tuhan, tetapi manusia diberi ruang untuk mengupayakan dengan akal Budi dan kewarasan nalarnya.

Rabu, 25 Maret 2020

MEMAHAMI KESIAPAN MENTAL ANAK SAAT MEMASUKI MASA REMAJA



Usia remaja adalah fase rawan dalam perkembangan mental anak. Memasuki masa remaja seorang anak memasuki masa pancaroba atau masa perubahan sikap dan perilaku yang sangat drastis. Masa ini biasa disebut masa badai, yaitu masa-masa di mana seorang anak mengalami guncangan mental yang sangat berat. Anak-anak yang kurang siap memasuki fase ini sering kali mengalami krisis jati diri yang membuat hari-hari mereka diliputi oleh kegalauan, sehingga mudah emosi, tersinggung, memberontak atau sebaliknya menutup diri, hingga melakukan hal-hal di luar nalar.
Tidak mengherankan bila sebagian anak kadang mengalami perubahan drastis, dari yang biasanya pendiam menjadi sangat aktif, tadinya betah di rumah menjadi gemar keluar, ceria menjadi pemurung, tenang menjadi pemarah, lembut menjadi kasar, penurut menjadi pemberontak dan sebagainya. Perubahan dari anak-anak menjadi remaja dan setengah dewasa mendorong anak mencari jati dirinya yang baru melalui berbagai cara, terutama melalui proses imitasi terhadap lingkungan. Kebanyakan anak mulai mengidolakan hal-hal di luar dirinya dan kebiasaan keluarganya, yang karenanya lingkungan terdekat sering kali menjadi penentu bentukan karakter anak pada masa selanjutnya.
Masa pancaroba dapat dilalui dengan “aman” bagi orang tua yang memiliki cukup waktu untuk tetap menjaga kedekatan dengan anak-anaknya, mendampingi dan mengarahkan anak di fase perubahan sikap dan perilaku tersebut. Anak-anak seperti ini biasanya tumbuh secara normal dan terus berkembang menjadi manusia dewasa yang minimal tanpa “membuat masalah” yang berarti, serta dapat meraih sukses seperti harapan orang tuanya.
Sumber:  Irfan TamwifiMasalahnya, tidak sedikit orang tua yang karena kesibukan dan berbagai alasan justeru semakin berjarak dari anak-anaknya. Banyak orang tua yang bahkan kehilangan kendali atas perkembangan sikap dan perilaku anak di masa pancaroba, sehingga anak tumbuh dengan sikap, perilaku dan orientasi yang jauh dari harapan orang tua. Selain itu, anak-anak dengan tiper kepribadian tertentu memang sudah mempunyai potensi untuk tumbuh di luar harapan orang tua. Mereka bahkan sudah dapat diidentifikasi sejak awal, yaitu di fase akhir masa anak-anak, terutama kelas V dan VI SD, yang secara umum dibedakan ke dalam beberapa kategori: Prestasi, Potensial, Rawan dan Labil.

1.      Prestasi
Termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak yang memiliki karakter kuat, yang ditandai dengan sikap mandiri, visioner, fokus di bidang akademik atau vokasional. Anak-anak seperti ini secara konstan biasanya berprestasi menonjol di sekolah, sejak kelas masuk sekolah sampai lulus sekolah. Pasang surut prestasinya tidak terlalu signifikan.
Anak-anak seperti ini bisa masuk sekolah jenis apa saja, baik sekolah konvensional, unggulan atau yang menyelenggarakan program khusus. Kesiapan mentalnya memungkinkan beradaptasi secara dinamis dengan tuntutan akademik dan vokasional di jenjang yang lebih tinggi.
2.      Potensial
Anak potensial adalah anak-anak yang sebenarnya memiliki prestasi rata-rata di sekolah, tetapi memiliki kesiapan mental yang cukup baik. Mereka adalah anak-anak yang sudah mandiri, paham dengan tugas perkembangannya dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan kecil kemungkinan akan terpangaruh sikap, perilaku dan perangai negatif.
Mereka anak-anak yang tahu diri untuk menjaga nama baik orang tua dan berusaha keras membuat orang tuanya bangga dengan prestasi-prestasinya, tetapi karena keterbatasan kemampuan berfikir bawaannya, membuat prestasi akademiknya hanya sampai pada level rata-rata. Meski demikian, mereka masih mempunyai peluang untuk berprestasi menonjol terutama di bidang-bidang non-akademis. 
3.      Rawan
Ini adalah kategori anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dari orang tua dan guru. Anak-anak tipe ini sebenarnya memiliki kemampuan akademis dan vokasional yang baik, tetapi kesiapan mentalnya belum memadai dalam memasuki masa remaja. Pola asuh dan lingkungan sosial yang kurang positif membuat mental anak rawan terpengaruh oleh hal-hal negatif dan merugikan.
Anak-anak tipe ini dapat berkembang menjadi anak potensial atau bahkan prestasi bila mampu melampaui masa remaja secara sehat. Sebaliknya, anak-anak seperti ini dapat berkembang menjadi anak labil bila pematangan mentalnya tidak terfasilitasi dengan baik.
4.      Labil
Anak tipe terakhir ini tidak selalu memiliki orientasi dan prestasi akademis rendah. Sangat boleh jadi sebagian dari mereka sebenarnya memiliki kecerdasan tinggi. Hanya saja karena pola asuh, kondisi keluarga atau trauma-trauma tertentu membuat mereka memiliki mental yang rapuh. Anak-anak korban perceraian, anak yang karena suatu alasan dititipkan pengasuhannya pada kakek-nenek atau orang lain, serta korban kekerasan adalah sebagian di antara anak-anak yang terkategori labil.
Anak-anak tipe ini membutuhkan pendampingan khusus agar mampu melewati masa remaja dengan mental yang kuat. Anak-anak tipe ini seharusnya belajar di sekolah yang mampu memberi perhatian lebih terhadap perkembangan mentalnya. Bila dimasukkan ke sekolah konvensional, mereka akan cenderung kurang mendapat perhatian sehingga dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif di sekitarnya. Pada kasus-kasus tertentu, anak-anak tipe ini dapat melakukan hal-hal tidak terduga baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Atas dasar itulah, pilihan jenjang pendidikan lanjutan untuk anak seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan karakteristik setiap anak. Untuk anak-anak tipe Prestasi dan Potensial dapat memilih sekolah manapun, meski tetap menuntut perhatian dan kedekatan lebih dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan masa remaja bagaimanapun merupakan fase rawan, masa badai, yang tak seorangpun mampu menduga apa yang akan terjadi dan dihadapi oleh anak-anak kita.
Khusus, untuk anak-anak tipe rawan, seyogyanya dimasukkan ke sekolah-sekolah yang memberikan pelayanan lebih (plus), yang umumnya adalah sekolah-sekolah swasta. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan mental mereka teradvokasi dengan baik, sehingga mereka mampu meraih masa depannya secara gemilang.

Selasa, 24 Maret 2020

MENDAMPINGI ANAK DI TENGAH DISTANSI SOSIAL

Mungkin sedikit terlambat menulis artikel ini, sebab gerakan Distansi Sosial sudah berjalan lebih dari seminggu, tapi tidak ada salahnya tips ini dibagikan, apalagi kapan tuntasnya penanganan wabah kali ini  masih sulit diprediksi. Sangat boleh jadi masyarakat masih harus bertahan di tengah situasi ini seminggu ke depan dan tidak menutup kemungkinan lebih panjang.
Yang pasti menjaga dan membantu anak belajar dan menghabiskan waktu di rumah bukanlah hal mudah. Lebih-lebih Distansi Sosial berbeda sama sekali dari hari libur. Distansi Sosial mengharuskan setiap orang dalam keluarga menghabiskan banyak waktu di rumah. Anggota keluarga, siapapun, termasuk ayah dan ibu, dihimbau untuk tidak keluar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang demi tidak terpapar ataupun menularkan virus pada orang lain.
Ya, Distansi Sosial tidak ubahnya membuat setiap orang menjadi semacam "tahanan rumah". Masyarakat hanya perlu merelakan sebagian kebebasannya dan tentu saja menderita pelambatan ekonomi demi tidak membuat pandemi ini semakin parah. 
Tidak hanya itu, masyarakat juga harus menanggung beban mengasuh dan mendidik sendiri anak-anaknya, tugas yang sebelumnya menjadi tugas sekolah atau lembaga-lembaga kursus. Hal ini tentu bukan hal mudah, mengingat mengajar anak-anak sendiri sering kali jauh lebih sulit dibanding anak orang lain.
Agar pandemi ini tidak semakin meluas, kita aman dari paparannya dan anak-anak dapat belajar dengan baik, berikut ini ada beberapa tips yang perlu dicoba.
1.  Tetap Tenang dan Menenangkan
Tetaplah tenang dan jangan panik, sebab kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Bosan, kesulitan ekonomi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari sudah pasti kita alami,. Meski demikian, kondisi ini jauh lebih baik dibanding mereka yang tertimpa musibah bencana alam atau keadaan rusuh akibat perang yang penuh ketidakpastian.
Anak-anak juga pasti tidak nyaman dengan situasi ini dan orang tuanyalah yang seharusnya mampu memberi ketenangan pada mereka. Tidak perlu menambah beban anak-anak kita dengan kepanikan orang tuanya. Jangan membuat anak-anak trauma dengan peristiwa ini.
2.  Hanya Dengarkan Pemerintah
Wabah ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi sudah mendunia. Banyak negara mengalaminya dan semua bisa dijelaskan secara sainstifik, ilmiah. Ini bukan kutukan atau azab Tuhan, tapi peristiwa biasa dalam sejarah manusia. Kita bersyukur karena penjelasan sains bisa membuat wabah ini diantisipasi secara cepat oleh dunia medis.
Karena itu, dengarkan dan ikuti pernyataan dan keputusan pemerintah saja dan hanya pemerintah, bukan yang lain. Merekalah satu-satunya pihak yang berkompeten dan layak dipercaya. Buang jauh-jauh berita, informasi, penjelasan ataupun broadcast  orang dan media sosial yang tidak jelas sumbernya dan dinyatakan oleh mereka yang tidak jelas kompetensinya. 
Bimbinglah anak-anak untuk selalu update dan peka terhadap informasi resmi dan terhindar dari informasi-informasi tidak jelas dan menyesatkan. Waspdalah, sebab di situasi seperti ini selalu saja ada orang-orang jahat yang berusaha memanfaatkan keadaan.
3.  Hindari Marah pada Anak
Mendampingi anak, apalagi ditambah harus membantu belajar di rumah membuat kita sering dihadapkan pada sikap dan perilaku anak yang tidak sesuai keinginan orang tua. Banyak hal yang bisa memancing kita untuk marah atau bersikap keras pada anak.
Dalam situasi semacam ini, sedapat mungkin orang tua tidak marah pada anak, sebab tidak memberikan keuntungan apapun bagi anak maupun orang tua sendiri. Marah pada anak pada dasarnya hanya memuaskan emosi orang tua dan sama sekali tidak membuat anak lebih baik. Kalaupun anak mengikuti kehendak orang tua, itu terjadi hanya karena rasa takut bukan karena kesadarannya. Kita harus marah dan marah lagi untuk memaksa anak, padahal itu sangat tidak nyaman buat orang tua maupun anak, bahkan semakin memperburuk suasana.
4.  Mengubah Cara Berkomunikasi
Di antara sisi positif dari peristiwa ini adalah, keluarga mempunyai momen untuk menjalin kedekatan seoptimal mungkin. Anak-anak umumnya lebih mudah dikendalikan dan terhindar dari pergaulan yang jauh dari harapan.
Orang tua perlu belajar berkomunikasi dengan anak, bukan semata-mata antara orang dewasa dan anak-anak, tetapi sebagai tim dan partner yang solid dalam beraktivitas bersama. Inilah momentum yang tepat memulai relasi yang baru dalam keluarga, yang mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya musibah ini.
Ini adalah saat-saat yang tepat untuk mengajarkan life skill dan tanggung jawab mereka pada keluarga. Berbagai life skill seperti mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah adalah kecakapan penting yang sering terlewatkan untuk diajarkan pada anak-anak jaman ini.
5.  Belajar Online
Mengajarkan materi pelajaran saat ini bukanlah hal mudah bagi orang tua, sebab cakupan dan kerumitannya berbeda dari pelajaran jaman dulu. Selain itu, perjalanan waktu membuat banyak materi pelajaran yang orang tua sudah tidak mengingatnya lagi.
Meski demikian tidak perlu khawatir, karena belajar di era digital jauh lebih mudah dibanding era manual. Semua materi pelajaran ada di internet berikut penjelasannya. Orang tua bersama anak tinggal googling dan browsing untuk dipelajari bersama-sama. Inilah saatnya merasakan manfaat gadget bukan hanya untuk bermain medsos dan game, tapi untuk belajar.
Sudah pasti orang tua harus mengubah kebiasaan, dari yang selama ini pasrah pada guru sekolah atau guru les menjadi harus terlibat sendiri. Menjadi guru dadakan tentu sedikit tidak nyaman, tetapi akan terasa asyik bila kita berusaha menikmatinya.
Semoga bermanfaat.




Minggu, 24 November 2019

MEMAHAMI "POLIGAMI" DAN "POLIANDRI", SEBUAH REFLEKSI

Dari dulu saya termasuk orang yang tidak setuju dengan poligami ataupun sebaliknya, poliandri. Menurut saya, waktu itu, poligami merupakan sebuah praktik ketidakadilan dalam menjalin relasi bersama pasangan. Apalagi bila dihadapkan pada perubahan sosial dan kebudayaan era modern, yang menempatkan manusia sebagai individu mandiri, otonom, menjadikan poligami sebagai praktik yang sudah sewajarnya ditinggalkan.
Seiring berjalannya waktu, dan tentu saja pengalaman berumah tangga, saya bisa memahami mengapa ada orang-orang yang pada akhirnya memilih menjalankan poligami atau poliandri. Dalam hal ini saya memahami poligami bukan dalam konteks normatif ataupun keagamaan, juga tidak selalu berkonotasi dengan pernikahan. Poligami saya pahami dalam konteks menjalin relasi dengan selain pasangan pertama. Maaf, mungkin keluar dari pemahaman mainstream apalagi keagamaan, bagi saya poligami tidak ubahnya sebuah bentuk "ketidaksetiaan" pada satu pasangan, sehingga, dalam konteks ini, memiliki istri kedua, ketiga dan seterusnya, secara legal ataupun ilegal (sirri), serta bisa pula relasi pria dan wanita dalam konotasi negatif, seperti perselingkuhan atau prostitusi, saya masukkan ke dalamnya. 
Seabsah dan sebaik apapun orang berpoligami atau berpoliandri, pada dasarnya tetap melukai batin pasangan yang diduakan. Sebagian dapat menutupi luka itu dengan justifikasi, meminjam istilah Bourdieu, dalam bentuk penindasan simbolik, yaitu mengubah luka menjadi kebanggaan, kebaikan dan kemulyaan atas nama-nilai-nilai agama atau budaya tertentu. Sementara mereka yang tidak memegang justifikasi penindasan simbolik menyisakan luka terpendam, masalah relasi dengan pasangan pertamanya hingga perpisahan.
Atas dasar itulah, saya memahami poligami sebagai sebuah bentuk kegagalan dalam mempertahankan relasi suami-istri dalam pernikahan. Ya, kegagalan, mengingat pilihan melakukan poligami ataupun poliandri memperlihatkan ketidakmampuan pasangan mempertahankan harmoni dan romantisme relasi pernikahan. Akibatnya, ada fungsi-fungsi pernikahan yang terkikis, hilang dan, sayangnya, membutuhkan orang ketiga untuk melengkapinya. Di antara fungsi-fungsi dimaksud meliputi (1) kenyamanan dalam menjalin relasi, (2) kebutuhan akan romantisme, serta (3) kebutuhan akan seksualitas.
Indah-tidaknya pernikahan bukan dinilai berdasarkan padangan orang lain atas sebuah pasangan, tetapi pada apa yang dirasakan oleh salah satu atau keduanya. Seiring waktu dan dinamika dalam menjalin hubungan, pasangan dapat merasakan seberapa cocok mereka sebenarnya, seberapa bahagia keduanya, serta seberapa kuat relasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk kesetiaan. Sangat boleh jadi kedua belah pihak sebenarnya menemukan banyak ketidakcocokan, terlukai oleh pasangan, hilangnya harmoni dan romantisme, serta hilangnya relasi seksual, tetapi memilih bertahan demi alasan-alasan tertentu, sehingga terbuka ruang kosong yang harus diisi oleh orang ketiga. 

Bagi mereka yang 

Kamis, 30 Mei 2019

KEBANGKITAN KEMBALI NAHDLATUL ULAMA


Sebagai komunitas muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) akhir-akhir ini kembali dihadapkan pada pertarungan wacana (ghozwul fikr) yang keras dengan berbagai ormas dan gerakan yang mengusung paham-paham keislaman yang beragam. Hadirnya wacana Islam Nusantara merupakan salah satu upaya NU dalam pertarungan tersebut. Islam Nusantara pada dasarnya merupakan upaya NU untuk turut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan corak keislaman a’la nahdliyyah, yang di antara ajarannya dikemas dalam manhaj ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja).
“Kompetitor” NU sebenarnya tidak terlalu banyak dibanding jumlah nahdliyyin baik secara jam’iyyah maupun jama’ah, tapi gaungnya terkesan jauh lebih besar dan lebih berasa. Kecanggihan para “kompetiror” NU bahkan mampu membuat banyak nahdliyyin tidak sepakat dengan gerakan yang diusung oleh PBNU tersebut. Karena itu diperlukan pencanggihan ikhtiar kalangan nahdliyyin agar harapan para pendiri NU benar-benar memberi warna bagi kemajuan bangsa ini.
Dinamika Kontemporer
Merebaknya terorisme, radikalisme dan kekerasan atas nama agama (Islam) akhir-akhir ini mematik beragam respon, mulai dari yang konon disebut sebagai Islamo-phobia, apresiasi terhadap Islam hingga tuntutan rekonseptualisasi peran Islam dalam kehidupan kekinian. Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, akhir-akhir ini bukan disibukkan oleh kekhawatiran atas dominasi tradisi sekuler (Barat) atau kecenderungan komunis dan atheisme, tapi oleh problematika klasik di antara umat Islam sendiri. Dunia Islam justru “direpotkan” oleh menguatnya paham-paham radikal yang potensial besar membuahkan kekerasan, teror bahkan perang sesama muslim.
Gejala serupa juga terjadi di Indonesia, di mana radikalisme tumbuh subur di berbagai lini dan hampir-hampir mendominasi setiap sudut ruang publik. Suara-suara Islam yang sebelumnya penuh damai dan sarat edukasi tenggelam oleh wacana-wacana yang mengancam kedamaian serta masa depan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bangsa dan umat yang susah payah dipersatukan tiba-tiba terseret ke dalam suasana permusuhan meski masih sebatas wacana dan ujaran-ujaran kebencian.
Rendahnya kenegarawanan para politisi membuat situasi ini semakin memanas, sebab kaum radikal adalah “aset politis” yang secara mutual sering dimanfaatkan untuk menggerakkan dukungan politik. Besarnya militansi, kuatnya jaringan, kepintaran memainkan media massa dan media sosial, serta kecanggihan memainkan hoax mampu mengubah persepsi masyarakat tentang pilihan politiknya, sekaligus menyepakai pemikiran dan cara-cara mereka dalam beragama.
Muara akhir mereka sangat jelas, yaitu mengambil alih kendali politik dan pemerintahan, untuk kemudian mengubah arah kebijakan sosial, ekonomi, politik bahkan agama sesuai kehendaknya. Setelah gerakan teror gagal menarik simpati umat Islam, mereka berusaha menggoyang sendi-sendi kehidupan sosial politik dan kebangsaan melalui kampanye yang sangat massive. Mereka memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk mewujudkan ambisinya, mulai organisasi massa dengan struktur dan sistem yang kuat, media massa, media sosial, serta lembaga-lembaga sosial dan pendidikan.
Pengalaman naif umat Islam di Irak, Suriah dan Libya telah membuka mata banyak penguasa muslim untuk mengubah haluan. Bukan hanya haluan politik, banyak pemerintahan di negara-negara muslim kembali membangun wacana tentang Islam yang toleran. Arab Saudi yang sebelumnya sangat getol mengkampanyekan paham wahabi berusaha mengubah arah kebijakannya tentang Islam. Tidak sedikit negara muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan yang belajar pada Indonesia, terutama NU, dan berupaya mengembangkan tradisi keagamaan serupa di negaranya.
Mengapa NU?
“Kebangkitan” kembali NU akhir-akhir ini adalah momentum penting dalam mereduksi menguatnya radikalisme di Indonesia. Di antara berbagai elemen bangsa ini, kekuatan yang paling mungkin membendung laju gerakan radikal dan destruktif bagi bangsa ini adalah NU.
Hal ini dikarenakan “the nature” NU adalah gerakan Islam yang berbeda dari gerakan Islam manapun di negeri ini. Sejak awal berdirinya, NU adalah gerakan yang “melawan arus” (khariqul ‘adah) sejarah. Hampir semua gerakan politik dan keagamaan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan berkiblat ke Eropa dan Timur Tengah. Kaum nasionalis, sosialis, komunis, dan modernis berdiri dengan membawa paham atau minimal diinspirasi oleh paham dan pemikiran yang berkembang di Barat dan Timur Tengah. Hal ini berbeda dari NU yang justru dengan bangga mengusung paham, pemikiran dan tradisi keagamaan yang sudah mendarah-daging di nusantara.
Islam memang dari Timur Tengah, tetapi di Indonesia sudah menjadi kekayaan lokal (local wisdom) hingga menampilkan keunikan dan berbagai kekhasan tradisi keagamaan. Tradisi-tradisi tersebut banyak yang tidak dikenal di tanah kelahiran Islam, Arab maupun kawasan lain, tetapi diterima sebagai  bagian dari kehidupan umat Islam di nusantara.
Ini menjadikan NU sejak awal sudah lebih nasionalis dibanding mereka yang berpaham nasionalis. Nasionalisme NU bukan sebagai doktrin yang diajarkan secara verbal dan doktriner melalui pelatihan-pelatihan. Bila nasionalisme diibaratkan rasa cinta, nasionalisme NU bukanlah cinta yang didengungkan lewat syair dan lagu, tetapi cinta yang melampaui semua kata-kata. Tokoh-tokoh nasionalis pada umumnya bangga memakai busana modern, tapi tokoh-tokoh NU periode awal tidak canggung berbusana khas pesantren meski berada di forum-forum internasional. Mereka begitu lekat dengan berbagai khazanah kebangsaannya sendiri dibanding yang datang dari luar.
Sebagai entitas sosial berbasis local wisdom, NU memiliki kematangan politik lebih di atas entitas lain di negeri ini. NU merupakan ormas dan gerakan yang mewarisi kultur masyarakat nusantara yang toleran karena lekat dengan tradisi tawasuth dan tawazun. Kematangan itulah yang mengantarkan NU menjadi entitas politik yang paling mudah menjalin kerjasama di masa demokrasi konstitusional (liberal). Sebelum NU terjun langsung ke arena politik secara mandiri, pembentukan pemerintahan selalu berlangsung alot dan kalaupun berhasil terbentuk, pada umumnya kabinet tidak bertahan lama. Berbeda halnya ketika NU berdiri menjadi partai politik, pembentukan pemerintahan sangat mudah dilakukan dan bertahan lama.
Keluarnya NU dari politik pada kurun awal Orde Baru menjadi langkah cerdas dan bijak (strategis) di tengah berbagai perubahan politik pada era-era sesudahnya. NU dapat berperan sebagai kekuatan civil society yang sangat berpengaruh di negeri ini. Bahkan sejarah mencatat bahwa berakhirnya Orde Baru pada dasarnya tidak lepas dari kontribusi NU, meski penyelesaian akhirnya ada di tangan para politisi.
Akhir-akhir ini kontribusi NU kembali dibutuhkan di tengah munculnya berbagai ancaman konflik dan perpecahan yang mengatasnamakan agama. Sebagai ormas dan gerakan, yang menurut para pengamat disebut asosiasi tradisi, NU merupakan ormas yang mempunyai pengalaman dan kemampuan mengelola perbedaan dan menghindari konflik. Cita rasa Islam Indonesia yang dikenal toleran oleh masyarakat dunia pada dasarnya dikarenakan Islam yang dominan di negeri ini adalah Islam khas an-nahdliyah, meski secara formal bukan jama’ah NU. Ini menjadikan NU punya potensi besar untuk dikokohkan sebagai mainstream keislaman di negeri ini dan seluruh dunia yang mampu menjamin berlangsungnya relasi kemanusiaan yang pluralism.
Menuju Kekuatan Baru
Modalitas NU yang sedemikian kuat tidak ada artinya bila tidak disertai dengan penataan kekuatan organisatoris yang baik. Apalagi berbagai kelebihan NU tersebut bukan tidak ada kelemahan, dan di antara kelemahan yang paling mendasar terletak pada kekuatan organisasinya. Akibatnya gerakan-gerakan NU relatif kurang tersistem, kurang terstruktur dan terkesan insidental. Sebagaimana pengalaman berhadapan dengan PKI, NU baru bergerak ketika situasi benar-benar menuntutnya untuk bergerak.
Hal ini tentu kurang menguntungkan, mengingat NU pada dasarnya merupakan “sasaran tembak” semua kekuatan Islam baru di negeri ini. Bahkan sejak era pergerakan nasional, gerakan-gerakan Islam yang berkembang sejak masa itu menjadikan NU sebagai sasaran kritik, sasaran dakwah yang harus mereka taubatkan. Sampai saat inipun tradisi NU masih sering menjadi sasaran kritik dan cemoohan dan relatif tanpa perlawanan. Meski tidak mudah, generasi-generasi NU seharusnya diajarkan menyatukan pandangan sehingga mampu menangkal gerakan-gerakan serupa menyasar nahdliyyin.
Generasi-generasi muda NU perlu diarahkan untuk membangun wacana dan tradisi yang mudah diterima berbagai kalangan, terutama menjangkau kelas menengah. Sangat boleh jadi, kalangan muda NU melakukan rebranding terhadap ajaran dan nilai-nilai aswaja sehingga lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat yang selama ini di luar cakupan NU.
NU juga perlu mengisi lini-lini perjuangan di luar mengelola madrasah, pesantren dan perguruan tinggi agama. Hal ini dikarenakan mayoritas posisi-posisi strategis di berbagai instansi pemerintahan dan perusahaan didominasi lulusan sekolah umum, kejuruan dan perguruan tinggi umum. Merekalah yang nantinya mengisi kelas menengah di negeri ini, yang suaranya menggema di seantero negeri.
Ikhtitam
Ditetapkannya hari santri merupakan momentum berharga bagi NU sebab ini menyangkut eksistensi NU dan kelangsungan Islam a’la ahlus sunnah wal jama’ah. Hari santri tak seharusnya hanya menjadi momentum ceremonial yang tak bermakna. Seharusnya momentum ini menjadi tonggak penyadaran bagi nahdliyyin dan terutama kalangan mudanya untuk mengenali peluang dan tantangan yang dihadapi, serta meningkatkan kapasitasnya sehingga mampu berkontribusi lebih besar dalam mengatasi berbagai tantangan bangsa ini.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...