Jumat, 25 Februari 2011

SUKSES ITU JADI PEGAWAI?


Karena sedang merintis usaha, dua tahun lalu aku berkunjung ke sebuah peternakan sapi skala menengah di Malang dalam rangka studi banding. Aku tertarik dengan usaha yang lumayan besar itu, dengan total aset sekitar 2 M.
Pembicaraan menjadi gayeng, karena rupanya pak Didik, pemilik dan pengelola peternakan itu orang Madiun seperti aku. Di antara ceritanya soal usaha penggemukan sapi potong, pak Didik sempat bercerita tentang bagaimana dia sampai di daerah itu.
Sejak lulus kuliah tahun 1984, dia merasa tidak nyaman di rumah. Dia enggan pulang ke kampung halamannya di Madiun, sebab di daerah itu ada anggapan bahwa anak muda, terutama sarjana dianggap belum sukses kalau belum jadi pegawai.
Aku merasa geli mendengarnya, sebab itu pula yang aku alami saat menjelang selesai kuliah dulu. Alasan itu pula yang membuat aku enggan dan tak nyaman untuk pulang. Keluarga, orang tua, tetangga dan masyarakat memandang aneh ketika aku bilang tak ingin menjadi pegawai negeri. Semua mencemooh ketika aku bilang ingin berwirausaha. Mereka seolah sepakat bahwa, "sukses itu berarti menjadi pegawai"
Rupanya anggapan serupa juga berlaku di daerah lain. Di berbagai daerah juga banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi pegawai. Mereka melakukan segala cara agar dapat segera diangkat menjadi pegawai negeri, mulai dari demonstrasi di jalanan sampai suap menyuap.
Seiring jalannya waktu, rupanya anggapan itu belum juga sirna dari alam pikiran orang Madiun. Kemarin aku sempat bertemu seorang ibu, istri tentara. Dia begitu prihatin pada anak-anaknya yang sarjana bekerja di PT INKA dan satunya buka toko. Dia merasa belum tenang kalau mereka belum menjadi pegawai pemerintah seperti ayahnya.
Padahal di sela ceritanya dia selalu mengeluh betapa selama ini kehidupannya sebagai istri TNI terasa pas-pasan. Dia baru merasakan punya rumah sendiri hingga 2 tahun menjelang pensiun. Dia bahkan belum pernah sekalipun menikmati rasanya memiliki mobil bekas, kecuali milik puteranya yang membuka usaha toko kelontong.
Dia tak akan bosan mencari jalan agar anaknya bisa menjadi pegawai. Dia bilang belum merasa tenang bilamana anak-anaknya masih berstatus orang swasta. Dia seakan lupa bahwa kehidupan putera-puterinya sudah jauh lebih baik dibanding saat dia dan suaminya baru mulai berumah tangga dengan status tentara.
Sungguh mengherankan, di tengah dinamika perekonomian nasional dan dunia saat ini ternyata masih terlalu banyak masyarakat berpikiran picik. Pemikiran era kolonial yang menganut negara pegawai (beemtenstaat) yang mendewa-dewakan status pegawai pemerintah masih begitu mendominasi alam pikiran para orang tua.
Mereka memandang status swasta (swa hasta) yang berarti kemandirian sebagai ironi hidup, bukan kemuliaan yang penuh harapan. Padahal ukuran kemajuan perekonomian diukur dari seberapa kuat kaum wirausahawan berkembang, bukan berapa banyak pegawai. Wirausaha adalah sisi dunia yang penuh harapan dan lebih menjanjikan kemajuan dibanding pegawai yang hanya bersifat instrumental.
Seharusnya anggapan semacam itu sudah usang dan selayaknya ditinggalkan. Sayangnya, aku sendiri belum mampu melepaskan diri dari pola pikir naif itu. Meski secara finansial bukan penopang utama ekonomi keluargaku, tapi aku masih dengan suka cita menjalani statusku sebagai pegawai negeri.

Rabu, 16 Februari 2011

DITOLAK SMP NEGERI, TETAPI SAMPAI SINGAPURA

Nilai UASBN murni siswa kami tahu lalu sangat buruk. DANUM tertinggi siswa hanya 24 dan yang terendah 20. Nilai ini berbeda jauh dibanding lulusan sekolah lain, terutama sekolah negeri, yang rata-rata di atas 24.
Akibatnya, mayoritas siswa tidak diterima di SMP Negeri pilihan pertama, yaitu SMPN 1 Tanjunganom Nganjuk. Sebagian siswa memilih ke SMP negeri pilihan kedua, dan sebagian lagi asal memilih sekolah saja.
DANUM Alynka, siswa terpandai di sekolah kami, SD Islam Darush Sholihin, hanya 24. Otomatis dia tidak diterima di sekolah negeri yang dia tuju, SMP Negeri 1 Nganjuk. Sebagai lulusan sekolah plus ternama di wilayah ini, Alynka jadi bahan tertawaan sanak-saudara dan para tetangganya.
Sebelum mendaftar ke sekolah negeri, Alynka dan Diana sudah diterima di kelas RSBI di Darul Ulum Jombang, karena penerimaan sekolah tersebut menggunakan jalur tes.
Dari ratusan calon siswa baru, Alynka yang hanya mempunyai DANUM 24 diterima di sekolah tersebut dan berada pada reangking 9. Diana yang memiliki DANUM 23 hanya reangking 19. Puteri tetangga kami lulusan sekolah negeri terfavorit di kecamatan yang memiliki DANUM 28 juga diterima dan berada di reangking 120.
Setelah beberapa bulan di sekolah, Alynka mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Singapura. Dari ribuan siswa di kabupaten Jombang, Alynka termasuk 1 di antara 2 siswa yang lolos mewakili kabupaten Jombang dalam pertukaran pelajar ke Singapura.
Saat ini Alynka menduduki peringkat 1 di kelas unggulan RSBI dan Diana peringkat 1 di kelas RSBI reguler. Tidak ada lagi yang berani menertawakan gadis manis itu. Tidak ada lagi yang berani menilai rendahnya DANUM sebagai indikator rendahnya kualitas di sekolah kami.
Meski DANUM siswa rendah, 20, Puput dan teman-temannya yang mendaftar di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tanjunganom diterima di kelas unggulan. Siswa lain yang memilih SMP Negeri pinggiran berada pada reangking atas di sekolahnya.
Di sekolah ini memang tidak mengijinkan guru membantu siswa dalam UASBN sebagaimana yang biasa terjadi di sekolah lain di kabupaten Nganjuk. Kami tidak mendukung nilai UASBN dipakai sebagai dasar penerimaan siswa sekolah lanjutan, sebab UASBN di daerah ini penuh kecurangan. Nilai DANUM SD/MI di daerah ini tidak valid, dan sama tidak mewakili kemampuan siswa.

KEBIASAAN BAIK DAN KEBERHASILAN BELAJAR

Belajar adalah kebutuhan penting, tetapi faktanya tidak semua anak manusia merasa membutuhkannya. Mengapa demikian?
POTENSI BELAJAR
Kesadaran seseorang untuk belajar seringkali bukan ditentukan oleh pengetahuan, sebab tidak semua anak manusia menyadari yang dia butuhkan, apalagi anak-anak. Kebutuhan biasanya muncul ketika seseorang merasa terdesak oleh suatu keadaan atau menghadapi situasi di luar kebiasaan.
Manusia mempunya dua belahan otak, otak kanan dan otak kiri. Otak kanan membuat manusia mampu berfikir dan berkreasi. Otak kiri membuat manusia memiliki insting dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, pola hidup manusia lebih banyak dikendalikan insting dan kebiasaannya dibandingkan kemampuan berfikir dan kreatifitasnya.
Kemampuan berfikir dan berkreasi memang dibutuhkan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Kemampuan ini perlu dilatih melalui pendidikan agar mereka memiliki berbagai kecakapan untuk hidup. Meski demikian, melatih kemampuan berfikir dan berkreasi tersebut tidak mudah bilamana manusia tidak memiliki kebiasaan baik dan teratur.
Kemampuan belajar anak lebih ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki.
Anak yang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik disebut anak cerdas emosi (EQ tinggi). Mereka memiliki pola hidup teratur, santun dan toleran. Meski berkecerdasan kognisi (IQ) normal, mereka lebih berhasil dalam belajar dibanding ber-IQ tinggi tetapi ber-EQ rendah.
YANG HARUS KITA LAKUKAN
Melihat kenyataan tersebut, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membina kecerdasan emosi. Anak cerdas emosi memudahkan proses pembelajaran dan pengembangan potensi intelektual dan vokasional.
Di antara langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Menciptakan lingkungan sekolah yang berbudaya teratur, tertib, disiplin, dan bersih.
a. Keteraturan membuat manusia lebih bahagia.
b. Kondisi mental orang yang hidup teratur lebih stabil dan tidak mudah terpancing emosi dibanding yang sebaliknya.
c. Keteraturan membuat setiap tugas dapat diselesaikan sesuai rencana.
d. Keteraturan membuat kehidupan dan proses belajar lebih mudah dijalani.
2. Membangun kebiasaan-kebiasaan baik: budaya santun, rendah hati, dan saling menghargai.
a. Pintu pembuka belajar adalah rasa berharga dan kesediaan untuk rendah hati menghargai orang lain.
b. Seseorang tidak dapat belajar bila tidak punya rasa hormat pada siapa yang mengajar.
c. Anak enggan belajar bila merasa tidak dihargai.
3. Menciptakan lingkungan sekolah yang penuh keramahan
a. Sikap ramah membuat diri sendiri merasa lebih bahagia.
b. Suasana ramah membuat lebih banyak orang merasa nyaman bersama kita.
c. Suasana ramah setiap masalah dapat disikapi dan diselesaikan lebih mudah.
d. Sikap ramah membuat relasi lebih luas.
4. Menciptakan lingkungan sekolah penuh motivasi berprestasi.
a. Guru aktif, siswa aktif
b. Guru semangat, siswa giat
c. Semangat berprestasi (achevement motive)
d. Kaya informasi.

KEMANDIRIAN BELAJAR IBARAT MAKAN

Bila mendidik dapat diibaratkan dengan memberikan makanan pada mereka, maka untuk membuat perut anak terisi makanan, ada banyak cara yang biasa dilakukan, misalnya:
1. Mengikat tubuh anak dan menjejalkan makanan pada mulutnya,
2. Merengkuh tubuhnya dan menyuapinya,
3. Mengikuti anak ke manapun dia berjalan dan menyuapinya sedikit demi sedikit, dan
4. Mengemas makanan agar menarik, sehingga anak tertarik untuk makan. Cara manakah yang paling baik dan mudah?
Setiap cara tersebut bertujuan sama, tetapi dampaknya berbeda. Anak memang dapat makan dengan cara dipaksa, tetapi pemaksaan dapat mengakibatkan trauma, bahkan enggan untuk makan. Menyuapi anak tidak membuatnya mandiri, dan pasti merepotkan.
Menggoda selera anak dengan mengemas makanan semanarik mungkin bukan hal yang mudah. Bahkan setelah berusaha dengan susah payah, sering kali tetap saja tidak menarik selera anak. Bermain-main dan makan jajanan berbahaya bahkan sering kali lebih menarik selera mereka.
Bagaimana sebaiknya?
Pada tahap-tahap awal, memberi makan anak dengan cara menyuapi memang diperlukan. Beberapa jam setelah menetas, anak ayam bisa mematuk makanannya sendiri, tetapi tidak demikian dengan anak manusia. Anak manusia masih perlu belajar (diajari) tentang bagaimana cara makan dan apa yang seharusnya mereka makan.
Inilah sebenarnya tugas utama orang tua. Menyuapi anak diperlukan pada saat mereka masih terlalu lemah untuk makan sendiri dan belum tahu yang harus dimakan.
Jadi, Yang seharusnya dilakukan adalah melatih dan membiasa-kan anak untuk makan sendiri. Kemandirian anak tentu meri-ngankan beban orang tua. Pasti lebih positif bila anak mampu dan terbiasa makan secara mandiri sejak dini, karena akan membuat anak makan sesuai kebutuhan dan seleranya.
Anak juga akan terbiasa mengeksplorasi berbagai jenis makanan, sehingga mengenal berbagai jenis makanan, bahkan membangun obsesi untuk mencoba makanan-makanan lain yang lebih variatif.
Refleksi untuk Pendidikan
Seharusnya, orientasi utama pendidikan bukan dalam rangka memberikan pengetahuan dan ketrampilan, melainkan melatih kemandirian untuk melaksanakan tugas-tugas perkembang-annya, termasuk belajar. Tugas guru bukan semata mengajarkan tentang apa yang harus dipelajari anak (what to know), melainkan mengajarakan pada anak bagaimana cara belajar sesuatu (how to know).
Dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah membentuk mental dan kepribadian anak menjadi manusia yang siap dan merasa butuh belajar.
Sebelum berhasil membuat mental anak mandiri dan siap belajar, maka pembelajaran tidak akan optimal, dan kegiatan pembela-jaran akan menjadi beban bagi anak dan pekerjaan yang sangat membebani guru.
Orientasi pendidikan kita yang pertama-tama adalah memba-ngun kemandirian anak. Anak mandiri adalah anak yang sadar dan bertanggung jawab terhadap tugas dan kwajibannya sendiri, serta terbiasa menjalankan tugas dan kwajibannya sendiri tanpa diperintah oleh orang lain.

GURU ADALAH CERMIN SISWA

Guru yang bertanggung jawab tidak mempersalahkan anak didiknya bila prestasi belajar anak didiknya rendah, menurun, atau bila perilaku anak didik tidak positif, sebab anak didik mencerminkan siapa gurunya.
FAKTA-FAKTA KITA
1. Siswa yang prestasi belajarnya rendah, pasti karena diajar oleh guru yang memiliki motivasi mengajar rendah.
2. Siswa yang perilakunya bermasalah, hampir pasti guru kelasnya juga orang bermasalah, atau tidak layak dicontoh oleh siswa-siswinya.
3. Siswa yang motivasi belajarnya penuh semangat, pasti guru kelasnya juga demikian.

KETRAMPILAN MENGELOLA KELAS

Sekalipun penguasaan kelas merupakan modal terpenting guru, tetapi ketrampilan ini jarang dipelajari secara khusus oleh para calon guru. Di perguruan tinggi keterampilan ini juga tidak mendapat perhatian khusus.
Ketrampilan ini biasanya hanya dilatihkan secara implisit dan sambil lalu melalui praktik peer teaching, micro teaching, atau real teaching. Itulah sebabnya, nyaris tidak ada lulusan perguruan tinggi, bahkan dengan IPK tertingi sekalipun, yang serta-merta mampu mengajar dengan baik.
Secara umum, keterampilan mengelola kelas dapat diasah melalui dua cara, yaitu melalui pengalaman dan melalui belajar.
1. Melalui pengalaman
Ini merupakan cara paling umum bagi guru dalam mengem-bangkan kemampuan penguasaan kelas. Keterampilan ini umumnya berkembang seiring pengalaman mengajar guru. Berdasarkan pengalaman mengajar dari waktu ke waktu, guru belajar mengenali karakteristik anak didik dan melaku-kan cara-cara jitu untuk menyikapinya.
Problem umum penguasaan kelas biasa dialami oleh guru-guru junior, guru baru, yang berpengalaman mengajar kurang dari 1 semester. Banyak di antara mereka masih gagap dan tidak tahu bagaimana menyikapi anak didik, apalagi bila anak-anak yang dihadapi jauh di luar yang dia bayangkan sebelumnya. Karena itu, dapat dipahami bila tingkat keberhasilan mengajar guru baru pada umumnya tidak terlalu tinggi.
Lain halnya dengan guru yang sudah matang pengalaman. Mereka biasanya sudah menemukan kiat-kiat khusus dalam menguasai atau mengelola kelas. Dia sudah memiliki kebiasaan untuk bersikap, member instruksi atau tindakan-tindakan tertentu untuk membuat siswa tenang, memperhatikan dan mengikuti bimbingannya.
Meski demikian, banyak juga guru-guru yang tetap belum menemukan kiat-kiat efektif dalam mengendalikan kelas, meski memiliki pengalaman mengajar cukup lama, bahkan bertahun-tahun. Mereka tetap tidak dapat menarik perhatian siswa, tetap tidak dapat membuat siswa fokus pada pembelajaran yang dia berikan, dan tidak berhasil membuat siswa mentaati tugas dan bimbingan yang dia berikan.
Guru semacam ini dapat dipastikan tidak berkelayakan mengajar, karena kemampuan mengembangkan kompetensinya rendah. Bisa jadi itu disebabkan tingkat kecerdasan guru tersebut rendah (dhedhel) atau karena malas belajar (pasif). Dia tidak dapat memanfaatkan waktu dan pengalamannya untuk memperbaiki kemampuannya. Padahal seharusnya dia mampu belajar mengenai karakteristik anak didik dan menemukan kiat-kiat jitu untuk menguasai kelas.
2. Melalui Belajar
Sebagai sebuah ketrampilan, tentu saja penguasaan kelas dapat dipelajari. Syarat pertama yang diperlukan adalah kesadaran guru itu sendiri. Mengingat tidak ada referensi baku mengenai ketrampilan ini, maka belajar penguasaan kelas membutuhkan beberapa prasyarat, yaitu:
a. Guru menyadari kekurangannya dalam penguasaan kelas
Faktanya, tidak semua guru menyadari ketidakmampuannya, kekurangannya. Itulah sebabnya sering muncul ungkapan-ungkapan yang berkonotasi menyalahkan siswa seperti, “Kalau diajar, dia selalu ramai”.
Guru yang masih menyatakan ungkapan-ungkapan seperti itu, seharusnya menyadari bahwa dia belum memiliki ketrampilan menguasai kelas secara memadai. Masalahnya, mengakui kekurangan sering kali tidak mudah.
Hanya guru yang jujur dan rendah hati yang bersedia mengakui kekurangan dan terus belajar memperbaiki diri. Guru yang tinggi hati, biasanya justeru tersinggung bila mengetahui kekurangannya, apalagi bila ditunjukkan oleh orang lain.
b. Guru merasa membutuhkan untuk belajar
Guru yang menyadari kekurangannya dalam hal penguasaan kelas pasti merasa perlu belajar. Selain belajar dari pengalaman, ketrampilan mengelola kelas dapat dipelajari melalui berbagai cara.
1) Belajar dari guru yang lain
Ini adalah pilihan paling praktis. Bila mengalami kesulitan dalam mengelola kelas guru yang sadar akan kekurangannya dapat berbagi pengalaman dengan guru lain perihal kiat-kiat mengendalikan kelas.
Dia dapat belajar pada guru yang paling tinggi keberhasilan pembelajarannya. Guru yang keberhasilan pembelajarannya tinggi, dapat dipastikan penguasaan kelasnya juga baik.
2) Membaca referensi mengenai kiat-kiat mengajar
Ini merupakan cara paling dianjurkan bagi setiap guru. Guru perlu terus belajar memperkaya ide dan pengetahuan dari beragam referensi. Ironisnya, justeru cara ini justeru paling jarang dilakukan, sebab kebanyakan guru justeru orang yang enggan membaca di luar materi pelajaran yang diajarkan.
Padahal, saat ini sudah tersedia banyak buku dan artikel yang menyajikan tips-tips mengajar efektif (teaching tips) seperti 101 kiat mengajar karya Mel Silberman. Dari sana guru dapat mencoba tips-tips tersebut dan mencari kiat mana yang paling tepat untuk dia gunakan sebagai jurus andalan.
3) Mengikuti pelatihan
Pengalaman kuliah pada umumnya belum memadai sebagai wahana latihan ketrampilan penguasaan kelas. Guru yang berminat belajar harus menyambut baik bila ada pelatihan tentang kiat-kiat (strategi) mengajar. Akan lebih baik lagi apabila pelatihan itu dilakukan secara berkala, baik yang dikelola oleh sekolah dan kelompok guru.
4) Mengembangkan ketrampilan komunikasi
Kunci utama penguasaan kelas sebenarnya terletak pada ketrampilan komunikasi. Ketrampilan komunikasi sebenarnya bukan semata kemampuan berbicara, tetapi berkaitan dengan kepribadian dan kecerdasan. Bobot kecerdasan seseorang selalu tampak dalam bahasanya.
Guru berkepribadian pendiam sekalipun akan mudah berkomunikasi dengan baik bila kecerdasannya baik. Sebaliknya guru berkepribadian cerewet sekalipun akan terasa tanpa bobot dan mengalami hambatan penguasaan kelas bila tidak mampu mengembangkan kecerdasannya sendiri.
Ini biasa terjadi karena mereka memakai kebiasaannya dalam berkomunikasi sehari-hari untuk mengajar. Padahal bahasa pengajar dalam beberapa hal berbeda dari bahasa pergaulan sehari-hari. Guru perlu belajar menggunakan bahasa guru, dan bukan bahasa yang biasa dia pakai dalam pergaulan sehari-hari.

TANGGUNG JAWAB GURU DALAM PEMBELAJARAN

Kalau di kelas, anak itu tidak memperhatikan
Anak itu memang tidak bisa tertib kalau di kelas
Anak-anak ini tidak pernah mendengarkan kalau saya ajar
Anak ini selalu tidak mau membawa buku
Anak-anak ini tidak bisa dikendalikan
Anak itu anak bodoh
“Dia itu anak sulit”
Ungkapan-ungkapan semacam ini sering terdengar dalam berbagai pembicaraan guru. Ketika membahas masalah perilaku siswa, ada siswa yang tak berhasil menguasai materi pelajaran, atau ada siswa yang belum mencapai nilai ketuntasan minimal, sering kali muncul ungkapan-ungkapan seperti ini.
Perlu dipahami, bahwa itu merupakan ungkapan-ungkapan naif bagi guru. Mengapa bisa demikian? Ini dikarenakan guru yang menyatakan ungkapan seperti itu hanya mempertegas bahwa dia belum berdaya mengatasi siswa. Dia tidak menyadari dengan mengatakan seperti itu berarti dia belum memiliki ketrampilan penguasaan kelas. Dia belum mampu mengajar sebagaimana mestinya.
Tentang Penguasaan Kelas
Penguasaan kelas atau pengelolaan kelas merupakan keahlian dasar pertama dan terutama yang harus dimiliki guru. Penguasaan kelas adalah kemampuan guru mengendali-kan sikap, perilaku dan menarik perhatian anak agar mudah diberi pelajaran. Ketrampilan penguasaan kelas adalah kemampuan guru membu-at dirinya didengar dan ditaati siswa. Tanpa ketrampilan ini dipastikan guru tidak akan berhasil mengajar secara efektif.
Mengajar dapat diibaratkan dengan memasukkan air ke dalam botol. Langkah pertama yang perlu dilakukan tentu saja membu-at botol-botol tersebut dalam posisi tegak dan lubangnya berada tepat di bawah pancuran air. Kalau tidak, dapat dipastikan pengi-sian air tidak akan maksimal, bahkan bisa jadi gagal sama sekali.
Demikian pula dengan mengajar. Dengan ketrampilan penguasaan kelas guru mengendalikan dan mengkondisikan siswa agar selama kegiatan pembelajaran:
1. Siswa bersikap dan berperilaku secara tertib.
2. Siswa memperhatikan (instruksi) guru.
3. Siswa mau, tertarik dan terfokus untuk mendengarkan instruksi guru.
4. Siswa mengikuti setiap tahap bimbingan yang diberikan guru.
5. Siswa melaksanakan aturan dan tugas-tugas yang diberikan guru, seperti membawa perlengkapan, mengerjakan PR dan tugas-tugas lainnya.
Dengan demikian, bila siswa tidak berhasil menguasai materi pelajaran, maka guru harus sadar bahwa itu letak masalahnya bukan pada siswa, melainkan karena sang guru belum mampu mengajar. Dia belum menguasai ketrampilan pengelolaan kelas atau penguasaan kelas, yang merupakan ketrampilan paling dasar guru.
Sekali lagi. Bila masih ada guru yang mengungkapkan kalimat-kalimat di atas, berarti dia belum menyadari kekurangannya sendiri. Dia tidak menyadari bahwa masalah pembelajaran bukan terletak pada siswa, tetapi pada sang guru sendiri.
Ukuran standar kemampuan guru terletak pada seberapa besar kemampuan guru membuat siswa menguasai materi pelajaran. Secara kelembagaan, guru dipandang sudah mampu mengajar, bila tingkat keberhasilannya dalam mengajar mencapai 85%. Bila di bawah itu, maka siswa tidak dapat dipersalahkan, karena gurunyalah yang harus belajar cara mengajar.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...