Di suatu pesantren konon ada seorang santri, bernama Fulan yang warna kulitnya separuh hitam dan separuhnya lagi putih. Tentu saja dia sangat resah dengan kondisinya. Selain sering diolok-olok, dia juga resah karena sering kali harus berulangkali menjawab pertanyaan yang sama, terutama bila baru kenal, seperti “…Mengapa kulitmu bisa seperti itu?..”, “..Apakah bapak dan ibum berbeda warna?...”. Banyak pula yang bertanya, “Ibumu dulu ngidam apa?”
Apalagi sebagai manusia normal dia juga berharap suatu saat akan menemukan pasangan hidup. Kalau saat itu sudah ada TV swasta mungkin tidak jadi soal, sebab bisa jadi dia malah kaya raya untuk main sinetron seperti Ucok Baba atau Daus. Keunikannya bisa menjadikannya populer dan kaya raya. Masalahnya, konon dia hidup di masa lalu.
Dia sangat berharap suatu saat kondisinya akan berubah menjadi seperti manusia pada umumnya. Oleh karena itu, dia selalu berdoa agar Tuhan mengabulkan keinginannya memiliki tubuh hanya dengan satu warna, hitam atau putih saja.
Suatu ketika dia mendengar kyai tempat dia “nyantri” memberi petuah pada santri-santrinya. “Wahai santri-santriku… Setiap muslim wajib menjadi manusia yang optimis, karena Islam mengajarkan man jadda wajada. Artinya, barang siapa yang bersungguh-sunggu pasti berhasil” Demikian di antara petuahnya.
Petuah itu rupanya begitu mengena di hati Fulan. Meski di pesantren hampir tidak dikenal istilah interupsi, Fulan memberanikan diri menginterupsi ceramah sang kyai. “Maaf Kyai” sahutnya memotong ceramah.
“Ya… ada apa kang Fulan?” sahut Kyai.
“Apa benar ajaran itu dapat dilaksanakan?”
“Oh ya, pasti. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Ini bagian dari sunnatullah” jelas kyai.
“Hmmm…. Itu berlaku dalam masalah apa, Kyai?”
“Apa saja…. Ini kunci sukses yang mengalahkan apapun…, dan ini harus jadi prinsip hidup setiap muslim” Jelas Kyai lebih lanjut.
Fulanpun mengangguk-angguk. Tiba-tiba pikirannya menerawang jauh, seakan menemukan secercah jalan untuk memecahkan masalah yang selama ini mengganggu pikirannya. Sebegitu jauhnya pikiran itu melayang, hingga dia hampir-hampir tak mendengar lagi lanjutan ceramah sang Kyai.
“Man jadda wajada, barang siapa bersungguh-sungguh pasti berhasil” maqalah itu selalu terngiang di pikirannya, dan tanpa terasa selalu terucap di bibirnya hingga beberapa hari.
Dari maqalah inilah muncul ide di benaknya. Dia ingin bertemu dengan Allah. Bila sudah bertemu Allah, dia akan mohon agar Allah berkenan mengubah warna kulitnya menjadi hitam atau putih saja, supaya tidak dwi warna. Setelah merenungkan niatnya beberapa hari, suatu malam dia membulatkan tekad untuk mencari Allah. “Ya… aku harus mencari Allah dan bertemu dengan-Nya” Begitu gumannya berulang kali.
---***---
Suatu pagi setelah pengajian, Fulan berjalan bergegas menghadap Kyai di ndalem (rumah kyai). “Ada apa, kang Fulan?” kata Kyai membuka pembicaraan.
“Begini, Kyai. Saya sowan (menghadap) ke sini dalam rangka mohon restu, dan mohon ijin untuk pamit?” Ucapnya dengan santun.
“Pamit? Memang kamu sudah merasa bisa ngaji, kok baru mondok (belajar di pesantren) beberapa bulan sudah mau pulang?” Sahut Kyai sedikit terkejut.
“Maaf, kyai. Saya bukan mau pulang” jawabnya lirih.
“Lho, memang kamu mau ke mana?” Tanya Kyai.
Fulan agak bingung menjelaskannya, tapi akhirnya dengan yakin di bilang, “E…., saya mau pergi mencari Allah”
“Hah?!! Mencari Allah? Buat apa? Apa kamu sudah gila, kang?” Tanya kyai keheranan.
Semula Fulan hampir tak dapat berkata-kata, tapi dia berusaha menjelaskan, “Begini, Kyai. Saya sangat risau dengan kulit tubuh saya ini. Kalau berhasil bertemu Allah saya akan mohon agar diubah kuning, putih atau hitam sekalian. Kemarin lusa kyai pernah mengajarkan pada kami man jadda wajada, makanya saya yakin pasti berhasil”
Kini giliran sang Kyai yang terdiam. “Benar juga anak ini. Guman kyai dalam hati.
Akhirnya, sang kyai mengijinkan Fulan meninggalkan pesantren. Setelah diberi berbagai petuah, Fulan dengan penuh semangat berangkat. Fulan begitu girang karena merasa kyai mendukung niatnya. Fulanpun bergegas ke kamar untuk mengambil perbekalan, dan tidak lupa berpamitan pada teman-temannya di pesantren.
Mendengar alasan kepergiannya, teman-teman Fulan heran, bahkan tidak sedikit yang menertawakan. “Hah, mencari Allah? Apa kamu sudah gila?” Demikian celetuk teman-temannya.
Dengan penuh percaya diri dia menjawab, “Man jadda wajada. Saya mohon doa restunya saja teman-teman”
“Ya sudah. Saya restui, saya doakan, semoga berhasil” ucap teman-temannya dengan nada berkelakar.
Tak berapa pa lama, Fulanpun beranjak keluar area pesantren. Di pintu gerbang dia bertemu dengan kang Kabir, kepala pondok yang biasa menjadi mentor utama di pesantren itu. “Fulan, kamu mau ke mana? Mengapa membawa bekal begitu banyak?”
“Oh iya, kang Kabir. Maaf, saya belum sempat pamitan. Saya mau pegi mencari Allah. Mohon do’a restunya” jawab Fulan polos.
“Mencari Allah? Apa aku nggak salah dengar?” Tanyanya dengan nada geli.
“Lho…, kang Kabir masa lupa petuah Kyai kemarin, man jadda wajada”, jawabnya dengan nada santai dan penuh keyakinan.
“O…. iya, iya. Ya sudah. Kalau begitu selamat jalan. Semoga berhasil” timpalnya.
Setelah bersalaman, Fulanpun melangkah keluar pintu gerbang pesantren. Baru saja dia kakinya menapak dua langkah, tiba-tiba kang Kabir kembali memanggilnya. “Fulan… Fulan… tunggu sebentar!” panggil kang Kabir.
“Ada apa, kang Kabir?” Tanya Fulan.
Sambil memegang pundak Fulan, kang Kabir berpesan, “Kang Fulan, nanti kalau kamu berhasil bertemu Allah, tolong tanyakan, kelak di akherat aku ini ada di surga sebelah mana. Itu saja, ya?” ucapnya lirih tapi jelas.
“Iya, kang. Insya Allah saya tanyakan. Doakan saja kang, agar saya berhasil”
“Iya…, insya Allah berhasil” ucap kang Kabir seraya melepas Fulan pergi.
Fulan semakin mantap dengan dukungan kang Kabir. Maklum, kang Kabir memang dikenal sebagai santri utama di pesantren itu, yang kemungkinan besar dia akan menjadi kyai di daerahnya bila kelak sudah pulang kampung. Selain alim, pandai mengaji, dan mentor utama bagi para santri, kang kabir juga dikenal paling rajin beribadah. Hampir setiap hari dia berpuasa, entah puasa apa dia tidak tahu, sedangkan setiap malam waktunya dihabiskan untuk shalat malam dan berdzikir.
--***---
Berhari-hari sudah Fulan berjalan ke berbagai arah yang dia sendiri tak tahu akan ke mana. Suatu saat dia berhenti di sebuah pasar, dan beristirahat sejenak. Dia menggelar alas tidur dan merebahkan tubuhnya di emperan toko yang sedang tutup. Belum sempat dia memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara hardikan keras, “He…. Siapa tidur di sini? Ayo bangun!”
Fulanpun bangkit. Dia terkejut, karena tiba-tiba saja dihadapannya telah berdiri seorang lelaki berbadan tinggi besar dan berwajah seram. Fulan sempat ngeri dibuatnya, tapi tiba-tiba mukanya berubah berbinar setelah beberapa saat memandangi wajah lelaki itu. “He… kamu kan Dharmo?” celetuknya kegirangan.
Lelaki itupun terkejut dengan sapaan Fulan. “Lho…, ternyata kamu Fulan! Ha… ha… ha… Apa kabar kawan?” sahutnya seraya memeluk tubuh Fulan erat-erat. Maklum, mereka adalah sahabat karib waktu kecil yang sudah bertahun-tahun berpisah.
“Fulan, bagaimana ceritanya kamu kok bisa jadi gelandangan seperti ini?” Tanya Dharmo setelah melepaskan rengkuhannya.
“Gelandangan gimana, ngawur saja kalau bicara” sahut Fulan sewot.
“Habisnya kamu tidur di emperan toko kaya pengemis”
“Kamu sendiri mau ke mana, kok ada di sini?” Tanya Fulan balik.
“Aku memang selalu di sini, kawan. Terus terang, sejak keluar dari kampung dulu aku merantau, tapi gagal jadi orang sukses. Akhirnya, aku berhasil menjadi pimpinan genk penjahat di daerah ini” jelasnya dengan penuh percaya diri.
“Kamu nggak usah kuatir. Semua orang di sini takut sama aku, karena aku dikenal raja tega di daerah ini” jelasnya lagi seraya tertawa lebar.
Mendengar jawaban itu, fulan hanya mengangguk-angguk tanpa mampu berkata apa-apa. “Heh… kamu sendiri bagaimana kok bisa berada di sini?” Tanya Dharmo memecah keterkejutan Fulan.
“Selama ini sebenarnya aku di pesantren, tapi saat ini aku sedang mencari Allah. Aku ingin Allah mengubah warna kulitku biar nggak terus-terusan jadi olok-olokan orang. Masa orang kok kaya bendera saja” jelasnya disambut derai tawa keduanya.
“O… begitu. Memangnya, kamu bisa ketemu Allah?” Tanya Dharmo dengan penuh rasa ingin tahu.
“Pasti bisa, soalnya kata guruku, man jadda wajada, barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil” jawab Fulan sedikit berceramah.
Dharmo hanya manggut-manggut. “Ya sudah… mudah-mudahan berhasil kawanku”
“Amin” timpal fulan.
“Oh, iya. Nanti kalau kamu berhasil ketemu Allah, aku minta tolong, ya Fulan?” kata Dharmo.
“Tolong apa?” sahut Fulan.
“Tolong tanyakan pada Allah, besok di akherat aku ini ada di neraka sebelah mana. Soalanya selama ini aku menghabiskan hidupku untuk kejahatan dan kemaksiatan. Merampok, mecuri dan maksiat sudah jadi keseharianku. Karena itu aku optimis masuk neraka” Jelasnya dengan nada serius.
“Oh… nggak usah kuatir. Pasti aku tanyakan” jawab Fulan polos.
Setelah berbincang beberapa lama, kedua sahabat lama itupun berpisah. Fulan kembali melanjutkan perjalanannya menyusuri berbagai desa, kota bahkan hutan belantara.
---***---
Kekuatan tekad Fulan membuat Allah iba. Allah mengutus malaikat Rahmah agar menemui Fulan. Suatu ketika Fulan dikejutkan oleh sosok lelaki berwajah tampan. Lelaki itu mengaku sebagai malaikat Rahmah yang sengaja diutus Allah untuk menemuinya. “Assalamu ‘Alaikum, ya Fulan” sosok lelaki itu menyapanya lembut.
Fulan terkejut mendengar sapaan itu. “Wa Alaikumus Salam… Anda siapa kok tahu nama saya?” Tanya Fulan sembari mendekat.
“Aku ini malaikat Rahmah utusan Allah” jawab sosok lelaki itu.
“Alhamdulillahi robbil ‘alamin” seru Fulan.
“Allah selalu memperhatikan usahamu, dan dengan rahman rahim-Nya aku disuruh menemuimu” jelas malaikat itu.
“Subhanallah wal hamdu lilllah…. Begini malaikat. Tubuh saya ini warnanya hitam dan putih kaya bendera, karena itu saya mohon agar diubah. Kalau hitam ya hitam saja, dan kalau putih ya putih saja, tapi kalau bisa ya berkulit putih dan berwajah ganteng” Jelas Fulan.
“O… iya, Kalau begitu sekarang silakan bercermin” jawab malaikat Rahmah seraya menyodorkan cermin.
Fulanpun segera meraih cermin dan melihat wajahnya di cermin. Dia terkejut kegirangan, karena di cermin itu dia melihat kulit tubuhnya tidak lagi dwi-warna. Dia sekarang berkulit putih dan berwajah sangat tampan.
“Subhanallah wal hamdulillah…” berulang kali dia memekik memuji Allah.
“Sudah cukup keinginanmu?” Tanya sang malaikat beberapa saat kemudian.
“Sebentar malaikat… masih ada titipan temanku” sahutnya.
“Soal apa itu?”
“Begini. Temanku yang satu namanya Kabir. Dia itu orangnya alim, pintar mengaji, khusyuk dan rajin beribadah. Dia ingin tahu, di akherat kelak dia akan ditempatkan di surga sebelah mana. Satu lagi temanku namanya Dharmo. Sekarang dia itu jadi pimpinan penjahat. Hidupnya dihabiskan untuk maksiat. Dharmo ingin tahu, di akherat kelak dia akan ditempatkan di surga sebelah mana?” jelas Fulan.
“Baiklah, saya bukakan dulu file calon penduduk surga” jawab sang malaikat.
Setelah membuka daftar calon penduduk surga beberapa saat, malaikat itu bilang, “Wah… si Kabir kok nggak ada di daftar calon tetap penduduk surga, tapi dia ada dalam daftar calon tetap penduduk neraka. Si Dharmo justru nggak ada di daftar calon tetap penduduk neraka, tapi dia ada dalam daftar calon tetap penduduk surga” jelas sang malaikat.
“Apa nggak salah, malaikat?” Tanya Fulan keheranan.
“Nggak… daftar ini nggak mungkin salah” jawab malaikat singkat.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih… puji syukur ke hadirat Allah” ucap Fulan
“Sudah cukup, Fulan?” Tanya sang Malaikat.
“Alhamdulillah sudah, Malaikat” jawab Fulan dan tiba-tiba sosok tadi sudah hilang dari hadapannya.
---***---
Dengan langkah kegirangan Fulanpun berjalan pulang, menyusuri jalanan yang pernah dia lalui sebelumnya. Fulan sengaja mampir ke pasar tempat dia bertemu Dharmo tempo hari, tetapi keadaan pasar malam itu begitu sepi. Saat hendak istirahat, dia dikejutkan oleh hardikan seseorang yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya sambil menodongkan senjata tajam. “Serahkan hartamu”
Semula Fulan ketakutan, tetapi dia merasa kenal dengan suara itu, “Hei, Dharmo. Ini aku, Fulan”
Dharmopun terkejut dengan panggilan itu. Sejenak dia mengamati orang yang berwajah tampan itu. “Bener kamu Fulan?” Tanya Dharmo.
“Iya”
“Kalau wajahmu aku nggak kenal, tapi suara kamu sepertinya kamu memang Fulan”
“Aku sudah berhasil mencapai tujuanku, kawan. Sekarang aku sudah berubah jadi seperti ini”
“O… Jadi kamu sudah bertemu Allah? Waduh…, kamu jadi ganteng banget, kawan” Tanya Dharmo.
“Itulah… Masa kamu mau rampok aku?”
“Ya, enggaklah… Eh, gimana? Sudah kamu tanyakan titipanku kemarin?”
“Sudah”
“O. Iya?”
“Menurut daftar calon tetap penduduk neraka, nama kamu tidak ada di sana. Nama kamu itu justru ada di daftar calon tetap penduduk surga” jelas Fulan.
“Ah…, bagaimana bisa begitu?” Tanya Dharmo keheranan.
“Nggak tahulah…, mungkin Allah sayang sama kamu, dan berharap kamu akan bertobat” sambung Fulan.
Dharmo terdiam. Dia percaya sahabatnya tidak berbohong. “Fulan, aku pikir dengan semua kejahatanku selama ini aku tak mungkin masuk surga”
“Allah itu Maha Pengampun, kawan. Allah pasti mengampuni kalau kamu bertobat. Makanya, sebelum ajal menjemput kamu bertobat saja, kawan. Kita kan tidak tahu berapa lama lagi hidup di dunia”
Secara tiba-tiba hati Dharmo luluh. “Sebenarnya aku punya agenda merampok janda kampong sebelah besok malam, tapi selagi masih ada kesempatan aku ingin bertobat saja dari sekarang”
“Nah, gitu dong. Itu baru kawanku. Coba bagaimana kalau besok kamu mati dihajar orang kampong? Kesempatanmu bertobat hilang, kan?” Sahut Fulan girang.
“Bener, kawan. Kalau gitu aku ikut kamu ke pesantren”
“Boleh” Jawab Fulan riang. Kedua sahabat itupun melanjutkan perjalanan ke pesantren.
Setelah pejalanan berhari-hari, akhirnya Fulan sampai kembali di pesantren. Saat tiba di pesantren, tak seorangpun mengenalnya, sampai Fulan memperkenalkan dirinya kembali. Seluruh santri, ustadz dan kyai heran dengan keberhasilan Fulan. Diapun di arak ke serambi masjid, karena semua orang ingin mendengar pengalamannya. “Fulan. Kamu benar-benar berubah. Tubuh kamu tidak lagi dwi-warna. Gimana ceritanya?” Tanya sang kyai mengawali dialog.
“Alhamdulillah… berkat man jadda wajada, Allah berkenan menolongku” jawab Fulan mengawali cerita panjang perjalanannya.
Saat tengah asyik menceritakan pengalamannya, tiba-tiba kang Kabir mendekat dan bertanya, “Kang Fulan. Apakah pesananku juga sudah kang Fulan sampaikan?”
“O… iya, iya. Aku sudah tanyakan, tapi… kata malaikat itu nama kang Kabir tidak ada dalam daftar calon penduduk surga, tapi justru ada di daftar calon tetap penduduk neraka” jawab Fulan dengan perasaan kurang nyaman.
“Apa nggak salah, Fulan?”
“Enggak…, tadinya aku juga sempat mempertanyakan begitu, tapi memang begitu kata malaikat Rahmah” jawab Fulan polos.
Tiba-tiba wajah kang Kabir berubah merah meradang. Dia langsung berdiri sambil memaki-maki. “Sialan! Kalau begini caranya sia-sia saja aku beribadah selama ini. Kalau akhirnya hanya masuk neraka, buat apa aku jadi orang baik. Mulai saat ini aku keluar dari pesantren saja. Persetan dengan agama, persetan dengan ibadah, persetan dengan sholat, puasa…@#$%&*&%^^&%$&^%.” Umpat kang Kabir seraya berlari meninggalkan kerumunan.
Seluruh santri terkejut dengan sikap kang Kabir. Kang Kabir terus memaki, mengumpat dan berlari meninggalkan kerumunan santri, guru dan kyai pesantren itu. Dia memilik keluar dari pesantren dan memilih menikmati hidup bukan sebagai muslim yang baik.
---***---
Kisah ini tentu saja hanya fiktif belaka. Kyai kampungku yang menceritakan kisah ini hanya mengajak kami belajar bahwa lebih baik merasa sebagai manusia yang penuh dosa dibanding telah terlalu banyak berbuat kebajikan. Lebih baik merasa lebih pantas jadi penghuni neraka dibanding terlalu pantasmenjadi penghuni sorga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar