Diriwayatkan dalam suatu pertemuan,Rosulullah saw. sembari bercanda bertanya pada para sahabat. "Iman siapakah yang paling menakjubkan di hadapan Allah?"
Seorang sahabat menjawab, "Iman kami, ya rosulallah. Kami ikut hijrah, berjihad, dan siap mengorbankan apa saja demi agama Islam", tapi rosulullah menggeleng seraya menjawab, "bukan"
Sahabat lain menjawab, "Kalau begitu pasti iman paduka, ya rosulallah", tetapi rosulullah kembali menggeleng seraya berkata, "Bukan"
Satu sahabat mencoba menjawab lagi, "Iman para malaikat ya Rosulullah, sebab mereka selalu taat pada Allah, tak pernah membangkang, bahkan selalu bersujud kepada Allah". Rosulullah kembali menggeleng seraya berkata, "Bukan"
Setelah tiga jawaban ternyata salah, para sahabat menyerah, seraya berkata, "Allahu wa rasuluhu a'lam", yang artinya hanya Allah dan rasul-nya yang lebih tahu.
Akhirnya Rasulullah berkata, "Bagaimana kalian tidak beriman, bukankah kalian menyaksikan sediri bagaimana aku menerima wahyu? Bukankah kalian belajar agama ini langsung dariku?"
"Bagaimana imanku tidak kuat, bukankah aku sendiri yang menerima wahyu, yang isra', yang mi'raj, yang berkwajiban menyebarkannya pada seluruh umat manusia?"
"Bagaimana malaikat tidak beriman, bukankah tugas mereka menyampaikan wahyu kepadaku?"
Rasulullah melanjutkan, "Iman yang paling menakjubkan di hadapan Allah adalah iman umatku kelak, yang tidak pernah berjumpa langsung denganku, tidak pernah berjumpa dengan kalian, tak pernah berjumpa dengan para tabi'in, tetapi mereka kukuh mempertahankan keimanannya"
Riwayat di atas setidaknya mengajarkan tiga hal. Pertama, Iman yang menakjubkan di hadapan Allah adalah iman manusia di era sesudah nabi, dan mungkin termasuk iman manusia saat ini. Iman yang menakjubkan dan tinggi nilainya di hadapan Allah adalah manusia jaman ini yang mempertahankan keimanan di tengah besar dan massive-nya tantangan keimanan yang dihadapi oleh manusia saat ini.
Kedua, riwayat di atas juga mengajarkan bahwa tinggi rendahnya kualitas keimanan seseorang bukan diukur dari kemampuan keagamaan seseorang, tetapi dari seberapa besar seseorang mampu mengatasi tantangan-tantangan keimanan pada jamannya. Bila seorang kyai, ustadz, muballigh, atau guru-guru agama yang dekat dengan sumber-sumber ajaran Islam memiliki iman yang baik, maka itu sudah sewajarnya. Iman yang bernilai tinggi adalah milik mereka yang tetap mempertahankan keimanan di tengah lingkungan yang penuh tantangan.
Rajin sholat, berpuasa, shalat malam, dan bersedekah sudah sewajarya bila dilakukan oleh mereka yang berada di lingkungan Islami, seperti pesantren, masjid, atau anggota komunitas yang taat agama. Keimanan seseorang akan sangat istimewa nilainya bila ketaatan tersebut dimiliki oleh orang yang hidup di lingkungan yang tidak taat agama, misalnya di tengah lokalisasi, di lingkungan pasar, atau komunitas yang tidak taat agama.
Ketiga, bila dipahami dari kebalikannya (mafhum mukhalafah), maka keimanan yang paling buruk adalah iman mereka yang dekat dengan agama seperti pesantren, masjid atau majlis ulama, tetapi mengingkari ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam konteks yang lebih luas, kejahatan yang dilakukan penjahat yang terlahir di lingkungan penjahat adalah kejahatan biasa. Kejahatan tertinggi adalah yang dilakukan oleh orang yang tahu atau bahkan membidangi keadilan, hukum. Pencurian yang dilakukan oleh anak pencopet adalah kejahatan biasa. Kejahatan luar biasa adalah pencurian yang dilakukan oleh hakim.
Wallahu A'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar