Setiap anak yang pergi ke sekolah selalu dimaknai sebagai pergi belajar. Mahasiswa yang pergi ke kampus juga konon dalam rangka belajar. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang pergi ke pengajian konon juga dalam rangka belajar atau mencari ilmu. Ada pula penjahat yang tersadar dan menjadi tokoh baik yang menjadi panutan karena konon dia belajar dari pengalaman.
Sekalipun perbuatan banyak orang sama-sama diistilahkan dengan belajar, tetapi hasilnya tidak selalu sama. Proses belajar menghasilkan hasil yang berbeda karena belajar mempunyai makna yang berbeda-beda bagi setiap orang. Hasil belajar tergantung pada bagaimana makna belajar bagi setiap orang.
Para pengajar ada baiknya mengetahui makna belajar bagi siswa-siswinya. Ini memungkinkan mereka tidak perlu membuang-buang waktu, tenaga dan pikirannya, karena tinggal menyesuaikan diri dengan kebutuhan sang pelajar. Bilamana pengajar masih berminat mengubah pembelajarannya lebih efektif, mereka dapat mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar yang lebih bermakna.
Belajar memiliki makna berbeda bagi setiap pelajar. Di antara makna belajar tersebut adalah (1) sebagai kwajiban, (2) sebagai kebutuhan, (3) sebagai peningkatan kemampuan (4) sebagai proses kompetisi, (5) sebagai proses perubahan alami (6) sebagai perubahan kesadaran atau orientasi, (7) sebagai proses pemaksaan diri (8) sebagai proses formalistik.
BELAJAR SEBAGAI KWAJIBAN
Belajar jenis ini banyak dialami oleh pelajar, bahkan boleh dibilang yang terbanyak. Sang pelajar sendiri pada dasarnya tidak merasa harus belajar, harus tahu, harus menguasai apa yang dipelajari. Seseorang belajar hanya karena memenuhi kwajiban-kwajiban yang melekat pada dirinya, seperti tuntutan orang tua, aturan sekolah atau kampus, serta karena takut gagal.
Kasus semacam ini terjadi pada pelajar mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Banyak siswa yang tidak belajar kalau tidak ada PR. Banyak siswa dan mahasiswa yang baru rajin belajar karena akan ada ujian. Banyak mahasiswa yang aktif kuliah hanya karena takut tidak lulus.
Di antara indikator belajar sebagai kwajiban adalah: (1) merespon proses belajar dengan keluhan, (2) keaktifan belajar karena motivasi eksternal, dan (3) orientasi pada nilai.
Merespon proses belajar dengan keluhan.
Banyak siswa atau mahasiswa yang merasa keberatan karena merasa terlalu banyak PR atau tugas kuliah. Di perguruan tinggi mayoritas mahasiswa keberatan bila merasa terlalu banyak tugas kuliah atau membaca buku referensi. Padahal tugas-tugas tersebut dirancang untuk mengarahkan mereka menguasai materi tertentu.
Keaktifan belajar dipengaruhi motivasi eksternal.
Belajar sebagai kwajiban juga ditandai dengan rendahnya motivasi internal, yaitu motivasi yang datang dari dalam diri pelajar. Mereka belajar lebih dikarenakan aturan-aturan yang melekat di sekitarnya, misalnya kalau tidak mengerjakan PR akan dihukum oleh guru, atau aktif kuliah dan mengerjakan tugas karena kuatir tidak mendapatkan nilai.
Orientasi pada nilai atau kelulusan formal
Pada dasarnya pelajar merasa tidak berkepentingan untuk mempelajari materi tertentu. Mereka hanya harus belajar sesuatu, padahal tidak tahu apa yang harus dipelajari dan pentingnya suatu materi untuk dipelajari. Mereka hanya belajar karena harus mempelajarinya. Karena itu wajar bilamana mereka hanya berorientasi pada nilai. Mereka merasa bebas bila mendapat nilai yang cukup baik, sekalipun dalam kenyataannya tidak tahu apa-apa.
Kasus semacam ini terjadi pada hampir semua mata pelajaran dan mata kuliah. Pelajar dan mahasiswa senang bila lulus mata pelajaran bahasa Inggris. Mereka sama sekali tidak risau, sekalipun tidak menguasai bahasa Inggris sebaik nilai yang diraih.
Lebih senang bila tidak belajar
Bilamana karena suatu sebab guru atau dosen meliburkan pelajaran, mereka akan menyambutnya dengan senang hati. Tidak ada yang menyayangkan proses pembelajaran yang hilang, sebab pada dasarnya proses pembelajaran merupakan proses pemaksaan bagi mereka. Mereka sudah pasti merasa bahagia bila lepas dari pemaksaan tersebut.
Tentu saja kecenderungan ini dikarenakan banyak faktor, baik dari diri pelajar, pengajar, sekolah maupun sistem pendidikan yang berlaku. Kebanyakan pelajar lebih mudah larut dalam dinamika di sekitarnya dibandingkan dengan tugas-tugas belajarnya. Kegiatan-kegiatan di luar sekolah atau kuliah sering kali lebih mendominasi alam pikiran dan kesadaran pelajar dan mahasiswa, sehingga belajar hanya menjadi tugas tambahan yang membebani.
Pengajar seringkali tidak mampu memberikan motivasi belajar secara internal, dari cara dan bahan ajarnya. Mereka umumnya tidak mampu menunjukkan daya tarik dari sebuah mata pelajaran yang membuat pelajar termotivasi untuk mempelajarinya. Membuat pelajaran menjadi kontekstual dengan kesadaran dan alam pikiran pelajara tidak selalu mudah dilakukan, sehingga pelajar tetap merasa tidak berkepentingan dengan mata pelajaran yang tengah dihadapi.
Lingkungan sekolah sering kali juga mempengaruhi kecenderungan makna belajar jenis ini. Sikap pengajar dipengaruhi oleh lingkungan, terutama tradisi pembelajaran di suatu sekolah. Pengajar yang berusaha menekankan pembelajaran lebih ketat akan menjadi guru atau dosen aneh di sekolah, bilamana hal yang sama tidak ditunjang oleh tradisi belajar yang memadai di sebuah sekolah.
Sistem pendidikan yang berlaku di suatu daerah atau negara sepertinya juga turut andil dalam membentuk tradisi belajar demikian. Beban belajar yang terlalu banyak menyajikan mata pelajaran menjadikan tidak ada mata pelajaran yang perlu djadikan fokus belajar. Pelajar harus belajar layaknya pekerja borongan yang harus menghadapi terlalu banyak bidang studi. Siapapun bila dihadapkan pada terlalu banyak pekerjaan akan cenderung tidak fokus dan hanya berorientasi asal selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar