Ketika evaluasi kegiatan membaca oleh siswa, guru-guru di sekolahku menyatakan kegiatan tersebut boleh dibilang tidak berhasil. Sudut baca di kelas semakin sepi peminat, bahkan kembali beralih fungsi menjadi tempat alat kebersihan kelas. Hari-hari pertama saja murid-murid rajin saling tukar bacaan yang dibawa dari rumah. Selebihnya, tidak ada lagi yang membawa bacaan. Apalagi tidak banyak koleksi yang dibawa siswa dari rumah.
Ketika aku tanya, "Apakah bapak dan ibu guru ikut membaca?" Mereka kompak menjawab "Tidak". Alasannya, mereka hanya mengawasi anak-anak membaca, memberi aba-aba saat membaca diam, keras atau menceritakan bacaan. Akhirnya, kupertegas lagi pertanyaanku, "Apakah selain buku pelajaran yang diajarkan, buku apakah yang bapak dan ibu baca?" Tidak seorangpun menjawab. Mereka saling pandang satu sama lain sambil menahan senyuman.
Beberapa waktu lalu pemerintah menggalakkan hari membaca. Sekolah diminta mencanangkan kebiasaan membaca beberapa hari dalam seminggu dengan berbagai ragam pola. Harapan utamanya jelas, agar anak-anak gemar membaca, dan tidak hanya mengandalkan membaca saat jam-jam pelajaran atau mengerjakan tugas sekolah.
Rupanya kegiatan tersebut hanya berlangsung sesaat dan sudah tak terdengar lagi di banyak sekolah. Kegiatan pembelajaran sekolah kembali seperti semula. Membaca seolah tinggal ritual abadi yang dilakukan hanya terbatas pada jam pelajaran, dan selebihnya tidak tersisa lagi.
Pertanyaannya, mengapa kegemaran membaca begitu sulit dibangun? Mengapa program gemar membaca tidak berjalan? Jawaban sederhana. Di antara faktor kegagalan penanaman kegemaran membaca dapat ditelusuri dari guru. Penanaman kebiasaan membaca tidak berjalan karena tidak muncul atas inisiatif guru dan sekolah, tetapi lebih karena program pemerintah, dari atas. Ketika instruksi dari atas mereda, maka reda pula kegiatan tersebut.
Faktanya, mayoritas guru ternyata tidak suka membaca. Mereka hanya membaca buku pelajaran yang diajarkan, bahkan kebanyakan membaca bersamaan dengan saat mengajarkannya di depan kelas. Selebihnya, mereka lebih sibuk dengan urusan lain. Mengajar hanya seolah menyampaikan apa yang mereka hafal dengan cara yang biasa mereka lakukan. Tidak ada dinamika dan tidak ada perubahan dalam tradisi pembelajaran para guru.
Fenomena ini banyak dijumpai di hampir semua sekolah. Sedikit sekali guru yang gemar membaca hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan kompetensinya sendiri, dengan mengikuti kemajuan-kemajuan ide dan berbagai pendekatan pembelajaran. Mayoritas guru tidak belajar lagi dengan membaca mengenai apa yang mesti diajarkan, dan bagaimana mengajarkannya dengan lebih baik.
Banyak dari mereka telah menempatkan diri sebagai buruh mengajar dari pada akademisi. Mereka datang, mengajar sesuai prota/promes, memberi lembar kerja, dan soal ulangan, tanpa ada dinamika pendekatan, materi, metode, maupun media yang digunakan. Sosialisasi dan pelatihan berbagai pendekatan baru selalu direspon sebagai beban yang diterima dengan berat hati.
Sulit dibayangkan, bagaimana siswa bisa gemar membaca, bila para pengajarnya sebenarnya tidak suka membaca? Bagaimana mereka gemar belajar, bila bagi guru-gurunya belajar harus dipaksakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar