Rabu, 16 Februari 2011

KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH

Agar dapat mengelola sekolah secara professional, pemimpin pelaksana (kepala) sekolah dituntut memiliki serangkaian keahlian. Keahlian kepala sekolah menurut Permendiknas 13/ 2007 tentang Standar Kepala sekolah/madrasah adalah:
1. Keahlian Kepemimpinan (Leadership)
Sebagai pemimpin, kepala sekolah harus mampu memimpin diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan biasanya memiliki mental yang teguh, memegang prinsip dan tidak mudah menyerah.
Potensi tersebut ada pada setiap orang tergantung pada kemauan dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Seseorang yang mampu mengembangkan potensi tersebut akan muncul kewibawaannya saat memimpin, sehingga kata-katanya didengar dan arahannya diikuti oleh orang lain.
2. Keahlian Mendidik (Edukatif)
Idealnya, kepala sekolah berasal dari guru, orang yang memiliki pengalaman pendidikan dan/atau pekerjaan sebagai pengajar atau pendidik. Pengalaman tersebut memungkinkan kepala sekolah menghayati peran, fungsi dan tugas-tugas pendidik.
Dengan begitu, dia dapat membimbing dan mengarahkan guru dan siswa dalam konteks mendidik. Itulah sebabnya, seorang kepala sekolah dituntut mampu berperan sebagai pendidik.
3. Keahlian Managemen
Proses pembelajaran di sekolah dibatasi oleh waktu, tenaga, sarana dan biaya, padahal wali murid sebagai konsumen memiliki tuntutan yang harus dipenuhi melalui proses tersebut. Karena itulah, kepala sekolah dituntut mampu berperan sebagai manager, yaitu pengelola seluruh program, asset, tenaga, dan keuangan sekolah agar mampu mengantarkan pada target-target kerja secara efektif.
Kunci keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola managemen sekolah terletak pada kemampuan perencanaan (planning skill). Dalam konteks managemen bahkan dinyatakan bahwa ketepatan perencanaan adalah separo keberhasilan.
Melalui perencanaan, kepala sekolah, guru dan semua pihak memahami target-target kerja yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Untuk mencapai target tersebut, kepala sekolah mengorganisasikan program sekolah, program pembelajaran, tenaga guru dan pegawai, sarana, dan keuangan sekolah.
4. Keahlian Administrasi
Administrasi merupakan ruh kerja dalam organisasi modern. Bahkan saat ini diyakini bahwa kalitas administrasi mencerminkan kualitas kerja seseorang. Melalui administrasi yang baik kepala sekolah mampu memonitor keberhasilan dan kegagalan, peningkatan atau penurunan kinerja, keuntungan dan kerugian.
Sebagai seorang manager, kepala sekolah dituntut menguasai administrasi sekolah dan administrasi pembelajaran. Atas data-data administrasi itulah kepala sekolah mengambil sikap dan kebijakan sekolah.
5. Keahlian Supervisi
Sebagai manager pelaksana, kepala sekolah harus mampu melakukan pengawasan atau kontrol (supervisi) terhadap cara kerja dan hasil kerja bawahannya. Supervisi berperan melengkapi pemahaman terhadap data-data administrasi.
Supervisi berperan penting sebagai pengendali mutu pembelajaran dan layanan pendidikan. Sebagai supervisor kepala sekolah dengan sendirinya mutlak harus mampu melakukan tugas-tugas supervise.
6. Keahlian Motivasi
Sebagai pemimpin, kepala sekolah harus pribadi yang motivatif. Dia mampu berperan sebagai motivator, yang menyemangati dan membesarkan hati guru, pegawai, siswa dan wali murid agar bekerja dan mendukung tercapainya tujuan sekolah.
Oleh karena itu, kepala sekolah harus terdiri dari orang-orang yang memiliki positif thinking, baik terhadap dirinya, orang lain dan keadaan yang dihadapi. Kepala sekolah tak akan mampu berperan sebagai motivator bilamana dia hanya seorang yang suka berkeluh-kesah dan penuh prasangkan buruk (negative thinking).
Selain kompetensi tersebut, kepala sekolah di lingkungan YPP Darush Sholihin dituntut memiliki kompetensi keagamaan, sebagai kompetensi tambahan. Sebagai lembaga pendidikan Islam, kepala sekolah di lembaga ini harus orang yang agamis dalam arti taat beragama, minimal menguasai keahlian dasar seorang muslim seperti membaca al-Qur’an dan menjalankan ibadah dengan baik dan benar.

STRUKTUR KEPEMIMPINAN SEKOLAH

Pemimpin adalah seseorang yang berperan mempengaruhi, menunjukkan arah (mengarahkan), membimbing orang lain atau sekelompok orang (organisasi) untuk mencapai tujuan. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut pemimpin:
· Raja dan ratu yang berkonotasi dengan penguasa, yakni orang menguasai sekelompok orang.
· Kepala, ketua, direktur, manager atau komandan, yaitu orang yang berperan memimpin sekelompok orang yang berperan mengarahkan (directing.)
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi, membimbing, menunjukkan dan mengarahkan sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Dari sini dapat dipahami bahwa kepemimpinan sekolah adalah kemampuan para pimpinan sekolah untuk mempengaruhi, membimbing, menunjukkan dan mengarahkan guru, pegawai, siswa dan segenap warga (stake holder) sekolah untuk mencapai tujuan sekolah.
UNSUR-UNSUR KEPEMIMPINAN SEKOLAH
Pemimpin sekolah terdiri dari tiga unsur, yaitu:
1. Penyelenggara sekolah, yang terdiri dari pejabat dinas/ departemen pemerintah, pengurus yayasan/lembaga yang menyelenggarakan (penyelenggara) pendidikan.
2. Kepala sekolah, yaitu guru atau seseorang yang dipercaya oleh penyelenggaran sekolah (dinas untuk mengendalikan pengelolaan sekolah.
3. Komite sekolah, yaitu lembaga mandiri di luar struktur sekolah yang berperan sebagai mitra yang menyokong dan mendampingi pengelolaan sekolah.
Struktur kepemimpinan sekolah ini mirip dengan struktur kepemimpinan perusahaan. Struktur kepemimpinan perusahaan terdiri dari: komisaris dan direktur pelaksana. Sedangkan komite sekolah identik dengan LSM, seperti YLKI dan organisasi buruh.
Komisaris adalah pemilik (yang menyelenggarakan) perusahaan. Peran ini sama halnya dengan peran yayasan, dinas atau lembaga penyelenggara yang berstatus sebagai pemilik visi/kepentingan, asset, dan penanggung kerugian dan penanggungjawab kegiatan usaha di hadapan hukum.
Kedudukan kepala sekolah adalah sebagai direktur pelaksana (executive directur) sebuah “usaha jasa” pendidikan. Kepala sekolah berkedudukan sebagai wakil atau orang yang dipercaya oleh pemilik usaha/lembaga” untuk mengelola unit “usaha” pendidikan. Oleh karena itu, kepala sekolah bertanggung jawab kepada dinas atau yayasan/lembaga penyelenggara.
Kepala sekolah tidak bertanggung jawab kepada komite sekolah, sebab pada dasarnya komite sekolah adalah institusi di luar sekolah semacam LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pendamping. Sebagaimana LSM-LSM pada umumnya, peran komite adalah sebagai kelompok peduli terhadap jaminan mutu dan pelayanan sekolah.
Mengingat sekolah berstatus lembaga sosial sedang perusahaan merupakan lembaga ekonomi (bisnis), maka peran yang dapat dilakukan oleh komite sekolah dan LSM di perusahaan terdapat beberapa perbedaan. Hal ini terutama dikarenakan sekolah masih mengelola dana dari pemerintah yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.

MEMAHAMI AMARAH

Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita pernah berjumpa seseorang yang bicara sinis dan bicara negatif tentang orang lain (ghibah), bersikap emosional, mencaci-maki, mengumpat, marah-marah bahkan kadang sampai mengamuk. Kita sendiri kadang juga begitu, bukan? 
Di sekolah kita juga sering melihat guru, pegawai, juga wali murid yang bersikap emosional, berbicara minor, sinis, kasar, marah-marah, dan menunjukkan sikap emosionalnya dalam berbagai ekspresi. Sebagai profesional, kita tak mungkin menghindari sikap, perkataan, dan perilaku yang diliputi amarah. Karenanya, kita perlu memahami kenapa itu terjadi, normalkah sikap dan perilaku itu, dan bagaimana menyikapinya?

TIPE-TIPE ANAK DIDIK

Anak didik merupakan “bahan baku” pendidikan. Dialah yang menjadi bahan mentah untuk dikembangkan kompetensi emosional, intelektual dan keahliannya.
Menjadikan mereka anak-anak yang sukses dalam belajar dan kehidupan merupakan tugas mulia guru. Agar usaha mencapai hasil optimal, setiap guru perlu memahami potensi yang dimiliki oleh anak didik.
Sebagai manusia, setiap anak memiliki potensi belajar beragam. Ada yang mudah dan ada pula yang perlu usaha ekstra. Oleh karena itu, tipe-tipe anak didik berdasarkan potensinya perlu dikenali dengan baik.

Secara sederhana, potensi anak didik dapat dicermati berdasarkan dua aspek. Aspek tersebut adalah kesiapan mental dan kecerdasannya. Kesiapan mental biasanya tampak pada kemandirian anak. Sementara kecerdasan umumnya tampak pada daya serap anak terhadap suatu kompetensi.
Atas dasar itu, tipe-tipe anak didik dapat dipetakan sebagaimana bagan berikut.
1. Tipe Cerdas
Ini adalah tipe siswa yang paling mudah diajar. Mereka memiliki tingkat kemandirian dan sekaligus daya serap tinggi.
Mendidik anak tipe ini sangat mudah bagi guru. Kemandirian dan kecerdasannya bahkan menjadikan guru tidak perlu mengajar, karena anak memiliki minat dan kemampuan belajar secara mandiri.
Tipe seperti ini kadang ada karena faktor bawaan, tetapi tidak jarang sebagai hasil bentukan lingkungan baik karena pola asuh orang tua maupun pembelajaran kepribadian di sekolah.
2. Tipe Pintar
Ini adalah tipe anak didik pada umumnya. Meski bukan anak cerdas secara kognitif, tetapi dia memiliki kesiapan mental, berupa kemandirian, dan minat belajar tinggi.
Tipe ini umumnya menjadi siswa yang berhasil dalam belajar maupun dalam hidupnya. Modalitas mental dan kemandirian yang memadai menjadikan anak mampu mengatasi berbagai masalah belajar.
Pada anak seperti ini, tugas guru adalah membelajarkan mengenai cara belajar efektif dan berbagai trik pembelajaran. Meski tidak secepat anak cerdas, anak pintar sering kali dapat sesukses anak cerdas.
3. Tipe Aktif
Ini adalah tipe anak didik yang relatif membutuhkan keahlian dan tenaga ekstra dari guru. Anak seperti ini pada dasarnya cerdas, tetapi kurang memiliki kesiapan mental (kecerdasan emosi).
Anak tipe ini biasanya banyak ulah, banyak kemauan, dan agak egois. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kecerdasan pikir dan emosinya, sehingga tersublimasikan ke dalam sikap dan perilaku aktif, atraktif dan semau gue.
Banyak guru dan orang tua salah mempersepsikan mereka sebagai anak nakal. Padahal sangat boleh jadi sebenarnya mereka anak yang terlalu cerdas daya pikirnya. Bahkan tokoh-tokoh besar yang terlahir dengan kondisi seperti mereka.
Anak seperti ini membutuhkan guru yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan memiliki keahlian bidang pembinaan kecerdasan emosi. Keberhasilan membentuk kembali emosi anak merupakan kunci keberhasilan belajar.
4. Tipe Sulit
Ini adalah tipe anak didik yang membutuhkan guru berkeahlian ganda. Ini dikarenakan problem belajar anak terletak pada dua aspek fundamental, yakni kesiapan mental dan kecerdasan sekaligus.
Untungnya, anak tipe ini semakin jarang ditemukan saat ini. Kualitas gizi yang dikonsumsi orang tua saat hamil dan anak semasa kecil makin baik, hingga jumlah anak seperti ini semakin sedikit.
Guru berkeahlian khusus diperlukan agar minat anak terbangun seperti anak tipe pintar. Bila hasil pembelajaran kognitifnya tidak sebaik anak yang lain, maka peluang untuk membuatnya sukses harus digali dari potensi-potensinya yang lain.
Setiap anak memiliki potensi kecerdasannya sendiri. Anak pasti memiliki kelebihan (kecerdasan) di bidang tertentu. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara guru dan wali murid agar potensi anak dapat digali dan dikembangkan lebih optimal.

TIPE-TIPE WALI MURID

Sebagai konsumen wali murid merupakan bagian paling unik dalam pengelolaan sekolah, apalagi sekolah swasta berbayat, tidak gratis. Kita masih bisa pilih-pilih guru, pegawai dan murid dengan cara seleksi, tetapi tidak demikian halnya dengan wali murid.
Kita hanya dapat menerima mereka apa adanya, tanpa banyak kesempatan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukan hanya memahami mereka dan menyikapi sesuai karakteristik masing-masing.

Rabu, 05 Januari 2011

GARA-GARA TOPI?

Aneh, lucu, konyol, ngawur, tidak waras. Sebenarnya istilah-istilah itu tidak pantas diucapkan, tapi itulah kata-kata yang dapat kami pakai untuk menggambarkan. Terus terang kesal juga, meski kami tahu harus bersabar dan bersabar...
Pegawai bagian koperasi tadi pagi tergopoh-gopoh ke rumah. Dia bilang ada seorang wali murid yang ngamuk, marah-marah, karena mau membeli topi untuk anaknya, tetapi tidak ada barang di koperasi. Dia lantas pulang dan kembali lagi dengan membawa kamera dan berkalung tanda pengenal, konon wartawan.
Dia memaksa pegawai koperasi difoto, dan mengajak beberapa wali murid untuk mendukung aksi konyolnya. Sambil memfoto beberapa bagian koperasi dan sekolah, konon dia bilang akan memberitakan hal ini di media massa, entah media apa yang dia maksud.
Salah seorang pengurus komite sekolah, pak Syarif, mendekati orang itu dan berdebat perihal alasan yang membuat orang itu bersikap aneh. Selain karena masalah topi bagi anaknya, ampai saat ini kami tidak tahu masalah yang sebenarnya dikeluhkan. Wakasek SDI Darush Sholihin sendiri bilang, "Saya sendiri heran, bagaimana mungkin orang bisa begitu marahnya hanya gara-gara topi?" 
"Apakah dia tidak bisa bicara baik-baik dengan guru atau kepala sekolah? Apakah masalah seperti itu sudah termasuk masalah yang tak bisa dibicarakan? Mengapa orang semacam itu begitu mudahnya mengumbar amarah, mengobral kata-kata kotor dan sejenisnya? Mengapa ada orang yang bersikap seolah tidak ada rasa hormat pada lembaga pendidikan di mana anak-anaknya belajar dan dididik di sini?" tanyanya.
Tentu saja hanya orang itu yang tahu jawabannya, tapi yang jelas orang itu sudah salah menilai kami. Dia mengkira kami takut wartawan, takut diberitakan ini dan itu, takut sekolah ini tidak laku kalau diberitakan ini dan itu, padahal seujung kukupun kami tidak takut!!! Sama sekali tidak!!! Sungguh boddooh bila ada yang mengira kami demikian. 
Meski ada kekurangan di sana sini, sekolah ini dinyatakan sebagai sekolah dengan managemen terbaik di wilayah ini. Begitupun, kami sedikitpun tak bangga dan tak peduli dengan predikat itu, apalagi cuma berhadapan dengan wartawan (entah wartawan beneran atau tidak) yang mau memberitakan hal buruk tentang sekolah kami hanya gara-gara masalah topi. Konyol sekali!!!
Lagi pula apakah wartawan beneran bersikap seperti itu? Kami sangat kenal seperti apa sikap jurnalis yang sesungguhnya. Yang jelas, tidak seperti itu. Sama sekali tidak. Pasal UU pers atau kode etik jurnalistik mana yang membenarkan sikap konyol seperti itu? 
Sungguh terlalu picccik bila ada berfikir kami takut kehilangan murid, sebab itu berarti menganggap kami mendirikan sekolah ini demi rupiah. Dan pasti lebih guoblog lagi bila  ada yang mengira kami hidup dari sekolah ini. 
Sekolah ini memiliki managemen paling transparan di wilayah ini. Keluar dan masuknya uang jelas, tidak ada yang lebih terbuka dibanding sekolah kami, dan semua orang tahu berapa puluh juta kami harus menutupi biaya pendidikan di sekolah ini tiap tahu. Mereka yang melek managemen pasti tahu berapa besar dana yang kami keluarkan setiap tahun agar anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan terbaik di wilayah ini? Hanya orang super bodoh yang berfikir mendirikan sekolah sebagai bisnis.  
Beberapa waktu lalu ada juga yang bersikap serupa, mengumbar amarah, mengumbar kata-kata sinis, kasar, kotor tanpa sedikitpun merasa malu. Syukur alhamdulillah, sebagian sudah keluar dari sekolah ini, karena mereka tidak pantas berada bersama kami. Ironisnya, sepertinya masih ada beberapa pengikutnya yang tersisa.
Kami tidak tahu pasti mengapa akhir-akhir ini ada wali murid yang bersikap seperti itu. Apa masalah mereka? Mengapa mereka tidak bicara baik-baik? Mengapa mereka begitu mudah mengumbar sikap konyol seperti itu?
Yang pasti kami justeru kasihan terhadap orang-orang seperti ini. Mereka pasti sedang bermasalah, dan hanya menjadikan orang lain sebagai kompensasi. Apakah mereka lupa di lembaga pendidikan ini putera-puterinya belajar, memulai membangun harapan bagi masa depan mereka? Apakah mereka tak tahu sikap moral mereka tak pantas dilihat, didengar apalagi ditiru anak-anaknya? Mengapa mereka bisa kehilangan akal sehatnya????  

GARA-GARA TOPI?

Aneh, lucu, konyol, ngawur, tidak waras. Sebenarnya istilah-istilah itu tidak pantas diucapkan, tapi itulah kata-kata yang dapat kami pakai untuk menggambarkan. Terus terang kesal juga, meski kami tahu harus bersabar dan bersabar...
Pegawai bagian koperasi tadi pagi tergopoh-gopoh ke rumah. Dia bilang ada seorang wali murid yang ngamuk, marah-marah, karena mau membeli topi untuk anaknya, tetapi tidak ada barang di koperasi. Dia lantas pulang dan kembali lagi dengan membawa kamera dan berkalung tanda pengenal, konon wartawan.
Dia memaksa pegawai koperasi difoto, dan mengajak beberapa wali murid untuk mendukung aksi konyolnya. Sambil memfoto beberapa bagian koperasi dan sekolah, konon dia bilang akan memberitakan hal ini di media massa, entah media apa yang dia maksud.
Salah seorang pengurus komite sekolah, pak Syarif, mendekati orang itu dan berdebat perihal alasan yang membuat orang itu bersikap aneh. Selain karena masalah topi bagi anaknya, ampai saat ini kami tidak tahu masalah yang sebenarnya dikeluhkan. Wakasek SDI Darush Sholihin sendiri bilang, "Saya sendiri heran, bagaimana mungkin orang bisa begitu marahnya hanya gara-gara topi?" 
"Apakah dia tidak bisa bicara baik-baik dengan guru atau kepala sekolah? Apakah masalah seperti itu sudah termasuk masalah yang tak bisa dibicarakan? Mengapa orang semacam itu begitu mudahnya mengumbar amarah, mengobral kata-kata kotor dan sejenisnya? Mengapa ada orang yang bersikap seolah tidak ada rasa hormat pada lembaga pendidikan di mana anak-anaknya belajar dan dididik di sini?" tanyanya.
Tentu saja hanya orang itu yang tahu jawabannya, tapi yang jelas orang itu sudah salah menilai kami. Dia mengkira kami takut wartawan, takut diberitakan ini dan itu, takut sekolah ini tidak laku kalau diberitakan ini dan itu, padahal seujung kukupun kami tidak takut!!! Sama sekali tidak!!! Sungguh boddooh bila ada yang mengira kami demikian. 
Meski ada kekurangan di sana sini, sekolah ini dinyatakan sebagai sekolah dengan managemen terbaik di wilayah ini. Begitupun, kami sedikitpun tak bangga dan tak peduli dengan predikat itu, apalagi cuma berhadapan dengan wartawan (entah wartawan beneran atau tidak) yang mau memberitakan hal buruk tentang sekolah kami hanya gara-gara masalah topi. Konyol sekali!!!
Lagi pula apakah wartawan beneran bersikap seperti itu? Kami sangat kenal seperti apa sikap jurnalis yang sesungguhnya. Yang jelas, tidak seperti itu. Sama sekali tidak. Pasal UU pers atau kode etik jurnalistik mana yang membenarkan sikap konyol seperti itu? 
Sungguh terlalu picccik bila ada berfikir kami takut kehilangan murid, sebab itu berarti menganggap kami mendirikan sekolah ini demi rupiah. Dan pasti lebih guoblog lagi bila  ada yang mengira kami hidup dari sekolah ini. 
Sekolah ini memiliki managemen paling transparan di wilayah ini. Keluar dan masuknya uang jelas, tidak ada yang lebih terbuka dibanding sekolah kami, dan semua orang tahu berapa puluh juta kami harus menutupi biaya pendidikan di sekolah ini tiap tahu. Mereka yang melek managemen pasti tahu berapa besar dana yang kami keluarkan setiap tahun agar anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan terbaik di wilayah ini? Hanya orang super bodoh yang berfikir mendirikan sekolah sebagai bisnis.  
Beberapa waktu lalu ada juga yang bersikap serupa, mengumbar amarah, mengumbar kata-kata sinis, kasar, kotor tanpa sedikitpun merasa malu. Syukur alhamdulillah, sebagian sudah keluar dari sekolah ini, karena mereka tidak pantas berada bersama kami. Ironisnya, sepertinya masih ada beberapa pengikutnya yang tersisa.
Kami tidak tahu pasti mengapa akhir-akhir ini ada wali murid yang bersikap seperti itu. Apa masalah mereka? Mengapa mereka tidak bicara baik-baik? Mengapa mereka begitu mudah mengumbar sikap konyol seperti itu?
Yang pasti kami justeru kasihan terhadap orang-orang seperti ini. Mereka pasti sedang bermasalah, dan hanya menjadikan orang lain sebagai kompensasi. Apakah mereka lupa di lembaga pendidikan ini putera-puterinya belajar, memulai membangun harapan bagi masa depan mereka? Apakah mereka tak tahu sikap moral mereka tak pantas dilihat, didengar apalagi ditiru anak-anaknya? Mengapa mereka bisa kehilangan akal sehatnya????  

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...