Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita pernah berjumpa seseorang yang bicara sinis dan bicara negatif tentang orang lain (ghibah), bersikap emosional, mencaci-maki, mengumpat, marah-marah bahkan kadang sampai mengamuk. Kita sendiri kadang juga begitu, bukan?
Di sekolah kita juga sering melihat guru, pegawai, juga wali murid yang bersikap emosional, berbicara minor, sinis, kasar, marah-marah, dan menunjukkan sikap emosionalnya dalam berbagai ekspresi. Sebagai profesional, kita tak mungkin menghindari sikap, perkataan, dan perilaku yang diliputi amarah. Karenanya, kita perlu memahami kenapa itu terjadi, normalkah sikap dan perilaku itu, dan bagaimana menyikapinya?
Di sekolah kita juga sering melihat guru, pegawai, juga wali murid yang bersikap emosional, berbicara minor, sinis, kasar, marah-marah, dan menunjukkan sikap emosionalnya dalam berbagai ekspresi. Sebagai profesional, kita tak mungkin menghindari sikap, perkataan, dan perilaku yang diliputi amarah. Karenanya, kita perlu memahami kenapa itu terjadi, normalkah sikap dan perilaku itu, dan bagaimana menyikapinya?
TEORI JIWA FREUD
Dalam teorinya tentang ego (id, ego dan super ego), Sigmund Freud, melukiskan jiwa manusia ibarat gunung es. Bongkah es yang menyembul di atas permukaan air diibaratkan rasionalitas manusia, sedang di dalam air adalah emosionalitasnya. sebagaimana dalam bagan berikut.
Bagian gunung es yang berada di bawah permukaan air biasanya jauh lebih besar dibanding yang tampak di permukaan. Demikian pula dengan jiwa manusia, yang pada umumnya lebih didominasi emosi dibanding rasionalitasnya.
Kualitas mental manusia ditentukan oleh kemampuannya menempatkan akal sehat lebih dominan dibanding emosinya (tipe rasional). Orang yang emosinya lebih dominan dibanding akal sehatnya, berarti memiliki kualitas mental yang rendah (tipe emosional).
Itulah sebabnya, manusia memerlukan pendidikan. Pendidikan adalah upaya untuk membuat anak manusia agar dalam menjalani hidup lebih mengedepankan rasionalitas dan akal sehat dibandingkan emosinya.
Manusia yang berhasil membuat akal sehatnya dominan atas emosinya disebut manusia super (Euber march) oleh Freud dan Nietze atau disebut insan kamil oleh para ilmuwan muslim. Sedang manusia rendah adalah mereka yang sikap dan perilakunya dikuasai oleh emosi, dan mengesampingkan akal sehatnya.
MENYIKAPI AMARAH
Dari sini dapat dipahami, bahwa emosi atau amarah adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan kondisi jiwa yang didominasi oleh emosi. Semakin tinggi emosi seseorang, berarti rasionalitas dan akal sehatnya semakin tidak berungsi. Akal sehatnya tertutup oleh sikap dan pikiran negatif.
Karena itu, orang yang sedang emosi/ marah tidak perlu ditanggapi, karena
- Orang emosi/marah tidak bisa berfikir dengan akal sehat. Sikap, perkataan dan perilaku mereka dikendalikan emosi, sehingga tidak dapat melihat persoalan dengan pikiran jernih. Akibatnya, mereka tidak dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk, yang pantas dan yang tidak pada tempatnya.
- Orang emosi/marah tidak berniat menyelesaikan masalah, tetapi ingin “menghukum” yang dimarahi atau “dimangkeli”. Orang marah tidak mungkin diajak berbicara, sebab pada dasarnya hanya dia hanya ingin bertengkar/berkelahi. Dia bukan mencari solusi, tapi ingin menang dan harus mengalahkan. Dia hanya berfikir bagaimana bisa menghukum orang yang dia marahi, mempermalukannya, atau membalas dendam dan sakit hati. Karenanya, dia akan semakin marah dan menjadi-jadi bila orang yang dia marahi melawan dengan sikap atau kata-kata, apalagi bila sampai kalah argumen.
- Orang marah/emosi pasti sedang bermasalah dengan dirinya sendiri. Orang emosi/marah biasanya hanya menjadikan orang lain sebagai obyek pelampiasan dari masalah dia sendiri. Orang tidak akan bersikap emosional, memaki, mencaci, dan apalagi marah-marah bila dia sendiri sedang dalam kondisi baik-baik saja atau tidak sedang bermasalah.
Menanggapi orang yang sedang dikuasai emosi/amarah sama dengan menanggapi sikap, kata-kata dan perilaku orang yang sedang “tidak waras” atau “orang gila”. Bila ada orang gila memaki anda, apakah anda perlu menanggapinya? Bila anda menanggapinya, maka apa bedanya anda dari dia?
Sebagai pendidik, yang sebagian juga istri atau suami, kakak, adik dan orang tua dari anak-anak, kita perlu mengedepankan akal sehat dalam sikap, ucapan maupun perilaku. Sering kali kita harus membayar terlalu mahal akibat sikap dan keputusan emosional kita, baik di rumah, di jalan atau di tempat kerja.
Apapun yang kita hadapi, kita harus selalu mengedepankan sikap rasional dan tidak mudah terpengaruh sikap negatif orang lain. Pendidikan yang pernah kita lalui adalah untuk menjadikan kita manusia yang mampu berfikir jernih dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Seharusnya dengan cara itu pulalah kita menyikapi setiap persoalan, mendidik keluarga dan anak didik kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar