Jumat, 24 Desember 2010

ORANG BAIK ATAU ORANG BODOH

Dua tahun lalu saya bermain ke seorang yang sahabat yang kebetulan juga memiliki lembaga pendidikan. Saya ingin tahu, mengapa lembaga pendidikan yang didirikan hampir bersamaan dengan lembaga pendidikanku dapat berkembang lebih pesat dan tidak mengalami kesulitan dana seperti kami.
Sebenarnya, sepintas saja sudah bisa dipahami, mengapa mereka berkembang lebih pesat. Posisi sekolah itu yang berada di tengah kota memberikan banyak keuntungan. Apresiasi masyarakat kota pasti lebih terbuka terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan pelayanan khusus.
Masalahnya, selama 10 tahun tidak pernah sekalipun lembaga pendidikan kami berlangsung tanpa defisit, sementara mereka tidak. Ketika saya menanyakan soal itu, sahabat saya balik bertanya, "Berapa persen dana yang diperoleh sekolah, kamu alokasikan untuk operasional?"
Dengan mantap saya jawab, "Seratus persen!"
Sesaat dia terbengong menatap saya. Saya tidak tahu apakah dia kagum atau heran, hingga tiba-tiba dia kembali bertanya, "Kamu itu orang baik atau orang bodoh?" Kali ini aku yang kaget dan terbengong-bengong. 
Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Aku baru sadar maksud pertanyaannya setelah dia menjelaskan, "Kegiatan operasional sekolah itu sama halnya dengan belanja. Yang namanya belanja tidak akan pernah cukup kalau tidak dibatasi. "Kalau kamu alokasikan dana itu 100%, pasti kurang. "Bahkan kalau kamu alokasikan 200% juga pasti kurang. Iya, kan?" tanyanya, dan saya hanya mengangguk.
"Masalahnya, anggaran pendidikanku kecil" sahutku.
"Justeru saat itulah kamu harus mulai belajar hemat. Itulah saat di mana kamu harus belajar menyisihkan belanja sekolah agar tidak tekor dan memiliki budget secara mandiri" Jelasnya.
Secara panjang lebar kawanku menjelaskan bagaimana sekolah swasta harus dikelola, yang pada intinya jangan mengalokasikan anggaran sepenuhnya untuk dana operasional, tetapi harus mampu menyisihkan sebagian untuk dana pengembangan. Bagaimanapun sekolah swasta adalah lembaga mandiri yang harus mampu mengembangkan sumber keuangan sendiri.
Sekolah swasta tak perlu terlalu mengikuti kebijakan pemerintah. Selain berubah-ubah dan tidak dapat dijadikan pegangan, sekolah swasta pada dasarnya adalah lembaga mandiri. Sekolah harus mampu menyisihkan pemasukan untuk berkembang, kecuali sekolah memang ingin jalan di tempat. 

MEREKA MEMANG TIDAK MENGAJUKAN

Akhir-akhir ini ada sebagian orang yang meributkan keluarnya beberapa guru SDI Darush Sholihin. Kami sempat mendengar beberapa ungkapan sebagian orang, sebagai berikut:
“Masa, guru-guru yang baik dikeluarkan”,
“Kok guru-guru yang berkualitas tidak direkrut lagi?”
“Kok guru-guru terbaik dipecat?”,
Selain itu ada beberapa ungkapan lagi yang tak pantas diulah atau bahkan sekedar untuk dituliskan.
Buat kami, itu pernyataan dan pertanyaan seperti itu aneh, bahkan sangat aneh. Meski demikian, kami menyadari, mungkin bagi mereka kamilah yang aneh.
Sekali lagi, sebuah mispersepsi muncul di antara kita. Menyikapi masalah aneh seperti ini kami hanya perlu berfikir positif. Bila muncul mispersepsi, menunjukkan bahwa:
1. Banyak orang peduli terhadap Darush Sholihin. Kalau tidak, apapun yang terjadi di sekolah ini tidak akan ada yang merespon apapun.
2. Darush Sholihin harus menjadi lembaga pendidikan terbaik. Hanya saja, setiap orang masih berbeda-beda pendapat mengenai kriteria baik-buruk, kriteria kepemimpinan, ketenagaan dan sistem pendidikannya.
Oleh karena itulah, kami memandang perlu memberikan catatan ini, dengan harapan dapat mengeliminir mispersepsi semacam itu. Meski demikian, kami tetap menyadari, bahwa menghilangkan anggapan miring seperti ini bukan hal mudah dan tidak dapat dipaksakan.
Hal ini dikarenakan ada beragam alasan yang menyebabkan munculnya pemahaman semacam itu. Sebagian hanya karena ketidaktahuan, sebagian hanya terbawa omongan orang lain, dan alasan pribadi lain yang selalu mudah dibuat mengerti.
Kronologi Peristiwa
1. Pengumuman Rekrutmen Tenaga
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tiap memasuki bulan Februari atau Maret Darush Sholihin menanyakan kesediaan guru/pegawai untuk bekerja sama mengelola unit pendidikan pada tahun berikurnya. Hal ini dikarenakan:
a. Darush Sholihin menerapkan sistem kontrak kerja tahunan bagi setiap guru dan pegawai. (Pertimbangan penerapan sistem kontrak tahunan dapat dibaca pada tulisan yang lain)
b. Bagi yang memilih melanjutkan kerja samanya di Darush Sholihin, masa kontrak mereka sudah akan habis dan harus diperbaharui lagi dengan naskah kerja sama dan bukti hitam di atas putih.
c. Tidak semua guru/pegawai memilih tetap bekerja di Darush Sholihin, karena berbagai alasan. Ada yang tidak ikut serta karena hendak mengajar di sekolah lain, daftar PNS, menikah, melahirkan atau alasan pribadi lainnya.
2. Perubahan Kebutuhan Tenaga
Pada tahun 2010, kinerja SDI Darush Sholihin cenderung kurang efektif. Padahal jumlah tenaga guru/pegawai cukup banyak, bahkan lebih dari yang dibutuhkan. Formasi guru yang semula 1 kelas dipegang oleh 2 orang guru tidak efektif, karena:
a. 2 orang guru kelas tersebut bukan bekerja sama untuk memaksimal-kan pembelajaran di kelas. Guru justeru saling mengandalkan yang lain sehingga.
1) Bila satu guru masuk kelas yang lain tidak masuk sekolah atau bahkan bersantai-santai di luar kelas.
2) Sering kali kelas justeru tidak ada gurunya, karena kedua guru sama-sama tidak masuk.
b. Tugas-tugas kelas seperti adminis-trasi dan kebersihan banyak yang tidak terlaksana karena kedua guru saling mengandalkan yang lain.
c. Secara kedinasan formasi 1 kelas 2 guru menghadapi persoalan, sebab hanya ada 1 orang guru yang diakui oleh dinas pendidikan dan memper-oleh fasilitas pemerintah, sementara yang lain dianggap hanya guru yayasan dan tidak layak mendapat fasilitas sebagaimana yang lain.
Oleh karena itulah, pada tahun 2010 SDI Darush Sholihin perlu melakukan rasionalisasi tenaga guru dan pengelola, dengan harapan lebih efektif dan secara finansial memperoleh kesejahteraan yang lebih baik.
3. Perubahan Pola Rekrutmen
Belajar dari sekolah-sekolah plus mitra Darush Sholihin baik di Jombang, Malang, Sidoarjo dan Surabaya, pada tahun 2010 Darush Sholihin melakukan perubahan pola rekrutmen tenaga.
a. Perpanjangan masa kerja guru/pe-gawai yang semula hanya dilakukan dengan mengisi form kesediaan, diubah menjadi pengajuan lamaran kerja baru.
Seperti halnya sekolah-sekolah plus yang lain, ketika masa kontrak kerja berakhir, perpanjangan kontrak kerja berikutnya harus dilakukan dengan lamaran kerja baru, bukan dengan pengisian form kesediaan.
b. Masa kontrak yang semula hanya 1 (satu) tahun diubah menjadi 2,5 (dua setengah) tahun.
Mengingat adanya kebutuhan untuk melakukan rasionalisasi jumlah guru dan pegawai, setiap guru dan pegawai yang mengajukan lamaran kerja baru perlu dilakukan seleksi ulang. Proses seleksi ulang dilakukan sesuai standar umum lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, yang meliputi aspek:
a. Loyalitas
b. Kompetensi
c. Kinerja
4. Respon Guru/Pegawai
Sebagian guru/pegawai dapat menerima perubahan ini, tetapi ada juga yang merespon negatif. Dari berbagai sumber kami sempat mendengar beberapa guru/ pegawai keberatan dengan adanya perubahan tersebut.
a. Ada yang menyatakan keberatan dengan masa kontrak 2,5 tahun, sebab menurutnya hal itu terlalu lama, dan berarti kesempatan untuk mendaftar CPNS di sekolah negeri menjadi semakin sempit.
b. Ada juga yang menyatakan tidak akan mengajukan lamaran. Mereka hanya mau kembali bekerja di Darush Sholihin bila dipanggil dan ditanya satu persatu.
c. Jauh hari sebelum pengumuman kami sampaikan, kami mendengar dari staf tata usaha bahwa sebagian guru menyatakan akan mengakhiri masa baktinya pada tahun ini. Sebagian lagi ragu-ragu apakah akan terus ikut serta di Darush Sholihin atau tidak.
Meski ada respon dan informasi seperti itu, kami pernah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu ditanggapi. Selama ini, kami memang tidak pernah menanggapi pembicaraan apapun dan seperti apapun dari seseorang, kecuali yang bersangkutan menyampaikannya secara langsung pada kami secara lisan maupun tertulis.
5. Sempat Beban Moral
Justeru sejak pengumuman rekrutmen pegawai tersebut kami sampaikan, ada beberapa fenomena menarik.
a. Guru dan pegawai yang pada hari-hari sebelumnya datang terlambat datang ke sekolah tiba-tiba menjadi sangat aktif datang pagi.
b. Guru yang semula sering mening-galkan tugas menjadi semakin rajin.
c. Guru dan pegawai yang semula tidak solid kelihatan kompak.
Kami sempat berfikir bahwa informasi yang saya dengar tentang sikap dan rencana para guru/pegawai itu tidak benar. Bila itu terjadi, maka seleksi guru/pegawai tahun ini pasti sangat membebani kami secara moral.
Hal ini dikarenakan melepaskan guru/ pegawai yang nyata-nyata masih bermi-nat untuk bekerja sama dengan Darush Sholihin merupakan beban mental yang luar biasa berat bagi kami. Meski melalui seleksi terbuka, dan meski sebenarnya dalam sistem kontrak sah saja masing-masing pihak tidak melanjutkan kerja sama di akhir masa kontrak, tetapi melepaskan orang yang masih berminat bekerja sama dengan darush Sholihin menjadi beban batin tersendiri.
a. Selama ini kami sudah menjadi sahabat bahkan di tengah masa-masa sulit.
b. Selama ini antara kami dan guru/ pegawai tidak ada masalah apapun, tidak ada konflik, pertengkaran atau wanprestasi yang mengharuskan sebagian dari mereka tidak diberi tempat untuk mengabdi.
c. Selama ini kami memperlakukan sama seluruh guru/pegawai tanpa diskriminasi, meski kami sadar bahwa di antara mereka ada yang sudah memahami visi, misi dan cara kerja kami dan ada yang belum.
d. Di tengah masyarakat yang kian materialistik, hanya manusia berjiwa perjuangan yang bersedia menjadi guru/pegawai di lembaga pendidik-an keagamaan swasta/pesantren. Tanpa jiwa perjuangan, mereka pasti memilih menjadi buruh pabrik atau jenis pekerjaan yang lain.
6. Beban Moral Hilang
Beban mental tersebut hilang seketika saat batas akhir penyerahan lamaran kerja ada beberapa guru/pegawai yang mengajukan lamaran dan ada pula yang tidak. Jumlah pelamar hanya kurang 1 (satu) orang dari jumlah yang guru/ pegawai dibutuhkan sekolah pada tahun 2010-2011.
Tentu saja hal ini sangat memudahkan kami. Kami tidak perlu melakukan seleksi ulang, dan yang paling penting tidak perlu menolak lamaran kerja.
Beberapa guru yang semula kami duga akan mengajukan lamaran kerja baru ternyata tidak mengajukan. Ketika kami tanyakan melalui staf kantor, ternyata mereka memang tidak mengajukan lamaran baru.
Kami juga sempat bertanya langsung pada beberapa guru/pegawai yang oleh sebagian guru/pegawai diharapkan tetap bekerja sama dengan Darush Sholihin, tetapi yang bersangkutan memastikan tidak ikut serta karena berbagai alasan.
Bagi kami, masalah tenaga selesai tanpa beban. Sebagian guru/pegawai memang diketahui berencana mendiri-kan sekolah baru dan kami mendukung usaha tersebut. Jauh hari sebelumnya beberapa guru melamar di sekolah lain dan daftar S2, dan kami senang karena yang bersangkutan diterima.
Tugas kami hanya mencari kekurangan tenaga guru/pegawai. Bagi kami, itu jauh lebih mudah dibanding beban moral ketika harus melepaskan tenaga yang sudah ada.
7. Respon Aneh
Ketika formasi guru/pegawai 2010/2013 ditetapkan, beberapa orang menemui kami dan mengajukan pertanyaan aneh. Pada intinya, mereka menyatakan:
Sebenarnya guru-guru itu masih berminat, tapi tidak mau mengajukan lamaran baru. Mereka kan guru-guru terbaik, mengapa harus melamar? Mereka kurang apa, sehingga harus diseleksi ulang?
Seharusnya dalam rekrutmen yayasan mendahulukan guru-guru berkualitas, baru guru-guru yang lain. Guru yang bagus-bagus itu tidak perlu melamar, tapi yayasan yang seharusnya meminta kesediaan mereka satu per-satu.
Dengan bahasa yang agar emosional, beberapa guru/pegawai konon juga ditanyai hal yang sama oleh beberapa orang wali murid.
Mengapa guru yang bagus-bagus tidak dipakai?”
“Mengapa guru-guru terbaik dibuang?”
Mengapa mereka tidak didekati secara khusus agar tidak keluar?”
Balik Bertanya
Mendengar pertanyaan semacam itu, kami spontan balik bertanya:
1. Guru terbaik? Siapa saja guru yang dimaksud? Apa beda mereka dari guru-guru yang tetap mengajukan lamaran kerja baru? Apa kriteria guru terbaik itu?
Faktanya, selain berbeda masa kerja, kualitas kerja guru/pegawai Darush Sholihin tidak ada bedanya antara satu dan yang lain.
a. Faktanya, prosentase keberhasilan pembelajaran mereka tidak berbeda antara guru yang dianggap terbaik dan yang tidak terbaik.
b. Guru yang tidak dianggap sebagai guru “berkualitas” dan “terbaik” itu:
1) Dari segi hasil pembelajaran lebih baik.
2) Dari segi hasil pembinaan perilaku anak didik lebih baik. Kasus-kasus siswa bermasalah sedang dan berat justeru lebih banyak terjadi di kelas yang diasuh oleh guru-guru “terbaik”.
3) Dari segi disiplin kerja, mereka lebih baik
Mengapa bukan mereka yang layak disebut guru berkualitas?
c. Lalu apa standar guru terbaik itu? Apakah hanya karena lebih lama berarti lebih baik? Apakah hanya karena sudah dikenal wali murid berarti lebih baik dari yang lain?
2. Mengapa mereka MERASA tidak perlu mengajukan lamaran kerja baru? Mengapa mereka MERASA tidak perlu diseleksi lagi? Mengapa yayasan seharusnya yang meminta mereka bukan sebaliknya?
a. Dengan nada bercanda kami balik bertanya, “Sebenarnya siapa yang majikan, siapa yang pegawai?” Logika mana yang membenarkan “pemilik” harus “melamar” pegawai? Mengapa pegawai menghargai diri lebih begitu tinggi? Kenapa jadi terbolak-balik seperti ini?
Di lembaga apapun dan manapun juga, seharusnya pegawai yang mengikuti aturan di tempat kerja, bukan tempat kerja yang mengikuti aturan pegawai.
b. Apakah mereka tidak tahu, bahwa ikatan kerja kita selama ini adalah sistem kontrak?
Ketika masa kontrak berakhir, maka siapapun yang berminat bekerja kembali seharusnya memperbaha-rui kontrak, tanpa kecuali. Bilamana mereka tidak mengajukan berarti memang berniat tidak bekerja lagi, bukan dibuang atau disingkirkan.
c. Aturan ini berlaku untuk semua guru dan pegawai. Tidak ada yang perlu kami istimewakan di atas yang lain. Mengapa guru yang baru 3-4 tahun bekerja menempatkan diri terlalu tinggi hingga enggan mengajukan lamaran kerja baru, padahal guru yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun saja mengajukan?
d. Yang tidak mengajukan kontrak kerja baru tahun ini bukan hanya guru/pegawai SDI.
Guru/pegawai Playgroup dan TK juga banyak yang tidak mengajukan lamaran kerja baru. Prosentasenya bahkan lebih banyak dan sama sekali tidak masalah.
Seperti norma yang berlaku selama ini, mereka yang menyelesaikan masa kontrak dengan baik sampai batas waktu yang disepakati kita kondite sebagai orang berkomitmen. Mereka pasti kami rekrut kembali bila di lain waktu berkesempatan untuk bekerja sama kembali.
e. Kami tidak “membuang”, juga tidak “menyingkirkan” siapapun.
Bila guru atau pegawai mengajukan lamaran dan kami tolak, mungkin ungkapan emosional semacam itu dapat dimengerti, tetapi faktanya mereka memang tidak mengajukan. Sebagai lembaga formal, bukti legal itu yang kami pegang. Kami tidak melayani cara-cara yang tidak profesional dan kekanak-kanakan.
Bila memang benar ada guru/pegawai yang sebenarnya berminat untuk melanjutkan kerja sama, tetapi tidak mengajukan lamaran kerja baru, kami justeru bertanya-tanya. Mengapa itu dia lakukan? Apa sebenarnya yang mereka mau?
Kami meragukan, apakah benar di antara mereka memang masih ada yang berminat, tetapi tidak mengajukan? Bila benar masih berminat, mengapa ada yang menganjurkan guru/pegawai lain agar tidak mengajukan lamaran kerja baru, bahkan dengan melibatkan “orang luar”? Apa urusannya? Apa tujuannya?


Catatan Akhir
1. Keluar-masuknya guru/pegawai Darush Sholihin di setiap pergantian tahun pelajaran adalah mekanisme biasa, mengingat sistem ketenagaan kita menganut batasan masa kontrak kerja.
Selama Darush Sholihin tetap mampu menjaga kualitas layanan pendidikan pada masyarakat, apa masalahnya?
2. Saat ini, masalah ketenagaan untuk 2010-2013 sudah selesai.
3. Guru/pegawai yang dibutuhkan untuk periode 2010-2013 sudah terpenuhi dan sudah memulai kegiatan pelatihan demi pelatihan dan persiapan Tapel baru.
4. Tidak ada guru/pegawai yang dipecat, dibuang atau disingkirkan. Kami sudah memberi kesempatan yang sama secara terbuka pada semua guru/pegawai, tetapi memang ada yang mengajukan kerja sama baru dan tidak.
5. Kami menghargai keputusan mereka yang memilih bekerja sama dengan kami maupun yang tidak. Mereka yang mengakhiri ikatan kerjanya dengan kami pasti sudah memiliki rencana yang lebih baik dan kami harus mendukungnya.
6. Mereka yang mengakhiri masa kerja dengan baik hingga batas waktu yang tertuang dalam naskah kontrak kerja, dapat mengajukan kembali menjadi guru/pegawai pada periode berikutnya.
7. Prinsipnya, kami hanya akan bekerja sama dengan mereka yang benar-benar siap bekerja sama secara profesional, bukan kekanak-kanakan. Kami hanya melayani mereka yang benar-benar percaya pada layanan yang mampu kami berikan, tanpa meributkan yang bukan urusannya.
8. Masalah ketenagaan adalah urusan internal lembaga, bukan wali murid, komite sekolah, dan bukan pula dinas pendidikan. Bahkan pemerintah hanya berhak menentukan kriteria guru, bukan menentukan siapa orangnya.
9. Selama 10 tahun sejak didirikan, sudah lebih dari 27 orang guru/pegawai yang masuk dan kemudian keluar dari Darush Sholihin, dan tidak pernah menjadikan kualitas pendidikan kami menurun.
Kualitas pendidikan Darush Sholihin tidak tergantung orang per-orang, tapi pada sistem yang kami bangun serta kesiapan lembaga ini menyiapkan dan melatih tenaga secara mandiri.

MENGAPA KEPALA SEKOLAH DIGANTI?

Mengapa kami mengganti kepala sekolah? Untuk apa? Untuk siapa? Mengapa justeru kami yang salah? Itu pertanyaan-pertanyaan konyol yang tak pernah bisa dipahami atau memang sengaja dibikin salah paham oleh sebagian orang.



Kami sadar, di mata mereka yang terlajur terprovokasi mantan kepala sekolah itu kami telah dikesankan sebagai pimpinan yang egois, sewenang-wenang, otoriter, penuh ambisi pribadi. Kami sadar tidak bisa mengubah image itu, karena dalam situasi seperti ini kami ditempatkan sebagai pihak yang paling layak dipersalahkan.

Mengapa kami mengganti kepala sekolah?
Kepala sekolah saat ini sudah tidak efektif. Dia tidak bisa mengelola sekolah ini secara terprogram. Dia tidak bisa menyusun program, bahkan sekedar menerapkan saja dia tidak bisa. Akibatnya, pembelajaran tidak efektif. Selain kelihatan gebyarnya dari luar, banyak target pembelajaran sebenarnya tidak tercapai. Pembelajaran muatan kurikulum nasional tidak tercapai, bahkan merosot tajam, muatan kurikulum lembaga/keagamaan sudah gagal sejak tahun kemarin. Kalau bukan kami pengurus yayasan yang langsung turun tangan, tahun ini pasti jauh lebih buruk.

Aku sudah bosan berharap dan tidak yakin kinerja kepala sekolah dapat berubah. Satu-satunya jalan aku harus mencari kepala sekolah lain yang mampu mengelola sekolah ini secara terprogram dan terkontrol. Dengan begitu sekolah ini memiliki jaminan mutu yang bisa dipertanggungjawabkan.

Yang perlu ditegaskan adalah, bahwa tindakanku ini semata2 demi kualitas belajar anak didik.

MENGAPA KEPALA SEKOLAH DIGANTI?

Mengapa kami mengganti kepala sekolah? Untuk apa? Untuk siapa? Mengapa justeru kami yang salah? Itu pertanyaan-pertanyaan konyol yang tak pernah bisa dipahami atau memang sengaja dibikin salah paham oleh sebagian orang.


Kami sadar, di mata mereka yang terlajur terprovokasi mantan kepala sekolah itu kami telah dikesankan sebagai pimpinan yang egois, sewenang-wenang, otoriter, penuh ambisi pribadi. Kami sadar tidak bisa mengubah image itu, karena dalam situasi seperti ini kami ditempatkan sebagai pihak yang paling layak dipersalahkan.

Mengapa kami mengganti kepala sekolah?
Kepala sekolah saat ini sudah tidak efektif. Dia tidak bisa mengelola sekolah ini secara terprogram. Dia tidak bisa menyusun program, bahkan sekedar menerapkan saja dia tidak bisa. Akibatnya, pembelajaran tidak efektif. Selain kelihatan gebyarnya dari luar, banyak target pembelajaran sebenarnya tidak tercapai. Pembelajaran muatan kurikulum nasional tidak tercapai, bahkan merosot tajam, muatan kurikulum lembaga/keagamaan sudah gagal sejak tahun kemarin. Kalau bukan kami pengurus yayasan yang langsung turun tangan, tahun ini pasti jauh lebih buruk.

Aku sudah bosan berharap dan tidak yakin kinerja kepala sekolah dapat berubah. Satu-satunya jalan aku harus mencari kepala sekolah lain yang mampu mengelola sekolah ini secara terprogram dan terkontrol. Dengan begitu sekolah ini memiliki jaminan mutu yang bisa dipertanggungjawabkan.

Yang perlu ditegaskan adalah, bahwa tindakanku ini semata2 demi kualitas belajar anak didik.

INI DISEBUT PSEUDO-DEMOKRATIS

Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.

Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.

Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.

Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".

Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.

Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.

Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.

Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.

Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.

Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"

Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.

Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.

Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.

Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.

Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!

Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.

Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.

Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...

Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.

Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.

Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.

Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.

Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.

Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.

Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.

Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?

INI DISEBUT PSEUDO-DEMOKRATIS

Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.

Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.

Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.

Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".

Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.

Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.

Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.

Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.

Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.

Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"

Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.

Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.

Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.

Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.

Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!

Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.

Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.

Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...

Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.

Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.

Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.

Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.

Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.

Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.

Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.

Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?

YAYASAN KAKEHAN BATHI?

Seingatku baru dua kali aku bertemu wali muridku yang satu ini, sebut saja namanya pak Bawur. Walaupun baru dua kali aku jadi ingat dan tetap ingat wajah dan namanya, di antara wali murid yang aku tidak kenal namanya sama sekali.Yang membuat aku kenal beliau adalah bicara dan kritiknya yang ngawur dan asal bicara.

Tadi siang adalah kesempatan kedua aku bertemu dengannya dalam pertemuan yayasan dan wali murid. Semula aku tidak kenal bapak itu, tapi langsung teringat saat dia mulai menyampaikan pandangannya.

Dia mengulangi kritiknya yang ngawur beberapa tahun yang lalu. Dia bilang, "Yayasan itu mbok ya jangan hanya mencari keuntungan sendiri. Masak kita sudah bayar mahal-mahal guru-gurunya dibayar murah. Mengajar dari pagi sampai siang cuma dibayar 150.000. Itu kan keterlaluan?" katanya.

"Kita-kita ini juga bisa ngitung. Tiap anak itu mbayar berapa, total yang diterima yayasan itu berapa, gurunya dibayar berapa, sisanya berapa? Bagaimana guru-gurunya bisa betah kalau dibayar di bawah upahnya kuli?" Serentak wali murid yang sepaham dengan kengawurannya langsung menyahut, "Betul... betul..."

"Jadi, mbok ya kesejahteraan guru itu diperhatikan. Jangan hanya mikir keuntungan sendiri" lanjutnya. Wali murid yang pola pikirnya sengawur dia berkali-kali menyahut, "betul, pak... betul itu"

Aku tidak kaget mendengarnya, karena ini bukan kali pertama aku mendengar kritikan bodoh itu. Yang agak menarik adalah wali murid lain yang membenarkan apa yang dia katakan. Dengan wajah tetap tersenyum respek, aku berguman dalam hati, "Ternyata yang bodoh tidak hanya Pak Bawur itu saja"

Celakanya, dia sudah bodoh tapi sok tahu... Bagaimana tidak bodoh, kalau dia pikir ngurus sekolah itu hanya bayar guru dan beli kapur? Tentu saja aku malas menyikapi kritik semacam itu. Dijelaskanpun toh mereka tidak akan tahu dan tidak mau tahu. Kalaupun ditunjukkan RAPBS/RKAS dan realisasinya toh dia tidak akan "ngeh", karena dia hanya percaya pada pikirannya sendiri.

Saat ditanya, siapa guru yang dibayar sekian? Dia jawab, "saya tidak perlu sebutkan namanya" Dia juga bilang, sekolah ini terlalu banyak tarikan ini dan itu, bikin biaya makin mahal saja. Waktu kembali kami tanya, tarikan apa? Dia bilang, "Ya pokoknya ada, banyak, tapi saya tidak ingat"

Jelas itu hanya pernyataan ngawur. Bagaimana tidak ngawur, sedangkan tidak satupun guru/pegawai yang dibayar di bawah 200 ribu. Tukang sapu saja tidak mungkin kita bayar sekian. Bagaimana tidak ngawur, sedangkan di sekolah ini tidak ada tarikan apapun di luar pembayaran yang ditentukan sejak awal?

Percuma saja menjelaskan masalah seperti ini pada orang berotak dungu seperti itu. Otaknya tidak menjangkau, bahwa kebutuhan mengelola sekolah itu lebih rumit dari yang dia pikirkan. Matanya tidak bisa melihat, dari mana semua sarana dan prasarana itu ada? Apakah duit yang dia bayarkan cukup untuk membayar 1 orang pegawai, staf TU, atau guru ekstrakurikuler? Dasar orang bodoh!!!

Masalahnya, dalam konteks ini dia adalah konsumen yang harus dihargai. Apapun yang dia omongkan harus didengar meski tidak njuntrung. Dia seakan menjadi penguji keikhlasanku dalam mengelola sekolah ini. Dia sama sekali tidak menghargai berapa duit yang aku korbankan untuk mengelola sekolah selama ini? Berapa keuntungan yang aku dapatkan?

Bodohnya, dia tidak tahu bahwa aku sama sekali tidak diuntungkan dengan semua ini. Keuntungan materi tidak ada, pahala juga belum tentu dapat. Tapi ketemu orang bodoh seperti ini menyadarkan otak materialistisku, apa untungnya aku berfikir dan bekerja keras untuk anak2 mereka? Kenapa aku membuat sekolahan, membuat program ini itu, menghabiskan terlalu banyak tenaga, pikiran dan hatiku, bila hanya caci maki yang aku dapatkan?

Aku mulai berfikir, membuat sekolahan adalah perbuatan bodoh.... Berbuat baik adalah kebodohan?????

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...