Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.
Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.
Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.
Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".
Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.
Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.
Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.
Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.
Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.
Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"
Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.
Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.
Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.
Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.
Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!
Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.
Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.
Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...
Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.
Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.
Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.
Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.
Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.
Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.
Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.
Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?
Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.
Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.
Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".
Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.
Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.
Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.
Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.
Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.
Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"
Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.
Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.
Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.
Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.
Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!
Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.
Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.
Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...
Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.
Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.
Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.
Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.
Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.
Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.
Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.
Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar