Jumat, 27 Maret 2020

MENYIKAPI WABAH PANDEMIK

Saat wabah melanda seperti saat ini, beragam brodcast, status ataupun petuah bertebaran di media sosial. Broadcast yang berisi himbauan-himbauan sesuai protokol nasional dalam menyikapi wabah dunia ini atau broadcast yang berisi ajakan untuk saling menguatkan tentu sangat positif dalam menghambat penyebaran dan penanganan wabah ini. Masalahnya banyak pula broadcast yang bernada menyalahkan, menakut-nakuti masyarakat dan mengait-kaitkannya  dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Di era yang mana peran sains begitu menentukan saat ini masih saja ada sebagian orang yang mengkaitkan pandemi ini dengan ras, agama, kutukan, tanda kiamat dan hal-hal yang bernada keputusan. Padahal semuanya dapat dijelaskan, dimitigasi dan ditangani dengan sains dan teknologi kedokteran serta mitigasi sosial.
Seharusnya masyarakat lebih mendengar pihak berwenang dan mereka yang kompeten dalam mennagani masalah ini. Uluran bantuan dari China tidak seharusnya dipolitisasi apalagi dikait-kaitkan dengan berbagai kecurigaan tentang adanya konspirasi jahat, sebab faktanya sains dan teknologi China terbukti jauh lebih maju dari negara kita.
Sulit dibayangkan seandainya virus ini berkembang dan menyebar pertama kali di Indonesia. Minimnya dukungan sain dan teknologi, ditambah masyarakat yang lebih didominasi cara berfikir tradisional, pasti jumlah dan sebaran pandemi di negeri ini jauh lebih parah. Dapat dibayangkan betapa musibah ini dengan mudah menjadi isu politis yang justeru membuat masalah semakin sulit ditangani.
Dominasi berfikir tradisional akan sangat rentan membangkitkan sentimen sosial dan politik atas dasar argumen-argumen dan narasi-narasi yang tidak masuk akal, terutama yang dikaitkan dengan keyakinan agama. Kuatnya tradisi bahkan bukan mustahil membuat pandemi jauh lebih parah lagi, karena pendukunan, dan gerakan-gerakan spiritual akan mendorong masyarakat justeru berkumpul demi membangun koalisi doa yang melibatkan massa yang melimpah.
Betapapun parah dan mengancamnya wabah ini, masyarakat seharusnya tetap mengedepankan akal sehat. Perlu dicatat bahwa:
1.   Ini Wabah "Biasa"
Dengan tidak bermaksud mengecilkan ancaman pandemi ini, wabah penyakit adalah hal biasa dalam catatan sejarah manusia. Betapapun mematikannya wabah ini, munculnya wabah tidak ada kaitannya dengan urusan agama dan kepercayaan. Wabah memang sering terjadi sebagai konsekwensi dari "kesalahan" interaksi manusia dengan alam, baik tanaman, hewan atau sumber-sumber alam, tetapi sama sekali bukan kutukan. Bagi umat Islam, wabah juga terjadi di era nabi, sahabat dan umat terdahulu sebagai fenomena yang alamiah dan "wajar" saja.
2.  Percayakan pada Sains dan Teknologi
Kita beruntung hidup di era yang diliputi oleh kemajuan sains dan teknologi, sehingga fenomena semacam ini segera mampu dikenali dan harapan akan ditemukannya vaksin dan teknik pengobatan tinggal menunggu waktu saja. Banyak kasus serupa yang telah berhasil ditangani seperti malaria, influenza, hepatitis, kolera dan sebagainya, sehingga jatuhnya korban dapat diminimalisir. Bandingkan dengan wabah yang terjadi era sahabat yang mencapai puluhan ribu orang atau wabah yang memporak-porandakan bangsa Aztec tanpa diketahui sebab maupun solusinya.
3.  Mematuhi Pihak Berwenang
Di dalam maupun luar negeri sudah banyak orang, bahkan tokoh yang dengan mengatasnamakan agama dan keyakinan menyepelekan bahkan menentang instruksi pihak berwenang justeru terkena wabah ini.  Tidak ada gunanya merasa diri paling agamis dan taat pada Tuhan, karena tidak ada manusia yang benar-benar perkasa berhadapan dengan virus mematikan, sekalipun mereka yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Tidak ada penolong yang lebih baik melebihi Tuhan, tapi tidak seorangpun tahu apakah Tuhan akan turun tangan menyelamatkan kita dari pandemi ini tanpa mengikuti arahan mereka yang berkompeten. Hidup dan mati memang urusan Tuhan, tetapi manusia diberi ruang untuk mengupayakan dengan akal Budi dan kewarasan nalarnya.

Rabu, 25 Maret 2020

MEMAHAMI KESIAPAN MENTAL ANAK SAAT MEMASUKI MASA REMAJA



Usia remaja adalah fase rawan dalam perkembangan mental anak. Memasuki masa remaja seorang anak memasuki masa pancaroba atau masa perubahan sikap dan perilaku yang sangat drastis. Masa ini biasa disebut masa badai, yaitu masa-masa di mana seorang anak mengalami guncangan mental yang sangat berat. Anak-anak yang kurang siap memasuki fase ini sering kali mengalami krisis jati diri yang membuat hari-hari mereka diliputi oleh kegalauan, sehingga mudah emosi, tersinggung, memberontak atau sebaliknya menutup diri, hingga melakukan hal-hal di luar nalar.
Tidak mengherankan bila sebagian anak kadang mengalami perubahan drastis, dari yang biasanya pendiam menjadi sangat aktif, tadinya betah di rumah menjadi gemar keluar, ceria menjadi pemurung, tenang menjadi pemarah, lembut menjadi kasar, penurut menjadi pemberontak dan sebagainya. Perubahan dari anak-anak menjadi remaja dan setengah dewasa mendorong anak mencari jati dirinya yang baru melalui berbagai cara, terutama melalui proses imitasi terhadap lingkungan. Kebanyakan anak mulai mengidolakan hal-hal di luar dirinya dan kebiasaan keluarganya, yang karenanya lingkungan terdekat sering kali menjadi penentu bentukan karakter anak pada masa selanjutnya.
Masa pancaroba dapat dilalui dengan “aman” bagi orang tua yang memiliki cukup waktu untuk tetap menjaga kedekatan dengan anak-anaknya, mendampingi dan mengarahkan anak di fase perubahan sikap dan perilaku tersebut. Anak-anak seperti ini biasanya tumbuh secara normal dan terus berkembang menjadi manusia dewasa yang minimal tanpa “membuat masalah” yang berarti, serta dapat meraih sukses seperti harapan orang tuanya.
Sumber:  Irfan TamwifiMasalahnya, tidak sedikit orang tua yang karena kesibukan dan berbagai alasan justeru semakin berjarak dari anak-anaknya. Banyak orang tua yang bahkan kehilangan kendali atas perkembangan sikap dan perilaku anak di masa pancaroba, sehingga anak tumbuh dengan sikap, perilaku dan orientasi yang jauh dari harapan orang tua. Selain itu, anak-anak dengan tiper kepribadian tertentu memang sudah mempunyai potensi untuk tumbuh di luar harapan orang tua. Mereka bahkan sudah dapat diidentifikasi sejak awal, yaitu di fase akhir masa anak-anak, terutama kelas V dan VI SD, yang secara umum dibedakan ke dalam beberapa kategori: Prestasi, Potensial, Rawan dan Labil.

1.      Prestasi
Termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak yang memiliki karakter kuat, yang ditandai dengan sikap mandiri, visioner, fokus di bidang akademik atau vokasional. Anak-anak seperti ini secara konstan biasanya berprestasi menonjol di sekolah, sejak kelas masuk sekolah sampai lulus sekolah. Pasang surut prestasinya tidak terlalu signifikan.
Anak-anak seperti ini bisa masuk sekolah jenis apa saja, baik sekolah konvensional, unggulan atau yang menyelenggarakan program khusus. Kesiapan mentalnya memungkinkan beradaptasi secara dinamis dengan tuntutan akademik dan vokasional di jenjang yang lebih tinggi.
2.      Potensial
Anak potensial adalah anak-anak yang sebenarnya memiliki prestasi rata-rata di sekolah, tetapi memiliki kesiapan mental yang cukup baik. Mereka adalah anak-anak yang sudah mandiri, paham dengan tugas perkembangannya dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan kecil kemungkinan akan terpangaruh sikap, perilaku dan perangai negatif.
Mereka anak-anak yang tahu diri untuk menjaga nama baik orang tua dan berusaha keras membuat orang tuanya bangga dengan prestasi-prestasinya, tetapi karena keterbatasan kemampuan berfikir bawaannya, membuat prestasi akademiknya hanya sampai pada level rata-rata. Meski demikian, mereka masih mempunyai peluang untuk berprestasi menonjol terutama di bidang-bidang non-akademis. 
3.      Rawan
Ini adalah kategori anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dari orang tua dan guru. Anak-anak tipe ini sebenarnya memiliki kemampuan akademis dan vokasional yang baik, tetapi kesiapan mentalnya belum memadai dalam memasuki masa remaja. Pola asuh dan lingkungan sosial yang kurang positif membuat mental anak rawan terpengaruh oleh hal-hal negatif dan merugikan.
Anak-anak tipe ini dapat berkembang menjadi anak potensial atau bahkan prestasi bila mampu melampaui masa remaja secara sehat. Sebaliknya, anak-anak seperti ini dapat berkembang menjadi anak labil bila pematangan mentalnya tidak terfasilitasi dengan baik.
4.      Labil
Anak tipe terakhir ini tidak selalu memiliki orientasi dan prestasi akademis rendah. Sangat boleh jadi sebagian dari mereka sebenarnya memiliki kecerdasan tinggi. Hanya saja karena pola asuh, kondisi keluarga atau trauma-trauma tertentu membuat mereka memiliki mental yang rapuh. Anak-anak korban perceraian, anak yang karena suatu alasan dititipkan pengasuhannya pada kakek-nenek atau orang lain, serta korban kekerasan adalah sebagian di antara anak-anak yang terkategori labil.
Anak-anak tipe ini membutuhkan pendampingan khusus agar mampu melewati masa remaja dengan mental yang kuat. Anak-anak tipe ini seharusnya belajar di sekolah yang mampu memberi perhatian lebih terhadap perkembangan mentalnya. Bila dimasukkan ke sekolah konvensional, mereka akan cenderung kurang mendapat perhatian sehingga dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif di sekitarnya. Pada kasus-kasus tertentu, anak-anak tipe ini dapat melakukan hal-hal tidak terduga baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Atas dasar itulah, pilihan jenjang pendidikan lanjutan untuk anak seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan karakteristik setiap anak. Untuk anak-anak tipe Prestasi dan Potensial dapat memilih sekolah manapun, meski tetap menuntut perhatian dan kedekatan lebih dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan masa remaja bagaimanapun merupakan fase rawan, masa badai, yang tak seorangpun mampu menduga apa yang akan terjadi dan dihadapi oleh anak-anak kita.
Khusus, untuk anak-anak tipe rawan, seyogyanya dimasukkan ke sekolah-sekolah yang memberikan pelayanan lebih (plus), yang umumnya adalah sekolah-sekolah swasta. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan mental mereka teradvokasi dengan baik, sehingga mereka mampu meraih masa depannya secara gemilang.

Selasa, 24 Maret 2020

MENDAMPINGI ANAK DI TENGAH DISTANSI SOSIAL

Mungkin sedikit terlambat menulis artikel ini, sebab gerakan Distansi Sosial sudah berjalan lebih dari seminggu, tapi tidak ada salahnya tips ini dibagikan, apalagi kapan tuntasnya penanganan wabah kali ini  masih sulit diprediksi. Sangat boleh jadi masyarakat masih harus bertahan di tengah situasi ini seminggu ke depan dan tidak menutup kemungkinan lebih panjang.
Yang pasti menjaga dan membantu anak belajar dan menghabiskan waktu di rumah bukanlah hal mudah. Lebih-lebih Distansi Sosial berbeda sama sekali dari hari libur. Distansi Sosial mengharuskan setiap orang dalam keluarga menghabiskan banyak waktu di rumah. Anggota keluarga, siapapun, termasuk ayah dan ibu, dihimbau untuk tidak keluar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang demi tidak terpapar ataupun menularkan virus pada orang lain.
Ya, Distansi Sosial tidak ubahnya membuat setiap orang menjadi semacam "tahanan rumah". Masyarakat hanya perlu merelakan sebagian kebebasannya dan tentu saja menderita pelambatan ekonomi demi tidak membuat pandemi ini semakin parah. 
Tidak hanya itu, masyarakat juga harus menanggung beban mengasuh dan mendidik sendiri anak-anaknya, tugas yang sebelumnya menjadi tugas sekolah atau lembaga-lembaga kursus. Hal ini tentu bukan hal mudah, mengingat mengajar anak-anak sendiri sering kali jauh lebih sulit dibanding anak orang lain.
Agar pandemi ini tidak semakin meluas, kita aman dari paparannya dan anak-anak dapat belajar dengan baik, berikut ini ada beberapa tips yang perlu dicoba.
1.  Tetap Tenang dan Menenangkan
Tetaplah tenang dan jangan panik, sebab kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Bosan, kesulitan ekonomi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari sudah pasti kita alami,. Meski demikian, kondisi ini jauh lebih baik dibanding mereka yang tertimpa musibah bencana alam atau keadaan rusuh akibat perang yang penuh ketidakpastian.
Anak-anak juga pasti tidak nyaman dengan situasi ini dan orang tuanyalah yang seharusnya mampu memberi ketenangan pada mereka. Tidak perlu menambah beban anak-anak kita dengan kepanikan orang tuanya. Jangan membuat anak-anak trauma dengan peristiwa ini.
2.  Hanya Dengarkan Pemerintah
Wabah ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi sudah mendunia. Banyak negara mengalaminya dan semua bisa dijelaskan secara sainstifik, ilmiah. Ini bukan kutukan atau azab Tuhan, tapi peristiwa biasa dalam sejarah manusia. Kita bersyukur karena penjelasan sains bisa membuat wabah ini diantisipasi secara cepat oleh dunia medis.
Karena itu, dengarkan dan ikuti pernyataan dan keputusan pemerintah saja dan hanya pemerintah, bukan yang lain. Merekalah satu-satunya pihak yang berkompeten dan layak dipercaya. Buang jauh-jauh berita, informasi, penjelasan ataupun broadcast  orang dan media sosial yang tidak jelas sumbernya dan dinyatakan oleh mereka yang tidak jelas kompetensinya. 
Bimbinglah anak-anak untuk selalu update dan peka terhadap informasi resmi dan terhindar dari informasi-informasi tidak jelas dan menyesatkan. Waspdalah, sebab di situasi seperti ini selalu saja ada orang-orang jahat yang berusaha memanfaatkan keadaan.
3.  Hindari Marah pada Anak
Mendampingi anak, apalagi ditambah harus membantu belajar di rumah membuat kita sering dihadapkan pada sikap dan perilaku anak yang tidak sesuai keinginan orang tua. Banyak hal yang bisa memancing kita untuk marah atau bersikap keras pada anak.
Dalam situasi semacam ini, sedapat mungkin orang tua tidak marah pada anak, sebab tidak memberikan keuntungan apapun bagi anak maupun orang tua sendiri. Marah pada anak pada dasarnya hanya memuaskan emosi orang tua dan sama sekali tidak membuat anak lebih baik. Kalaupun anak mengikuti kehendak orang tua, itu terjadi hanya karena rasa takut bukan karena kesadarannya. Kita harus marah dan marah lagi untuk memaksa anak, padahal itu sangat tidak nyaman buat orang tua maupun anak, bahkan semakin memperburuk suasana.
4.  Mengubah Cara Berkomunikasi
Di antara sisi positif dari peristiwa ini adalah, keluarga mempunyai momen untuk menjalin kedekatan seoptimal mungkin. Anak-anak umumnya lebih mudah dikendalikan dan terhindar dari pergaulan yang jauh dari harapan.
Orang tua perlu belajar berkomunikasi dengan anak, bukan semata-mata antara orang dewasa dan anak-anak, tetapi sebagai tim dan partner yang solid dalam beraktivitas bersama. Inilah momentum yang tepat memulai relasi yang baru dalam keluarga, yang mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya musibah ini.
Ini adalah saat-saat yang tepat untuk mengajarkan life skill dan tanggung jawab mereka pada keluarga. Berbagai life skill seperti mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah adalah kecakapan penting yang sering terlewatkan untuk diajarkan pada anak-anak jaman ini.
5.  Belajar Online
Mengajarkan materi pelajaran saat ini bukanlah hal mudah bagi orang tua, sebab cakupan dan kerumitannya berbeda dari pelajaran jaman dulu. Selain itu, perjalanan waktu membuat banyak materi pelajaran yang orang tua sudah tidak mengingatnya lagi.
Meski demikian tidak perlu khawatir, karena belajar di era digital jauh lebih mudah dibanding era manual. Semua materi pelajaran ada di internet berikut penjelasannya. Orang tua bersama anak tinggal googling dan browsing untuk dipelajari bersama-sama. Inilah saatnya merasakan manfaat gadget bukan hanya untuk bermain medsos dan game, tapi untuk belajar.
Sudah pasti orang tua harus mengubah kebiasaan, dari yang selama ini pasrah pada guru sekolah atau guru les menjadi harus terlibat sendiri. Menjadi guru dadakan tentu sedikit tidak nyaman, tetapi akan terasa asyik bila kita berusaha menikmatinya.
Semoga bermanfaat.




Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...