Minggu, 24 November 2019

MEMAHAMI "POLIGAMI" DAN "POLIANDRI", SEBUAH REFLEKSI

Dari dulu saya termasuk orang yang tidak setuju dengan poligami ataupun sebaliknya, poliandri. Menurut saya, waktu itu, poligami merupakan sebuah praktik ketidakadilan dalam menjalin relasi bersama pasangan. Apalagi bila dihadapkan pada perubahan sosial dan kebudayaan era modern, yang menempatkan manusia sebagai individu mandiri, otonom, menjadikan poligami sebagai praktik yang sudah sewajarnya ditinggalkan.
Seiring berjalannya waktu, dan tentu saja pengalaman berumah tangga, saya bisa memahami mengapa ada orang-orang yang pada akhirnya memilih menjalankan poligami atau poliandri. Dalam hal ini saya memahami poligami bukan dalam konteks normatif ataupun keagamaan, juga tidak selalu berkonotasi dengan pernikahan. Poligami saya pahami dalam konteks menjalin relasi dengan selain pasangan pertama. Maaf, mungkin keluar dari pemahaman mainstream apalagi keagamaan, bagi saya poligami tidak ubahnya sebuah bentuk "ketidaksetiaan" pada satu pasangan, sehingga, dalam konteks ini, memiliki istri kedua, ketiga dan seterusnya, secara legal ataupun ilegal (sirri), serta bisa pula relasi pria dan wanita dalam konotasi negatif, seperti perselingkuhan atau prostitusi, saya masukkan ke dalamnya. 
Seabsah dan sebaik apapun orang berpoligami atau berpoliandri, pada dasarnya tetap melukai batin pasangan yang diduakan. Sebagian dapat menutupi luka itu dengan justifikasi, meminjam istilah Bourdieu, dalam bentuk penindasan simbolik, yaitu mengubah luka menjadi kebanggaan, kebaikan dan kemulyaan atas nama-nilai-nilai agama atau budaya tertentu. Sementara mereka yang tidak memegang justifikasi penindasan simbolik menyisakan luka terpendam, masalah relasi dengan pasangan pertamanya hingga perpisahan.
Atas dasar itulah, saya memahami poligami sebagai sebuah bentuk kegagalan dalam mempertahankan relasi suami-istri dalam pernikahan. Ya, kegagalan, mengingat pilihan melakukan poligami ataupun poliandri memperlihatkan ketidakmampuan pasangan mempertahankan harmoni dan romantisme relasi pernikahan. Akibatnya, ada fungsi-fungsi pernikahan yang terkikis, hilang dan, sayangnya, membutuhkan orang ketiga untuk melengkapinya. Di antara fungsi-fungsi dimaksud meliputi (1) kenyamanan dalam menjalin relasi, (2) kebutuhan akan romantisme, serta (3) kebutuhan akan seksualitas.
Indah-tidaknya pernikahan bukan dinilai berdasarkan padangan orang lain atas sebuah pasangan, tetapi pada apa yang dirasakan oleh salah satu atau keduanya. Seiring waktu dan dinamika dalam menjalin hubungan, pasangan dapat merasakan seberapa cocok mereka sebenarnya, seberapa bahagia keduanya, serta seberapa kuat relasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk kesetiaan. Sangat boleh jadi kedua belah pihak sebenarnya menemukan banyak ketidakcocokan, terlukai oleh pasangan, hilangnya harmoni dan romantisme, serta hilangnya relasi seksual, tetapi memilih bertahan demi alasan-alasan tertentu, sehingga terbuka ruang kosong yang harus diisi oleh orang ketiga. 

Bagi mereka yang 

Kamis, 30 Mei 2019

KEBANGKITAN KEMBALI NAHDLATUL ULAMA


Sebagai komunitas muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) akhir-akhir ini kembali dihadapkan pada pertarungan wacana (ghozwul fikr) yang keras dengan berbagai ormas dan gerakan yang mengusung paham-paham keislaman yang beragam. Hadirnya wacana Islam Nusantara merupakan salah satu upaya NU dalam pertarungan tersebut. Islam Nusantara pada dasarnya merupakan upaya NU untuk turut mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan corak keislaman a’la nahdliyyah, yang di antara ajarannya dikemas dalam manhaj ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja).
“Kompetitor” NU sebenarnya tidak terlalu banyak dibanding jumlah nahdliyyin baik secara jam’iyyah maupun jama’ah, tapi gaungnya terkesan jauh lebih besar dan lebih berasa. Kecanggihan para “kompetiror” NU bahkan mampu membuat banyak nahdliyyin tidak sepakat dengan gerakan yang diusung oleh PBNU tersebut. Karena itu diperlukan pencanggihan ikhtiar kalangan nahdliyyin agar harapan para pendiri NU benar-benar memberi warna bagi kemajuan bangsa ini.
Dinamika Kontemporer
Merebaknya terorisme, radikalisme dan kekerasan atas nama agama (Islam) akhir-akhir ini mematik beragam respon, mulai dari yang konon disebut sebagai Islamo-phobia, apresiasi terhadap Islam hingga tuntutan rekonseptualisasi peran Islam dalam kehidupan kekinian. Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, akhir-akhir ini bukan disibukkan oleh kekhawatiran atas dominasi tradisi sekuler (Barat) atau kecenderungan komunis dan atheisme, tapi oleh problematika klasik di antara umat Islam sendiri. Dunia Islam justru “direpotkan” oleh menguatnya paham-paham radikal yang potensial besar membuahkan kekerasan, teror bahkan perang sesama muslim.
Gejala serupa juga terjadi di Indonesia, di mana radikalisme tumbuh subur di berbagai lini dan hampir-hampir mendominasi setiap sudut ruang publik. Suara-suara Islam yang sebelumnya penuh damai dan sarat edukasi tenggelam oleh wacana-wacana yang mengancam kedamaian serta masa depan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bangsa dan umat yang susah payah dipersatukan tiba-tiba terseret ke dalam suasana permusuhan meski masih sebatas wacana dan ujaran-ujaran kebencian.
Rendahnya kenegarawanan para politisi membuat situasi ini semakin memanas, sebab kaum radikal adalah “aset politis” yang secara mutual sering dimanfaatkan untuk menggerakkan dukungan politik. Besarnya militansi, kuatnya jaringan, kepintaran memainkan media massa dan media sosial, serta kecanggihan memainkan hoax mampu mengubah persepsi masyarakat tentang pilihan politiknya, sekaligus menyepakai pemikiran dan cara-cara mereka dalam beragama.
Muara akhir mereka sangat jelas, yaitu mengambil alih kendali politik dan pemerintahan, untuk kemudian mengubah arah kebijakan sosial, ekonomi, politik bahkan agama sesuai kehendaknya. Setelah gerakan teror gagal menarik simpati umat Islam, mereka berusaha menggoyang sendi-sendi kehidupan sosial politik dan kebangsaan melalui kampanye yang sangat massive. Mereka memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk mewujudkan ambisinya, mulai organisasi massa dengan struktur dan sistem yang kuat, media massa, media sosial, serta lembaga-lembaga sosial dan pendidikan.
Pengalaman naif umat Islam di Irak, Suriah dan Libya telah membuka mata banyak penguasa muslim untuk mengubah haluan. Bukan hanya haluan politik, banyak pemerintahan di negara-negara muslim kembali membangun wacana tentang Islam yang toleran. Arab Saudi yang sebelumnya sangat getol mengkampanyekan paham wahabi berusaha mengubah arah kebijakannya tentang Islam. Tidak sedikit negara muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan yang belajar pada Indonesia, terutama NU, dan berupaya mengembangkan tradisi keagamaan serupa di negaranya.
Mengapa NU?
“Kebangkitan” kembali NU akhir-akhir ini adalah momentum penting dalam mereduksi menguatnya radikalisme di Indonesia. Di antara berbagai elemen bangsa ini, kekuatan yang paling mungkin membendung laju gerakan radikal dan destruktif bagi bangsa ini adalah NU.
Hal ini dikarenakan “the nature” NU adalah gerakan Islam yang berbeda dari gerakan Islam manapun di negeri ini. Sejak awal berdirinya, NU adalah gerakan yang “melawan arus” (khariqul ‘adah) sejarah. Hampir semua gerakan politik dan keagamaan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan berkiblat ke Eropa dan Timur Tengah. Kaum nasionalis, sosialis, komunis, dan modernis berdiri dengan membawa paham atau minimal diinspirasi oleh paham dan pemikiran yang berkembang di Barat dan Timur Tengah. Hal ini berbeda dari NU yang justru dengan bangga mengusung paham, pemikiran dan tradisi keagamaan yang sudah mendarah-daging di nusantara.
Islam memang dari Timur Tengah, tetapi di Indonesia sudah menjadi kekayaan lokal (local wisdom) hingga menampilkan keunikan dan berbagai kekhasan tradisi keagamaan. Tradisi-tradisi tersebut banyak yang tidak dikenal di tanah kelahiran Islam, Arab maupun kawasan lain, tetapi diterima sebagai  bagian dari kehidupan umat Islam di nusantara.
Ini menjadikan NU sejak awal sudah lebih nasionalis dibanding mereka yang berpaham nasionalis. Nasionalisme NU bukan sebagai doktrin yang diajarkan secara verbal dan doktriner melalui pelatihan-pelatihan. Bila nasionalisme diibaratkan rasa cinta, nasionalisme NU bukanlah cinta yang didengungkan lewat syair dan lagu, tetapi cinta yang melampaui semua kata-kata. Tokoh-tokoh nasionalis pada umumnya bangga memakai busana modern, tapi tokoh-tokoh NU periode awal tidak canggung berbusana khas pesantren meski berada di forum-forum internasional. Mereka begitu lekat dengan berbagai khazanah kebangsaannya sendiri dibanding yang datang dari luar.
Sebagai entitas sosial berbasis local wisdom, NU memiliki kematangan politik lebih di atas entitas lain di negeri ini. NU merupakan ormas dan gerakan yang mewarisi kultur masyarakat nusantara yang toleran karena lekat dengan tradisi tawasuth dan tawazun. Kematangan itulah yang mengantarkan NU menjadi entitas politik yang paling mudah menjalin kerjasama di masa demokrasi konstitusional (liberal). Sebelum NU terjun langsung ke arena politik secara mandiri, pembentukan pemerintahan selalu berlangsung alot dan kalaupun berhasil terbentuk, pada umumnya kabinet tidak bertahan lama. Berbeda halnya ketika NU berdiri menjadi partai politik, pembentukan pemerintahan sangat mudah dilakukan dan bertahan lama.
Keluarnya NU dari politik pada kurun awal Orde Baru menjadi langkah cerdas dan bijak (strategis) di tengah berbagai perubahan politik pada era-era sesudahnya. NU dapat berperan sebagai kekuatan civil society yang sangat berpengaruh di negeri ini. Bahkan sejarah mencatat bahwa berakhirnya Orde Baru pada dasarnya tidak lepas dari kontribusi NU, meski penyelesaian akhirnya ada di tangan para politisi.
Akhir-akhir ini kontribusi NU kembali dibutuhkan di tengah munculnya berbagai ancaman konflik dan perpecahan yang mengatasnamakan agama. Sebagai ormas dan gerakan, yang menurut para pengamat disebut asosiasi tradisi, NU merupakan ormas yang mempunyai pengalaman dan kemampuan mengelola perbedaan dan menghindari konflik. Cita rasa Islam Indonesia yang dikenal toleran oleh masyarakat dunia pada dasarnya dikarenakan Islam yang dominan di negeri ini adalah Islam khas an-nahdliyah, meski secara formal bukan jama’ah NU. Ini menjadikan NU punya potensi besar untuk dikokohkan sebagai mainstream keislaman di negeri ini dan seluruh dunia yang mampu menjamin berlangsungnya relasi kemanusiaan yang pluralism.
Menuju Kekuatan Baru
Modalitas NU yang sedemikian kuat tidak ada artinya bila tidak disertai dengan penataan kekuatan organisatoris yang baik. Apalagi berbagai kelebihan NU tersebut bukan tidak ada kelemahan, dan di antara kelemahan yang paling mendasar terletak pada kekuatan organisasinya. Akibatnya gerakan-gerakan NU relatif kurang tersistem, kurang terstruktur dan terkesan insidental. Sebagaimana pengalaman berhadapan dengan PKI, NU baru bergerak ketika situasi benar-benar menuntutnya untuk bergerak.
Hal ini tentu kurang menguntungkan, mengingat NU pada dasarnya merupakan “sasaran tembak” semua kekuatan Islam baru di negeri ini. Bahkan sejak era pergerakan nasional, gerakan-gerakan Islam yang berkembang sejak masa itu menjadikan NU sebagai sasaran kritik, sasaran dakwah yang harus mereka taubatkan. Sampai saat inipun tradisi NU masih sering menjadi sasaran kritik dan cemoohan dan relatif tanpa perlawanan. Meski tidak mudah, generasi-generasi NU seharusnya diajarkan menyatukan pandangan sehingga mampu menangkal gerakan-gerakan serupa menyasar nahdliyyin.
Generasi-generasi muda NU perlu diarahkan untuk membangun wacana dan tradisi yang mudah diterima berbagai kalangan, terutama menjangkau kelas menengah. Sangat boleh jadi, kalangan muda NU melakukan rebranding terhadap ajaran dan nilai-nilai aswaja sehingga lebih mudah dipahami dan diterima masyarakat yang selama ini di luar cakupan NU.
NU juga perlu mengisi lini-lini perjuangan di luar mengelola madrasah, pesantren dan perguruan tinggi agama. Hal ini dikarenakan mayoritas posisi-posisi strategis di berbagai instansi pemerintahan dan perusahaan didominasi lulusan sekolah umum, kejuruan dan perguruan tinggi umum. Merekalah yang nantinya mengisi kelas menengah di negeri ini, yang suaranya menggema di seantero negeri.
Ikhtitam
Ditetapkannya hari santri merupakan momentum berharga bagi NU sebab ini menyangkut eksistensi NU dan kelangsungan Islam a’la ahlus sunnah wal jama’ah. Hari santri tak seharusnya hanya menjadi momentum ceremonial yang tak bermakna. Seharusnya momentum ini menjadi tonggak penyadaran bagi nahdliyyin dan terutama kalangan mudanya untuk mengenali peluang dan tantangan yang dihadapi, serta meningkatkan kapasitasnya sehingga mampu berkontribusi lebih besar dalam mengatasi berbagai tantangan bangsa ini.

Senin, 30 Oktober 2017

KETERBUKAAN ITU SUSAH, TAPI INDAH

Kejujuran dan keterbukaan merupakan kunci keberhasilan, dan jalan terlapang untuk menyelesaikan setiap masalah masalah. Kejujuran dan keterbukaan memungkinkan setiap masalah diurai dengan jelas, hingga mudah dipahami dan dicarikan solusi. Seperti halnya kerja dokter, kejujuran dan kejelasan penyakit memungkinkan dokter memberikan terapi atau tindakan untuk menyembuhkannya. 

Masalahnya, kejujuran dan keterbukaan ternyata bukan hal mudah untuk dilakukan. Hambatan utama kejujuran dan keterbukaan adalah ego manusia sendiri. Tak semua orang mampu, tak siap atau tak berani jujur dan terbuka. 

Seseorang akan memilih memilih berbohong, menutup-tutupi, menyamarkan suatu kenyataan demi menyelamatkan egonya sendiri. Ego manusia membuatnya resisten terhadap hal-hal yang membuatnya malu,turun harga diri, dimarahi, dihukum, dibenci atau bahkan dimusuhi.

Yang paling menyedihkan adalah seringnya kejujuran dan keterbukaan dihindari demi meraih keuntungan. Banyak orang menggunakan kebohongan dan ketertutupan semi meraup keuntungan untuk dirinya sendiri. Padahal akibat yang harus ditanggung biasanya jauh lebih besar ketika kebohongan dan hal-hal yang selalu ditutupi terbongkar di hadapan orang lain.

Selain itu, kejujuran dan keterbukaan sulit dilakukan karena tak semua orang siap menerima kejujuran orang lain. Kejujuran seseorang tidak jarang justeru direspon secara positif. Keterbukaan tidak jarang direspon dengan kemarahan, penghinaan, kekecewaan, sakit hati, bahkan permusuhan, sama dengan yang dikhawatirkan oleh orang yang memilih tidak jujur.

Pasangan yang secara jujur mengakui masih mencintai atau bahkan menjalin hubungan spesial dengan orang lain, pada umumnya direspon dengan amarah, sakit hati, atau bahkan lebih buruk lagi. Rasa shok, sedih, atau kecewa adalah reaksi manusiawi, tetapi luapan emosional tidak seharusnya dibiarkan mendominasi. Larut dalam tekanan emosi seperti itu tidak memberikan solusi, bahkan sering kali hanya memperburuk keadaan.

Apapun adanya, kejujuran dan keterbukaan seharusnya dihargai. Apapun adanya, buah dari kejujuran dan keterbukaan memberikan kejelasan duduk permasalahan yang sebenarnya. Kejelasan masalah merupakan jalan lapang bagi seseorang untuk mengambil sikap dan tindakan terbaik. 

Kejelasan masalah memang tidak seketika membuat semua menjadi mudah, tetapi setidaknya sudah membawa seseorang keluar dari ketidakpastian dan melangkah pasti.

Jumat, 17 Juni 2016

10 PROBLEM UMUM BELAJAR ANAK

Oleh:  Irfan Tamwifi

Pembelajaran efektif merupakan dambaan setiap guru dan sekolah, tetapi mewujudkannya tidak selalu mudah dilakukan. Berbagai hambatan dihadapi guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Selain karena faktor instrumental, seperti kurikulum, guru dan infrastruktur, pembelajaran yang tidak dapat diabaikan adalah yang terletak pada diri peserta didik. Ibarat memasak suatu masakan atau memproduksi suatu produk, efektif tidaknya pencapaian hasil belajar juga ditentukan oleh bahan yang akan dimasak atau bahan baku produksinya. 
Meskipun demikian, sebagian problem belajar yang terletak pada peserta didik pada dasarnya dapat diupayakan untuk dikembangkan, baik secara sendirian, bersama sekolah, wali murid maupun pihak lain seperti konselor. Bahkan tugas pertama guru pada dasarnya adalah mempersiapkan peserta didik agar siap mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu memahami problem-problem umum yang biasa menghambat proses belajar anak. Di antara problem tersebut adalah sebagai berikut.
1.   Minat Belajar
Problem paling umum belajar anak terletak pada rendahnya minat belajar. Belajar sering kali dijalani peserta didik sebagai ritual, aktivitas rutin, dan bukan atas kehendak, keinginan atau inisiatifnya sendiri. Rendahnya minat belajar mengakibatkan proses belajar hanya akan menjadi kegiatan yang kurang bermakna, dan dijalani sambil lalu.
2.   Kemauan Belajar
Belajar merupakan proses yang membutuhkan usaha yang keras. Belajar merupakan proses di mana seseorang melakukan suatu aktivitas mental hingga memperoleh suatu pengetahuan atau keahlian tertentu. Proses yang membutuhkan usaha dengan sendirinya tidak selalu mudah untuk dijalani. Meski demikian, setiap peserta didik yang kondisi mentalnya normal pada dasarnya mampu mempelajari seluruh materi pembelajaran dengan maksimal. Yang membedakan hasil belajar peserta didik satu dari yang lain pada umumnya terletak pada perbedaan kemauan untuk menempuh proses belajar dengan segala beban dan kesulitan di dalamnya. 
3.   Kemandirian Belajar
Pada dasarnya setiap manusia dapat belajar sendiri dari berbagai sumber. Hanya saja, kebanyakan anak cenderung ketergantungan pada guru, sekolah atau orang tuanya. Pada banyak kasus, hambatan belajar terjadi akibat ketergantungan tersebut, padahal seharusnya mereka dapat melakukan proses itu secara mandiri. Banyak anak yang lebih suka disuapi dibanding mengeksplorasi sendiri beragam pengetahuan dan keahlian di sekelilingnya, meskipun internet, media massa dan buku-buku mudah diakses. Ketidakmandirian belajar sering kali menjadi penyebab tidak optimalnya proses belajar yang dilalui peserta didik. Padahal semakin mandiri seorang anak, maka semakin cepat mereka mencapai tujuan belajar.
4.   Kesadaran dan Tanggung Jawab
Seharusnya belajar merupakan kebutuhan setiap individu agar berkembang kemampuannya baik aspek kognitif maupun vokasionnalnya. Hanya saja, tidak semua anak memiliki kesiapan untuk belajar untuk dirinya sendiri. Banyak anak yang tidak merasa butuh untuk belajar. Ketergantungan anak pada orang lain, seperti keluarga dan lingkungan menjadikan belajar sering kali bukan bermakna sebagai kebutuhan diri sendiri, melainkan orang lain, terutama orang tua dan guru.
5.   Mental dan Kepribadian
Anak-anak dengan kondisi mental dan kepribadian tertentu cenderung tidak mudah untuk mengikuti proses pembelajaran secara efektif. Kondisi mental dan kepribadian tersebut tercermin dalam sikap dan perilaku anak dalam mengikuti proses pembelajaran. Anak-anak dengan mentalitas manja, liar, tidak tenang, kesulitan memfokuskan perhatian membutuhkan tenaga ekstra untuk mengantarkan mereka mencapai hasil belajar yang memadai.
6.   Kesiapan Mental
Belajar membutuhkan fokus perhatian secara optimal. Pembelajaran efektif membutuhkan kesiapan mental anak untuk menghadapi dan berproses di kelas. Sering dijumpai anak-anak yang secara fisik di kelas, tetapi sangat boleh jadi hati dan pikirannya berada di tempat lain. Kesiapan mental sangat penting diperhatikan dalam proses pembelajaran, agar hal-hal di luar tujuan pembelajaran dieliminasi sehingga anak lebih fokus pada proses belajar.
7.   Kecerdasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembelajaran, terutama dalam bidang-bidang kognitif membutuhkan tingkat kecerdasan tertentu. Anak-anak dengan tingkat kecerdasan rendah, apalagi sampai taraf disleksia misalnya, akan menyulitkan guru dalam mengantarkan mereka pada hasil belajar yang optimal. Kecerdasan seorang anak mempengaruhi kemampuan mereka dalam merekam informasi, memahami, apalagi mengimplementasikan konsep atau pengetahuan.
8.  Gaya Belajar
Pembelajaran ideal sering menuntut guru untuk menyesuaikan pendekatan pembelajarannya dengan gaya belajar peserta didik. Masalahnya, di kelas yang peserta didiknya memiliki gaya belajar beragam pada umumnya menyulitkan guru mencapai hasil pembelajaran secara optimal. Mengikuti gaya belajar sekelompok anak berpotensi merugikan anak yang lain, 
9.  Lingkungan Belajar
Aspek krusial yang sering kali diabaikan dalam pengelolaan belajar adalah budaya belajar di suatu sekolah. Budaya sekolah yang tidak terkonsep atau terlanjur diliputi oleh sikap, perilaku dan kebiasaan yang tidak kondusif cenderung sulit mengarahkan peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan. 
10.  Lingkungan Sosial
Pembelajaran di sekolah pada dasarnya bukan proses yang berdiri sendiri. Secara tidak langsung, lingkungan di mana peserta didik tinggal dan bersosialisasi menentukan seberapa efektif mereka belajar di sekolah. Anak-anak yang bergaul dengan anak-anak yang malas belajar, akan cenderung demikian ketika di sekolah. Anak-anak di keluarga yang menekankan pentingnya belajar dan tidak juga menentukan bagaimana mereka belajar saat di sekolah. 

Senin, 13 Juni 2016

3 DAMPAK RENDAH DIRI PADA REMAJA

Oleh:  Irfan Tamwifi

Berbeda dari masa anak-anak yang umumnya bebas berekspresi, banyak anak yang berubah menjadi lebih tertutup, pendiam dan pasif saat memasuki masa remaja. Di satu sisi hal ini terjadi dikarenakan mulai tumbuhnya kesadaran mengenai normal dan nilai, tetapi di sisi lain perubahan tersebut sering kali terjadi akibat berkembangnya perasaan kurang percaya diri. 
Kesadaran atas nilai dan norma merupakan hal yang wajar dan seharusnya terjadi, tetapi akan menjadi masalah yang merugikan bilamana perubahan terjadi karena penurunan kepercayaan diri. Ironisnya, penurunan kepercayaan diri sering kali menjadi problem kejiwaan paling merugikan yang dialami anak saat memasuki masa remaja. Di antara kerugian anak yang rendah diri adalah: 
1.   Gagal Mengeksplorasi Diri
Setiap manusia pasti memiliki potensi-potensi mental dan fisik yang bilamana digali dan dilatih secara  optimal akan mengantarkannya meraih sukses. Hanya saja, rendahnya kepercayaan diri dapat mengakibatkan anak kehilangan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai potensi dirinya. Anak yang kurang percaya diri cenderung menarik diri dari arena pertaruangan dan menutup peluang untuk mengembangkan berbagai potensi diri mereka. 
Dengan kata lain, rendahnya kepercayaan diri membuat anak kalah sebelum bertanding. Padahal bila anak memiliki kesempatan untuk berkembang secara optimal, sangat boleh jadi mereka dapat bersaing dengan anak-anak yang kepercayaan dirinya lebih tinggi.
Dalam banyak kasus, anak-anak yang sukses tidak selalu berasal dari anak yang potensi dirinya lebih baik dibanding anak-anak yang gagal. Mereka yang berhasil meraih posisi-posisi prestisius seperti menjadi aparat pemerintahan, menjadi guru, dosen, atau profesi-profesi menterang lainnya, tidak selalu memiliki potensi kecerdasan lebih dari yang lain. Banyak di antara orang-orang yang sukses meraih karier yang mapan dalam hidupnya lebih dikarenakan modal keberanian dan kepercayaan diri dibanding kemampuan bawaan.
2.   Melemahkan Semangat Juang
Tidak salah bila para pakar kesuksesan berkeyakinan bahwa modal utama kesuksesan hidup lebih ditentukan oleh kekuatan mental dibanding kecerdasan, keahlian dan kompetensi teknis lainnya. Kesuksesan lebih ditentukan oleh kekuatan mental seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Kekuatan tersebut berupa keyakinan diri atau kepercayaan diri, keberanian, kekuatan kemauan dan semangat juang seseorang dalam meraih sukses.Kemampuan kerja memang tidak selalu dapat dipelajari dengan mudah, tetapi kekuatan kemauan memungkinkan seseorang belajar dan meraih sukses. 
Rendahnya kepercayaan diri dengan sendirinya akan menghambat kekuatan mental seseorang untuk mengalahkan tantangan sejati dalam meraih sukses. Tantangan sejati dalam meraih sukses yang pertama dan terutama adalah mengalahkan kelemahan diri sendiri. Seseorang tidak akan mampu mengalahkan orang lain, bila dalam dirinya tidak ada kepercayaan diri.
Ibarat menghadapi pertempuran, orang yang tidak percaya diri bukan berarti tidak lebih terampil dalam bermain senjata dengan lawan, tetapi orang yang tidak punya nyali untuk bertempur. Tidak adanya nyali akan dengan mudah meruntuhkan semangat juangnya dan pada gilirannya akan dengan mudah dikalahkan oleh lawan.
3.   Memperkokoh Ketidakmampuan
Ketidakpercayaan diri cenderung membuat anak menarik diri dari percaturan hidup. Menarik diri dari percaturan hidup sama artinya dengan menutup diri, menutup jalan menuju sukses. Anak remaja yang rendah diri akan diliputi oleh perasaan kalah, bahkan sebelum pertandingan dimulai, yang pada gilirannya akan membuat mereka memilih untuk tidak bertanding.
Masalahnya, ketidakpercayaan diri sering kali tidak begitu jelas dialami oleh setiap remaja. Tingginya ego, perasaan lemah dan berbagai alasan membuat perasaan rendah diri sering diekspresikan secara berbeda-beda oleh setiap anak. Sebagian mengekspresikan perasaan rendah diri dengan cara menarik diri, menutup diri, dan membatasi diri untuk berkembang, sedangkan sebagian remaja lain cenderung mengekspresikan rasa rendah diri dengan cara sebaliknya. 
Dalam keseharian dapat dijumpai remaja yang terlihat pemberani, ugal-ugalan, dan agresif, meski pada dasarnya sikap dan perilaku tersebut sebenarnya bukan dikarenakan kepercayaan diri yang tinggi, melainkan sebaliknya. Banyak remaja yang berpakaian atau berdandan aneh-aneh, besikap arogan atau bahkan agresif bukan karena percaya diri, tetapi pada dasarnya justeru terjadi akibat ketidakpercayaan diri. Mereka berusaha menutupi ketidakpercayaan dirjnya dengan cara seolah-olah percaya diri.
Ketidakpercayaan diri baik yang diekspresikan dengan sikap dan perilaku tertutup maupun agresif pada dasarnya hanya memperkokoh ketidakmampuan diri anak. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkembang secara positif karena sikap dan perilaku anak yang tidak percaya diri  cenderung menjauhkan mereka dari kesempatan untuk belajar secara wajar dan terstruktur.

Sabtu, 31 Oktober 2015

PENYEBAB KEGAGALAN KURIKULUM DI INDONESIA

Beberapa tahun sejak reformasi 1998,  dunia pendidikan di Indonesia marak dengan perubahan demi perubahan kurikulum, mulai dari KBK, KTSP, KTSP Berkarakter, K13, dan KTSP/K13 sekarang. Pada setiap sesi awal dari kegiatan sosialisasi atau pelatihan kurikulum para trainer selalu menekankan bahwa perubahan adalah sesuatu yang pasti, tetapi harus diakui bahwa itu hanya upaya "ngeles" demi menutupi  kegalauan mereka sendiri. 
Siapapun pasti tahu bahwa perubahan kurikulum yang sedemikian sering bukanlah hal wajar di negeri normal manapun. Perubahan-perubahan tersebut memperlihatkan adanya sesuatu yang salah dalam penentuan arah kebijakan pendidikan di negeri ini. Di antara beberapa faktor yang disinyalir memiliki andil terhadap kegagalan tersebut adalah sebagai beriku.
1.   Kegagalan Grand Designing
Sebagai sebuah negara besar, Indonesia seharusnya memiliki peta jalan (road map) yang jelas dalam menentukan arah kebijakan pendidikan nasional. Faktanya, setiap pendidikan di Indonesia justeru dibuat apriori oleh ketidakjelasan arah kebijakan nasional. Tidak seorangpun di kalangan pendidikan mulai jenjang terbawah hingga perguruan tinggi yang tahu akan ada perubahan apa lagi, apa yang harus dipersiapkan, dan akan ke mana  lagi dalam mengelola pendidikan di lapangan. Hal ini dikarenakan tidak ada road map yang benar-benar dapat mereka pegang sebagai peta jalan. Guru dan dosen tak ubahnya kuda penarik pedati yang hanya dapat menunggu instruksi selanjutnya. karena semua kebijakan hanyalah sementara.
2.   Kurikulum Trial and Error
Perubahan kurikulum bahkan selalu dilakukan saat kebijakan kurikulum sebelumnya belum benar-benar berjalan. KBK sudah diganti KTSP saat kurikulum tersebut benar-benar terlaksana, demikian halnya dengan kurikulum berikutnya. Perubahan kurikulum semacam ini memperlihatkan betapa kebijakan kurikulum nasional selama ini masih bersifat coba-coba (trial and error).   
Tidak salah kiranya bila dinyatakan bahwa warisan paling menonjol Orde Baru di dunia pendidikan yang terus dilestarikan adalah "Ganti menteri, ganti kurikulum". Setiap menteri bersama jajarannya selalu berambisi membangun "monumen sejarahnya" sendiri dengan cara mengubah kurikulum. Hal ini memperlihatkan betapa pendidikan nasional telah menjadi korban kepentingan segelintir orang, yang menjadikan perubahan kebijakan pendidikan tak ubahnya perubahan demi perubahan politik yang berlangsung cepat dan tanpa arah. 
3.   Konsep Bombastis 
Dari segi isi atau substansi, kegagalan kurikulum baru di Indonesia sudah terlihat dari konsep kurikulum yang diusung. Kurikulum pendidikan seharusnya merupakan konsep yang realistis dan dapat dengan mudah diterapkan (applicabel). Faktanya, perubahan kurikulum selalu mengusung konsep-konsep bombastis dengan target yang terlalu melangit (baca: muluk-muluk). Hal ini terlihat dari tuntutan kompetensi yang menjangkau kompetensi spiritualitas, konsep utopis yang hanya ada di negeri ini.
Sekalipun tidak ada hal mustahil untuk diwujudkan, tetapi kurikulum adalah konsep yang harus dapat diterapkan. Banyaknya muatan kurikulum di negeri ini sepertinya luput dari perhatian para perancang kurikulum yang entah dari planet mana asalnya. Mereka sepertinya terlalu banyak mendongak ke awang-awang, dan lupa betapa negeri ini sebenarnya kaya akan khazanah pendidikan yang seharusnya diapresiasi. Akibatnya, perubahan kurikulum menjadi tidak aplikabel. Padahal konsep kurikulum seharusnya realistis, dalam arti disesuaikan dengan muatan apa yang harus diajarkan, pada siapa diajarkan dan siapa yang akan menerapkannya. Itu sebab itu wajar bila banyak guru kesulitan menerapkannya. Selain kompetensinya begitu beragam, para perancang kurikulumnya sendiri belum tentu dapat menerapkan.
4.   Minus Contoh
Sebagai sebuah sistem yang aplikatif, penerapan sebuah kebijakan kurikulum seharusnya dimulai dengan membuat suatu proto type agar profil kurikulum benar-benar memiliki gambaran jelas dan konkrit. Kehadiran contoh konkrit akan memudahkan guru dan sekolah untuk melakukan proses belajar dan menyesuaikan diri, bahkan bila perlu tanpa perlu terlalu banyak forum pelatihan. 
Ironisnya, semua perubahan kurikulum dilakukan dengan menyajikan konsep-konsep abstrak. Pada dasarnya, baik trainer, guru peserta pelatihan, bahkan pembuatnya sendiri tidak tahu wujud nyata dari penerapan kurikulum itu di lapangan. Pemerintah hanya menggiring guru dan sekolah ke tempat impian yang sebenarnya sama-sama tidak jelas wujud dan bentuknya.
Sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah yang menjadi percontohan tidak lebih dari sekedar "proyek kosong" karena sifatnya yang formalistis. Satuan-satuan pendidikan itu hanyalah sekolah yang secara kebetulan ditunjuk oleh pemerintah serta diberi berbagai fasilitas dan pelatihan. Faktanya di lapangan, tidak ada yang benar-benar layak dicontoh. Kecuali dalam hal administratif dan hal-hal formalistis, profil dan pola pengelolaan pembelajaran di sekolah-sekolah contoh tak jauh berbeda dari yang tanpa fasilitas itu. Bila ditanya, sekolah mana yang 100% menerapkannya dan benar-benar layak dijadikan contoh, maka menteri pendidikan sekalipun belum tentu dapat menjawabnya.
5.   Kegagalan Sistem Pelatihan
Perubahan kurikulum pada dasarnya belum lebih dari sekedar "proyek" pelatihan yang memakan biaya milyaran rupiah. Keberhasilan proyek tersebut mulai dari perencanaan hingga evaluasi hanya ada di atas kertas, tetapi tidak secara signifikan mengubah keadaan di lapangan. 
Apalagi para trainer pelatihan, termasuk trainer PLPG, pada umumnya hanya memahami konsep hasil pelatihan itu sendiri. Selebihnya mereka pada umumnya buta kondisi di lapangan, sebab mereka juga tidak memiliki pengalaman empirik mengelola sekolah dan pembelajaran sesuai dengan materi pelatihan yang disampaikan. Bagaimana mungkin seseorang mengajari orang lain melukis suatu obyek sementara pengajarnya sendiri tidak tahu wujudnya dengan pasti?
Penutup
Kurikulum 2013 sepertinya akan diterapkan kembali dan pemerintah mulai menebar proyek bimbingan teknis (bimtek) ke berbagai daerah. Berdasarkan catatan di atas, sepertinya hasil dari penerapan K13 tidak akan jauh dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Pelatihan yang hanya beberapa jam saja oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi empirik di lapangan dan peserta pelatihan yang pada dasarnya tidak terlalu membutuhkan pelatihan, adalah beberapa faktor yang menyebabkan pandangan skeptis semacam ini. 
Alangkah baiknya bila penerapan suatu kurikulum difokuskan dulu pada beberapa sekolah saja hingga suatu konsep benar-benar disempurnakan kelebihan dan kekurangannya, agar setelah diterapkan tidak terjadi tambal sulam seperti selama ini. Bilamana pemerintah mampu membuat contoh yang benar-benar konkrit, bukan sekedar administratif dan formalistis seperti yang selama ini ada, maka para guru dan sekolah-sekolah lain akan dengan mudah belajar menerapkannya.  

Selasa, 21 Juli 2015

SUSAHNYA BERURUSAN DENGAN DOSEN PEMBIMBING

Lima bulan lalu aku berusaha menghadap pengujiku yang satu ini, sebut saja namanya pak Nas. Bukan hal mudah bertemu dosen yang satu ini, karena nomor handphone yang aku dapatkan tak pernah diangkat setiap kali aku telepon, juga tak pernah terjawab setiap aku SMS. Aku sempat ragu apakah ini benar nomor beliau, dan setelah aku konfirmasi ke kantor memang itu nomor beliau.
Gagal bertemu dengan memanfaatkan teknologi, aku memilih cara manual pada minggu berikutnya. Aku cari saja jadwal kuliah yang beliau ajarkan, dan kutemukan dua hari jam mengajar beliau di kampus. Dua hari itu aku menunggu di depan ruang kuliahnya, tapi tidak ada kuliah beliau seperti di jadwal itu. Siang hari setelah jadwal berikutnya juga sama, tidak ada kuliah beliau hari itu. Aku tanya ke staf kantor, apakah beliau mengajar hari ini. "Mestinya iya, tapi kadang jadwalnya diubah dengan kesepakatan mahasiswa" Jawabnya. "Terus kapan dan di mana aku dapat bertemu beliau?" Tanyaku, tapi mereka hanya menggeleng saja, dan akupun memutar otak untuk mencari cara bertemu. 
Minggu berikutnya aku tanya teman-temanku yang mengajar di kampus itu, tetapi semuanya angkat tangan untuk berurusan dengan orang satu itu. Informasi yang kudapat tentang dosen satu ini bahkan kurang mengenakkan, "Kenapa kamu berurusan dengan itu. Dia orang sulit" Begitu teman-temanku menyebutnya. 
Apapun dia aku tak peduli, sebab yang jelas aku memang harus konsultasi dengannya. Dua minggu ini aku memang belum beruntung, dan harus pulang untuk kembali lagi minggu depan, tapi ada satu poin yang kurasa membantu. Salah seorang sahabatku menjadi pimpinan fakultasnya. Aku sempatkan mampir ke kanto, tapi dia sedang ada kegiatan, sehingga aku memilih pulang dulu.
Saat perjalanan pulang aku coba telepon sahabatku itu, tetapi tak terangkat. Akhirnya aku kirim SMS. "Apa kabar pak Dekan. Tadi aku mampi ke kantor, tapi antum kelihatan sibuk. Semoga sukses saja" bunyi SMS-ku.
Di pejalanan pulang, tiba-tiba dia menjawab SMS dariku, dan seketika aku menelponnya. Setelah ngobrol saja sini sambil nyetir kendaraan, aku tanya soal dosen yang satu itu. "Kalau soal itu tanya aku kan beres? Beliau di kampus hari Selasa dan Rabo"
Bener, minggu berikutnya aku berusaha datang pagi-pagi ke fakultas itu. Sekitar setengah tiga sore aku melihat dia mengajar dan aku menunggunya di depan kelas. Saat ada kesempatan, aku langsung masuk menghadap. "Baik. Saya baca dulu. Itu namanya bekerja" Begitu jawabnya. Setelah empat minggu berusaha, minggu ini aku pulang dengan perasaan lega. Aku berharap minggu depan ada kemajuan.
Minggu berikutnya aku menunggunya di depan kelas. Setelah beberapa saat menunggu, aku melihat dia lewat dan langsung kusalami. "Belum. Belum selesai saya baca. Masih ada beberapa naskah lain yang harus saya koreksi" Jawabnya dengan nada datar. 
"Tapi saudara harusnya kan ujian ulang, karena sudah terlalu lama, kan?" Begitu tanyanya mengagetkanku.
"Iya, prof. Saya diberi dispensasi oleh kampus" Jawabku.
"Oke. Nanti saya pelajari dulu" Jawabnya. Akupun pulang dengan perasaan kurang nyaman. Sikapnya memberiku kesan beliau tak berkenan dengan kehadiranku hari ini. Sepertinya aku terlalu cepat datang, padahal beliau butuh waktu lebih lama.
Minggu berikutnya aku tetap saja datang ke ruang kuliahnya, tapi kali ini beliau tidak ditempat. Akupun kembali pulang dan datang lagi minggu berikutnya, tetapi kembali tak berhasil bertemu. Baru minggu berikutnya lagi aku berhasil bertemu. "Belum. Baru punya siapa itu yang selesai" Jawabnya dengan wajah dingin, dan akupun kembali pulang dengan tangan hampa.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...