Banyak mahasiswa yang di akhir masa studi di perguruan tinggi merasa tidak bisa apa-apa, tidak merasa ahli bidang keilmuan dan keahlian yang ditekuni sejak lulus SLTA. Padahal mereka dihadapkan pada keharusan untuk mandiri, bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan cara bekerja, tetapi merasa jauh dari professional untuk memasuki bidang pekerjaan yang seharusnya mereka tekuni sesuai dengan bidang keilmuan/keahlian yang dipelajari di jurusan atau program studinya.
Senin, 23 Juli 2012
Minggu, 22 Juli 2012
SINDROME AKHIR MASA STUDY DI PERGURUAN TINGGI
Kuliah di perguruan tinggi sering dipahami
sebagai jenjang pendidikan penentu masa depan. Kuliah sering dipandang
sebagai jalan terakhir yang menentukan masa depan seperti apa yang akan diraih
dan dijalani oleh seorang pelajar. Semakin spesifiknya bidang ilmu dan keahlian
yang diajarkan pada jenjang perguruan tinggi menempatkan seorang pelajar harus
bersiap menjadi "sesuatu" sesuai dengan bidang keilmuan dan keahliah
yang dipelajari.
Itu sebabnya banyak anak muda berebut kursi di berbagai
perguruan tinggi ternama dengan berbagai cara, bahkan bila perlu dengan
membayar biaya "joki" yang tidak kecil nominalnya. Jalan lapang
menuju masa depan seolah terbuka lebar begitu seseorang diterima di perguruan
tinggi pilihan. Besarnya biaya pendidikan ditambah biaya hidup yang tidak
sedikit selama studi di perguruan tinggi menjadi pertaruhan masa depan.
1. Merasa Tidak Bisa Apa-apa
Setelah
menjalani proses perkuliahan yang tidak mudah, dengan berbagai tugas
matakuliah, praktikum, ujian, hingga penelitian ternyata banyak mahasiswa
yang tidak dengan sendirinya merasa sudah ahli dalam bidang yang
tengah digeluti. Bahkan mahasiswa yang meraih indeks prestasi terbaik banyak
yang merasa tidak tahu apa-apa berkenaan dengan bidang keilmuan dan keahlian
yang dipelajari di jurusan atau program studinya.
Mereka
belum menjadi “sesuatu” sebagaimana idealnya seseorang yang menempuh jenjang
pendidikan tinggi. Mereka merasa masih sama dari sebelumnya, kecuali dalam
beberapa hal yang tidak substantif, tidak penting, misalnya dalam hal bersikap
dan berpakaian.
2. Merasa Terasing dari Bidangnya
Delapan
semester menekuni bidang keilmuan atau keahlian tidak dengan sendirinya membuat
seseorang menjadi semakin dekat dengan masa depannya sendiri. Kajian teori,
praktik hingga pengalaman lapangan seakan tidak membekas apa-apa dalam diri
mahasiswa. Pengalaman lapangan yang panjang dan berbelit tidak membuat
mahasiswa merasa dekat dengan dunia nyata, di mana mereka harus menerapkan
bidang ilmu dan keahlian yang dipelajarai di jurusan atau program studi
tertentu.
Bahkan
banyak mahasiswa yang tidak bisa menjawab ketika ditanya akan ke mana mereka
setelah selesai studi. Jawaban paling umum hanyalah akan melamar pekerjaan
sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian yang secara formal dia miliki.
3. Tak
Punya Rencana Masa Depan
Banyak
sarjana yang tak memiliki rencana yang jelas perihal apa yang akan dilakukan setelah
lulus dari perguruan tinggi. Banyak sarjana larut dalam kegembiraan saat wisuda,
padahal justeru tantangan terbesar mereka justeru di hari-hari setelah mereka
dinyatakan lulus kuliah. Predikat sarjana dengan sendirinya juga disertai
predikat orang dewasa yang seharusnya siap mandiri, bahkan eksistensi diri dalam
bentuk pekerjaan yang baik dan membanggakan.
Tanpa
rencana membuat banyak sarjana hanya menunggu ke mana angin akan membawa mereka
selanjutnya. Padahal itulah saat di mana mereka harus menentukan jalan hidupnya
di dunia nyata.
4. Bergantung
pada Ijazah
Sering kali
ijazah menjadi barang paling berharga setelah lulus kuliah. Ijazah tak jarang
ditempatkan layaknya azimat yang akan
membawa seseorang menuju kesuksesan. Padahal ijasah tak pernah lebih dari
selembar kertas yang tak selalu berguna, kecuali selembar kenangan-kenangan dari
kampus.
Bersama
ribuan sarjana lain, mereka berebut nasib menjadi pegawai pemerintah. Padahal
daya tampung pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah tak pernah lebih dari 20%
dari seluruh peminatnya. Orang yang bernasib baik, dapat bekerja sesuai ijazahnyapun
tak lebih dari 10 atau 20% saja.
Fenomena unik semacam ini umum dijumpai di kalangan
mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dari berbagai jurusan atau program
studi. Mereka seakan terjebak di sebuah lorong gelap dan tak tahu ke mana akan
menuju. Ini bisa terjadi karena berbagai faktor, baik dari diri mahasiswa
sendiri, tradisi akademik yang berkembang di lingkungan perguruan tingginya
maupun lingkungan kerja atau lingkungan sosial yang akan mewadahi lulusan
perguruan tinggi. Menghindari sindrome ini perlu persiapan jauh hari sebelum
mahasiswa benar-benar lulus dari bangku kuliah.
Selasa, 10 Juli 2012
TERDIDIK MENJADI PEMALAS
Di kampung sekitar SD Islam Darush Sholihin dapat dijumpai masyarakat yang praktis sepanjang hari hanya berkumpul sambil duduk-duduk dan ngobrol di emperan rumah. Di sekitar sekolah saja ada tidak kurang dari 20 tenaga kerja produktif yang tidak melakukan apa-apa sepanjang hari. Di antara mereka ada yang hanya istri atau suaminya yang menganggur, ada pula yang dua-duanya tidak bekerja.
Minggu, 17 Juni 2012
MEMBANGUN KEKOMPAKAN GURU
Guru merupakan "mesin" utama sekolah. Kekuatan dan laju perkembangan sekolah ditentukan bukan saja oleh seberapa baik guru yang dimiliki, sebab sekolah melibatkan banyak guru. Padahal sebagai manusia guru memiliki beragam karakter, latar belakang, kemampuan, orientasi, ragam sikap dan tanggung jawab serta gaya dalam mengelola sekolah.
Sekolah sendiri merupakan sebuah sistem, yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang saling berkaitan. Satu unsur saja terganggu atau tidak kompak akan mempengaruhi keseluruhan. Selain tuntutan kompetensi, kinerja sekolah juga ditentukan oleh kualitas kerja sama antar setiap unsur dalam sistem sekolah.
Jumat, 15 Juni 2012
BAHASA GURU DALAM PENGUASAAN KELAS
Penguasaan kelas yang baik merupakan kebutuhan pokok dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan penguasaan kelas merupakan modal dasar dalam mewujudkan pembelajaran efektif. Guru juga akan lebih mudah melaksanakan tugasnya bila berhasil menguasai kelas dengan baik.
Kunci utama penguasaan kelas yang baik adalah komunikasi efektif, yaitu kemampuan guru dalam mempengaruhi siswa melalui sikap dan ucapan yang mampu mensugesti siswa dan membuatnya bersikap dan melakukan sesuatu sesuai instruksi guru. Kemampuan komunikasi efektif bukan hanya berarti kepiawaian merangkai kata-kata atau ucapan (bahasa verbal), melainkan juga mencakup sikap dan tindak-tanduk guru (bahasa non-verbal).
POLA-POLA PENGUASAAN KELAS
Kemampuan guru menguasai kelas berbeda-beda. Ada guru yang mampu mengendalikan siswa dalam kelompok kecil dan besar sekaligus. Ada yang hanya mampu mengendalikan kelompok kecil saja, tetapi tidak jarang yang sudah kesulitan mengendalikan kelompok kecil sekalipun. Hal ini dikarenakan ketrampilan ini lebih sering berkembang berdasarkan pembawaan kepribadian dan kebiasaan guru dalam kehidupan sehari-hari.
Pembawaan kepribadian dan kebiasaan tersebut berupa kewibawaan yang bersifat bawaan, tensi emosional dan kemampuan berkomunikasi. Karena itu, pola-pola penguasaan kelas dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu berdasarkan kewibawaan, tensi emosional dan komunikasi efektif.
INDIKATOR PENGUASAAN KELAS
Penguasaan kelas adalah kemampuan guru untuk membuat sekelompok siswa mendengarkan, memperhatikan dan mengikuti instruksinya. Ketrampilan ini memungkinkan guru mengarahkan, menggerakkan dan mengontrol siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pengertian kelas dalam hal ini tidak selalu berkonotasi ruang, tetapi sekelompok siswa dalam suatu kegiatan baik di dalam ruang maupun luar ruang kelas.
Pembelajaran hanya akan berlangsung efektif bilamana guru menguasai ketrampilan penguasaan kelas. Penguasaan kelas yang baik memungkinkan guru menyampaikan materi atau membawa siswa mengikuti kegiatan pembelajaran atau kegiatan sekolah lainnya dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?
Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...