Sabtu, 25 Desember 2010

TERSANDUNG PSEUDO-DEMOKRASI


Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.

Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.

Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.

Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".

Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.

Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.

Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.

Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.

Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.

Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"

Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.

Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.

Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.

Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.

Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!

Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.

Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.

Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...

Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.

Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.

Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.

Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.

Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.

Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.

Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.

Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?

TERSANDUNG PSEUDO-DEMOKRASI


Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.

Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.

Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.

Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".

Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.

Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.

Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.

Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.

Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.

Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"

Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.

Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.

Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.

Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.

Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!

Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.

Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.

Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...

Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.

Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.

Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.

Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.

Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.

Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.

Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.

Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?

SINDROME GURU BARU

Tahun ini (2010-2011) ada beberapa guru baru yang mengabdikan diri di SD Islam Darush Sholihin. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, mereka harus mengikuti serangkaian kegiatan pelatihan peguruan khas Darush Sholihin. Kebetulan, hampir semua guru yang ada, termasuk yang terkategori guru lama belum pernah memperoleh materi pelatihan serupa.

Sebagian bagian dari lembaga pendidikan ini, mereka perlu menyesuaikan pola pikir dan cara kerjanya dengan platform pendidikan SD Islam Darush Sholihin. Mereka belajar lagi mengenai visi, misi pendidikan lembaga pendidikan ini, tata laksana teknis pembinaan siswa, serta sistem pengelolaan sekolah secara keseluruhan.

Di antara gegap-gempita semangat yang digelorakan selama pelatihan selalu terdengar ungkapan-ungkapan bernada keheranan dari para guru, "Aduh... rumitnya..." "Alamak... masih ada lagi?" "Wah..., ternyata masih banyak yang harus dipelajari lagi" "Aduh.. ini belum paham, sudah harus belajar yang lain lagi"

Rupanya banyak hal yang terbayangkan di kalangan guru-guru baru mengenai bagaimana mengelola sekolah yang baik. Maklum, di sekolah-sekolah konvensional hal yang sama sering tidak mendapat perhatian sama sekali. Bahkan aspek-aspek kerja guru yang paling mendasar seperti prota, promes, silabus dan RPP banyak yang baru dipahami oleh mereka yang sudah bertahun-tahun mengajar di sekolah lain.

Sebenarnya, SD Islam Darush Sholihin tidak mengada-ada dengan materi dan seluruh kegiatan pembelajaran tersebut. Target SD Islam Darush Sholihin hanya menerapkan sistem pembelajaran dan pengelolaan sekolah yang diidealkan menurut kebijakan pemerintah. Hanya saja, harus diakui, akibat rendahnya etos kerja kita selama ini, banyak aspek yang tidak dipahami secara proprsional dan tidak dilaksanakan oleh sekolah-sekolah konvensional.

Bagi yang tidak memahami secara langsung tentang bagaimana SD Islam Darush Sholihin dikelola dan dikembangkan, banyak orang yang salah menilai, seolah-olah mengelola sekolah semacam ini sama dengan sekolah konvensional. Padahal berbeda, jauh berbeda, bahkan jauh dari yang dapat dibayangkan oleh mereka yang hanya menjadikan pengalaman mereka sendiri sebagai ukuran.

SINDROME GURU BARU

Tahun ini (2010-2011) ada beberapa guru baru yang mengabdikan diri di SD Islam Darush Sholihin. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, mereka harus mengikuti serangkaian kegiatan pelatihan peguruan khas Darush Sholihin. Kebetulan, hampir semua guru yang ada, termasuk yang terkategori guru lama belum pernah memperoleh materi pelatihan serupa.

Sebagian bagian dari lembaga pendidikan ini, mereka perlu menyesuaikan pola pikir dan cara kerjanya dengan platform pendidikan SD Islam Darush Sholihin. Mereka belajar lagi mengenai visi, misi pendidikan lembaga pendidikan ini, tata laksana teknis pembinaan siswa, serta sistem pengelolaan sekolah secara keseluruhan.

Di antara gegap-gempita semangat yang digelorakan selama pelatihan selalu terdengar ungkapan-ungkapan bernada keheranan dari para guru, "Aduh... rumitnya..." "Alamak... masih ada lagi?" "Wah..., ternyata masih banyak yang harus dipelajari lagi" "Aduh.. ini belum paham, sudah harus belajar yang lain lagi"

Rupanya banyak hal yang terbayangkan di kalangan guru-guru baru mengenai bagaimana mengelola sekolah yang baik. Maklum, di sekolah-sekolah konvensional hal yang sama sering tidak mendapat perhatian sama sekali. Bahkan aspek-aspek kerja guru yang paling mendasar seperti prota, promes, silabus dan RPP banyak yang baru dipahami oleh mereka yang sudah bertahun-tahun mengajar di sekolah lain.

Sebenarnya, SD Islam Darush Sholihin tidak mengada-ada dengan materi dan seluruh kegiatan pembelajaran tersebut. Target SD Islam Darush Sholihin hanya menerapkan sistem pembelajaran dan pengelolaan sekolah yang diidealkan menurut kebijakan pemerintah. Hanya saja, harus diakui, akibat rendahnya etos kerja kita selama ini, banyak aspek yang tidak dipahami secara proprsional dan tidak dilaksanakan oleh sekolah-sekolah konvensional.

Bagi yang tidak memahami secara langsung tentang bagaimana SD Islam Darush Sholihin dikelola dan dikembangkan, banyak orang yang salah menilai, seolah-olah mengelola sekolah semacam ini sama dengan sekolah konvensional. Padahal berbeda, jauh berbeda, bahkan jauh dari yang dapat dibayangkan oleh mereka yang hanya menjadikan pengalaman mereka sendiri sebagai ukuran.

ADAKAH SARJANA YANG DAPAT MENGAJI?

Seperti mengulang "penyakit" SD Islam Darush Sholihin selama beberapa tahun terakhir, mencari sarjana calon guru yang "teteh mengaji" (mampu membaca al-Qur'an dengan baik dan benar) ternyata bukan masalah mudah. Sulit! Bahkan sarjana keluaran perguruan tinggi agama Islam (PTAI) tidak semua mampu mengaji secara layak.

Tahun lalu, dari 22 orang guru dan pegawai SD Islam Darush Sholihin, tercatat hanya 3 orang yang terkategori mampu mengaji secara layak. Sebagian besar sudah melampaui batas tleransi, sebab sejak awal mereka sudah "diwanti-wanti", bila selama 2 tahun masa pengabdiannya tetap tidak mampu mengaji secara layak, maka berarti mereka tidak layak untuk dipakai sebagai guru di SD Islam Darush Sholihin.

Karena itu, keluarnya sebagian guru sekolah ini di akhir tahun pelajaran 2009-2010 sama sekali tidak layak disesali. Perlu diketahui, bahwa kondisi itulah yang menjadi penyebab utama kegagalan pencapaian target pembelajaran diniyah (al-Qur'an, hifdziyah juz 'Amma, maqari mukhtarah dan materi diniyah lainnya) di sekolah ini selama 2 tahun terakhir. Bagaimana mungkin siswa akan mampu belajar dengan baik, bagaimana mungkin guru mampu mengajarkan secara optimal, sedangkan gurunya sendiri tidak menguasai apa yang seharusnya diajarkan pada siswa-siswanya?

Tahun ini, bukan berarti masalah serupa tak terulang, sebab kenyataannya masih banyak pula guru yang ternyata belum mampu mengaji dengan baik, bahkan ada yang masih buta al-Qur'an sama sekali. Kenyataan itu kami temukan saat latihan mengaji bersama. Sebagian guru tidak bersuara, sebagian lagi hanya menggerakkan bibirnya sambil menunduk, dan sebagian lagi pura-pura sibuk mengerjakan pekerjaan lain.

Setelah dicoba satu persatu baru ketahuan, ada guru yang kemampuan mengajinya masih minim, bahkan ada yang sama sekali belum bisa. Meski demikian, ada sisi positif dari formasi guru SD Islam Darush Sholihin kali ini. Mereka dengan terbuka mengakui kekurangannya dan berniat terus belajar memperbaiki kekurangannya, bukan karena tuntutan sekolah melainkan karena merasa membutuhkan kemampuan mengaji.

Lumayan, kali ini setapak lebih baik dibanding sebelumnya. Kemauan adalah modal terpenting bagi setiap orang untuk berkembang lebih baik. Kemauan guru untuk terus belajar merupakan pertanda baik bagi siswa-siswanya, sebab semangat dan kemauan mereka pasti berdampak positif bagi bangkitnya kemauan dan semangat belajar siswa-siswanya.

Syukurlah. Keterpurukan kualitas pembelajaran di sekolah ini kian terbuka untuk diperbaiki. Sulit dibayangkan bagaimana kualitas pendidikan di sekolah sekolah ini akan membaik, bilamana ketidakmampuan guru dan kepala sekolah justeru ditutupi dengan gengsi dan egoisme yang mengatasnamakan harga diri seperti masa-masa sebelumnya, bukannya dengan kemauan untuk belajar dan memperbaiki diri.

Masa gara-gara bacaan salamnya dibetulkan sudah marah-marah? Sekali lagi Alhamdulilllah, mereka yang bermental seperti itu tak lagi bersama SD Islam Darush Sholihin.
(Salinan Senin, 16 Agustus 2010)

SEBUAH AWAL YANG BAIK

Ini merupakan prestasi terbaik SD Islam Darush Sholihin selama 4 tahun terakhir. Berbeda dari 4 tahun sebelumnya, selama 2 minggu pertama masuk sekolah tidak ada complain sama sekali dari wali murid. Allahu Akbar. Ini luar biasa. Padahal tahun-tahun sebelumnya, sejak hari pertama selalu penuh complain khususnya dari wali murid kelas I.

Setelah 3 minggu berjalan baru ada 3 orang yang meminta perubahan sikap guru, yang sebagian masuk akal, tetapi ada juga yang tidak. Permintaan agar guru kelas awal bersikap lebih luwes seperti guru TK memang kita sadari belum optimal dan tengah kita kembangkan, tetapi soal jam sekolah yang harus diubah atau target pembelajaran tidak usah diberlakukan tentu sulit untuk dipenuhi.

Memang, kualitas guru tahun ini secara kualitatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya, tetapi secara keseluruhan, pengelolaan kelas mereka sudah cukup baik. Mereka juga tampak penuh bersungguh-sungguh untuk terus berusaha mencapai kondisi ideal, bukan seenaknya sendiri seperti di masa lalu. Sangat menyedihkan rasanya bila ingat tahun lalu, karena saat hari masuk sekolah dimulai presensi saja tidak punya.

Karena itu, di samping beberapa kekurangan, banyak hal yang sudah berubah dibanding masa lalu. Siswa-siswa lebih tertib di sekolah, jam belajar lebih efektif dan target pembelajaran relatif terkendali. Pengelolaan sekolah sejak hari pertama relatif tidak kedodoran meski guru-guru juga mengakui masih ada kekurangan di sana-sini. (Salinan Senin, 16 Agustus 2010)

Jumat, 24 Desember 2010

MANTAN KASEK TAK LEGOWO

Kasus protes sebagian wali murid SD Islam Darush Sholihin beberapa minggu yang lalu mengajarkan bahwa kepala sekolah harus orang yang berkepribadian baik. Faktanya, selama ini saya telah salah memilih orang. Aku mengira, orang berkepribadian buruk dapat menjadi baik, padahal tidak.

Orang berkepribadian baik selalu menyadari kekurangannya. Mereka akan menutupi kekuangannya dengan cara belajar, bukan malah menutupinya dengan cara-cara yang negatif dan merugikan orang lain. Menutupi kekurangan dengan cara negatif memperlihatkan betapaburuknya kepribadian orang itu. Bagaimana tidak, untuk menutupi keburukannya, dia harus membolak-balikkan fakta, memfitnah, dan menghasut.

Pemimpin berkepribadian baik adalah orang yang siap memimpin dan siap dipimpin. Mereka akan legowo melepaskan jabatan dan bukannya mempertahankan dengan segala cara. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah mereka yang tidak dapat melepaskan jabatan dengan legowo, tetapi dengan sikap gelo. Masalahnya adalah ketika sikap gelo itu berpadu dengan perkoncoan. Mereka adalah orang-orang picik yang dalam menjalani hidup bukan dengan mengandalkan kekuatan logika, melainkan logika kekuatan. "Siapa yang memiliki pendukung paling banyak?" itulah yang menjadi andalannya.

Ya, intinya pak Helmi memang gelo berat saat harus kehilangan jabatan kepala sekolah. Kami sendiri tidak menyangka, ternyata jabatan ini sebegitu berartinya buat dia. Karena gelo itulah dia ngomong ngelantur ke mana-mana.

Untungnya ini bukan peristiwa pertama bagi kami, sehingga sama sekali bukan masalah.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...