Minggu, 22 Juli 2012

SINDROME AKHIR MASA STUDY DI PERGURUAN TINGGI

Kuliah di perguruan tinggi sering dipahami sebagai jenjang pendidikan penentu masa depan. Kuliah sering dipandang sebagai jalan terakhir yang menentukan masa depan seperti apa yang akan diraih dan dijalani oleh seorang pelajar. Semakin spesifiknya bidang ilmu dan keahlian yang diajarkan pada jenjang perguruan tinggi menempatkan seorang pelajar harus bersiap menjadi "sesuatu" sesuai dengan bidang keilmuan dan keahliah yang dipelajari.
Itu sebabnya banyak anak muda berebut kursi di berbagai perguruan tinggi ternama dengan berbagai cara, bahkan bila perlu dengan membayar biaya "joki" yang tidak kecil nominalnya. Jalan lapang menuju masa depan seolah terbuka lebar begitu seseorang diterima di perguruan tinggi pilihan. Besarnya biaya pendidikan ditambah biaya hidup yang tidak sedikit selama studi di perguruan tinggi menjadi pertaruhan masa depan.
Satu hal yang jarang dikemukakan, meski banyak dirasakan oleh para mahasiswa adalah munculnya beban mental yang mereka alami di penghujung masa studi. Beban tersebut biasa dialami oleh mahasiswa semester akhir, juga mereka yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Beban itu adalah:
1.   Merasa Tidak Bisa Apa-apa
Setelah menjalani proses perkuliahan yang tidak mudah, dengan berbagai tugas matakuliah, praktikum, ujian, hingga penelitian ternyata banyak mahasiswa yang tidak dengan sendirinya merasa sudah ahli dalam bidang yang tengah digeluti. Bahkan mahasiswa yang meraih indeks prestasi terbaik banyak yang merasa tidak tahu apa-apa berkenaan dengan bidang keilmuan dan keahlian yang dipelajari di jurusan atau program studinya.
Mereka belum menjadi “sesuatu” sebagaimana idealnya seseorang yang menempuh jenjang pendidikan tinggi. Mereka merasa masih sama dari sebelumnya, kecuali dalam beberapa hal yang tidak substantif, tidak penting, misalnya dalam hal bersikap dan berpakaian.
2.   Merasa Terasing dari Bidangnya
Delapan semester menekuni bidang keilmuan atau keahlian tidak dengan sendirinya membuat seseorang menjadi semakin dekat dengan masa depannya sendiri. Kajian teori, praktik hingga pengalaman lapangan seakan tidak membekas apa-apa dalam diri mahasiswa. Pengalaman lapangan yang panjang dan berbelit tidak membuat mahasiswa merasa dekat dengan dunia nyata, di mana mereka harus menerapkan bidang ilmu dan keahlian yang dipelajarai di jurusan atau program studi tertentu.
Bahkan banyak mahasiswa yang tidak bisa menjawab ketika ditanya akan ke mana mereka setelah selesai studi. Jawaban paling umum hanyalah akan melamar pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian yang secara formal dia miliki. 
3.   Tak Punya Rencana Masa Depan
Banyak sarjana yang tak memiliki rencana yang jelas perihal apa yang akan dilakukan setelah lulus dari perguruan tinggi. Banyak sarjana larut dalam kegembiraan saat wisuda, padahal justeru tantangan terbesar mereka justeru di hari-hari setelah mereka dinyatakan lulus kuliah. Predikat sarjana dengan sendirinya juga disertai predikat orang dewasa yang seharusnya siap mandiri, bahkan eksistensi diri dalam bentuk pekerjaan yang baik dan membanggakan.
Tanpa rencana membuat banyak sarjana hanya menunggu ke mana angin akan membawa mereka selanjutnya. Padahal itulah saat di mana mereka harus menentukan jalan hidupnya di dunia nyata.
4.   Bergantung pada Ijazah
Sering kali ijazah menjadi barang paling berharga setelah lulus kuliah. Ijazah tak jarang ditempatkan layaknya azimat yang akan membawa seseorang menuju kesuksesan. Padahal ijasah tak pernah lebih dari selembar kertas yang tak selalu berguna, kecuali selembar kenangan-kenangan dari kampus.
Bersama ribuan sarjana lain, mereka berebut nasib menjadi pegawai pemerintah. Padahal daya tampung pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah tak pernah lebih dari 20% dari seluruh peminatnya. Orang yang bernasib baik, dapat bekerja sesuai ijazahnyapun tak lebih dari 10 atau 20% saja.

Fenomena unik semacam ini umum dijumpai di kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dari berbagai jurusan atau program studi. Mereka seakan terjebak di sebuah lorong gelap dan tak tahu ke mana akan menuju. Ini bisa terjadi karena berbagai faktor, baik dari diri mahasiswa sendiri, tradisi akademik yang berkembang di lingkungan perguruan tingginya maupun lingkungan kerja atau lingkungan sosial yang akan mewadahi lulusan perguruan tinggi. Menghindari sindrome ini perlu persiapan jauh hari sebelum mahasiswa benar-benar lulus dari bangku kuliah.

Selasa, 10 Juli 2012

TERDIDIK MENJADI PEMALAS

Di kampung sekitar SD Islam Darush Sholihin dapat dijumpai masyarakat yang praktis sepanjang hari hanya berkumpul sambil duduk-duduk dan ngobrol di emperan rumah. Di sekitar sekolah saja ada tidak kurang dari 20 tenaga kerja produktif yang tidak melakukan apa-apa sepanjang hari. Di antara mereka ada yang hanya istri atau suaminya yang menganggur, ada pula yang dua-duanya tidak bekerja. 

Minggu, 17 Juni 2012

MEMBANGUN KEKOMPAKAN GURU


Guru merupakan "mesin" utama sekolah. Kekuatan dan laju perkembangan sekolah ditentukan bukan saja oleh seberapa baik guru yang dimiliki, sebab sekolah melibatkan banyak guru. Padahal sebagai manusia guru memiliki beragam karakter, latar belakang, kemampuan, orientasi, ragam sikap dan tanggung jawab serta gaya dalam mengelola sekolah.
Sekolah sendiri merupakan sebuah sistem, yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang saling berkaitan. Satu unsur saja terganggu atau tidak kompak akan mempengaruhi keseluruhan. Selain tuntutan kompetensi, kinerja sekolah juga ditentukan oleh kualitas kerja sama antar setiap unsur dalam sistem sekolah. 

Jumat, 15 Juni 2012

BAHASA GURU DALAM PENGUASAAN KELAS

Penguasaan kelas yang baik merupakan kebutuhan pokok dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan penguasaan kelas merupakan modal dasar dalam mewujudkan pembelajaran efektif. Guru juga akan lebih mudah melaksanakan tugasnya bila berhasil menguasai kelas dengan baik.
Kunci utama penguasaan kelas yang baik adalah komunikasi efektif, yaitu kemampuan guru dalam mempengaruhi siswa melalui sikap dan ucapan yang mampu mensugesti siswa dan membuatnya bersikap dan melakukan sesuatu sesuai instruksi guru. Kemampuan komunikasi efektif bukan hanya berarti kepiawaian merangkai kata-kata atau ucapan (bahasa verbal), melainkan juga mencakup sikap dan tindak-tanduk guru (bahasa non-verbal).

POLA-POLA PENGUASAAN KELAS


Kemampuan guru menguasai kelas berbeda-beda. Ada guru yang mampu mengendalikan siswa dalam kelompok kecil dan besar sekaligus. Ada yang hanya mampu mengendalikan kelompok kecil saja, tetapi tidak jarang yang sudah kesulitan mengendalikan kelompok kecil sekalipun. Hal ini dikarenakan ketrampilan ini lebih sering berkembang berdasarkan pembawaan kepribadian dan kebiasaan guru dalam kehidupan sehari-hari.
Pembawaan kepribadian dan kebiasaan tersebut berupa kewibawaan yang bersifat bawaan, tensi emosional dan kemampuan berkomunikasi. Karena itu, pola-pola penguasaan kelas dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu berdasarkan kewibawaan, tensi emosional dan komunikasi efektif.

INDIKATOR PENGUASAAN KELAS

Penguasaan kelas adalah kemampuan guru untuk membuat sekelompok siswa mendengarkan, memperhatikan dan mengikuti instruksinya. Ketrampilan ini memungkinkan guru mengarahkan, menggerakkan dan mengontrol siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pengertian kelas dalam hal ini tidak selalu berkonotasi ruang, tetapi sekelompok siswa dalam suatu kegiatan baik di dalam ruang maupun luar ruang kelas.
Pembelajaran hanya akan berlangsung efektif bilamana guru menguasai ketrampilan penguasaan kelas. Penguasaan kelas yang baik memungkinkan guru menyampaikan materi atau membawa siswa mengikuti kegiatan pembelajaran atau kegiatan sekolah lainnya dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan.

BELAJAR DARI PEMARAH


Sejak mendirikan lembaga pendidikan, saya sudah ratusan kali ketemu orang yang marah-marah dengan segala ekspresinya, dengan segala sebab dan alasannya. Masa-masa sejak mendirikan sekolah merupakan episode pertunjukan kemarahan paling banyak dan paling sering yang  pernah kutemui seumur hidup. 
Ada beragam ekspresi kemarahan. Ada yang kadarnya ringan-berat, ada yang lama-sebentar, ada yang seakan dibawa sampai mati, ada yang ekspresif, ada yang diam-diam. Ada yang marah dengan cara kasak-kusuk, ada yang ngomel, ada yang nyerocos asal bicara, ada yang memaki-maki, ada yang mengumpat-umpat, ada yang mengundurkan diri tiba-tiba alias "mutung", ada yang mengancam-ancam, dan ada pula yang diam-diam menjegal. Pokoknya komplit!

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...