Rabu, 16 Februari 2011

MEMAHAMI AMARAH

Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita pernah berjumpa seseorang yang bicara sinis dan bicara negatif tentang orang lain (ghibah), bersikap emosional, mencaci-maki, mengumpat, marah-marah bahkan kadang sampai mengamuk. Kita sendiri kadang juga begitu, bukan? 
Di sekolah kita juga sering melihat guru, pegawai, juga wali murid yang bersikap emosional, berbicara minor, sinis, kasar, marah-marah, dan menunjukkan sikap emosionalnya dalam berbagai ekspresi. Sebagai profesional, kita tak mungkin menghindari sikap, perkataan, dan perilaku yang diliputi amarah. Karenanya, kita perlu memahami kenapa itu terjadi, normalkah sikap dan perilaku itu, dan bagaimana menyikapinya?

TIPE-TIPE ANAK DIDIK

Anak didik merupakan “bahan baku” pendidikan. Dialah yang menjadi bahan mentah untuk dikembangkan kompetensi emosional, intelektual dan keahliannya.
Menjadikan mereka anak-anak yang sukses dalam belajar dan kehidupan merupakan tugas mulia guru. Agar usaha mencapai hasil optimal, setiap guru perlu memahami potensi yang dimiliki oleh anak didik.
Sebagai manusia, setiap anak memiliki potensi belajar beragam. Ada yang mudah dan ada pula yang perlu usaha ekstra. Oleh karena itu, tipe-tipe anak didik berdasarkan potensinya perlu dikenali dengan baik.

Secara sederhana, potensi anak didik dapat dicermati berdasarkan dua aspek. Aspek tersebut adalah kesiapan mental dan kecerdasannya. Kesiapan mental biasanya tampak pada kemandirian anak. Sementara kecerdasan umumnya tampak pada daya serap anak terhadap suatu kompetensi.
Atas dasar itu, tipe-tipe anak didik dapat dipetakan sebagaimana bagan berikut.
1. Tipe Cerdas
Ini adalah tipe siswa yang paling mudah diajar. Mereka memiliki tingkat kemandirian dan sekaligus daya serap tinggi.
Mendidik anak tipe ini sangat mudah bagi guru. Kemandirian dan kecerdasannya bahkan menjadikan guru tidak perlu mengajar, karena anak memiliki minat dan kemampuan belajar secara mandiri.
Tipe seperti ini kadang ada karena faktor bawaan, tetapi tidak jarang sebagai hasil bentukan lingkungan baik karena pola asuh orang tua maupun pembelajaran kepribadian di sekolah.
2. Tipe Pintar
Ini adalah tipe anak didik pada umumnya. Meski bukan anak cerdas secara kognitif, tetapi dia memiliki kesiapan mental, berupa kemandirian, dan minat belajar tinggi.
Tipe ini umumnya menjadi siswa yang berhasil dalam belajar maupun dalam hidupnya. Modalitas mental dan kemandirian yang memadai menjadikan anak mampu mengatasi berbagai masalah belajar.
Pada anak seperti ini, tugas guru adalah membelajarkan mengenai cara belajar efektif dan berbagai trik pembelajaran. Meski tidak secepat anak cerdas, anak pintar sering kali dapat sesukses anak cerdas.
3. Tipe Aktif
Ini adalah tipe anak didik yang relatif membutuhkan keahlian dan tenaga ekstra dari guru. Anak seperti ini pada dasarnya cerdas, tetapi kurang memiliki kesiapan mental (kecerdasan emosi).
Anak tipe ini biasanya banyak ulah, banyak kemauan, dan agak egois. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kecerdasan pikir dan emosinya, sehingga tersublimasikan ke dalam sikap dan perilaku aktif, atraktif dan semau gue.
Banyak guru dan orang tua salah mempersepsikan mereka sebagai anak nakal. Padahal sangat boleh jadi sebenarnya mereka anak yang terlalu cerdas daya pikirnya. Bahkan tokoh-tokoh besar yang terlahir dengan kondisi seperti mereka.
Anak seperti ini membutuhkan guru yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan memiliki keahlian bidang pembinaan kecerdasan emosi. Keberhasilan membentuk kembali emosi anak merupakan kunci keberhasilan belajar.
4. Tipe Sulit
Ini adalah tipe anak didik yang membutuhkan guru berkeahlian ganda. Ini dikarenakan problem belajar anak terletak pada dua aspek fundamental, yakni kesiapan mental dan kecerdasan sekaligus.
Untungnya, anak tipe ini semakin jarang ditemukan saat ini. Kualitas gizi yang dikonsumsi orang tua saat hamil dan anak semasa kecil makin baik, hingga jumlah anak seperti ini semakin sedikit.
Guru berkeahlian khusus diperlukan agar minat anak terbangun seperti anak tipe pintar. Bila hasil pembelajaran kognitifnya tidak sebaik anak yang lain, maka peluang untuk membuatnya sukses harus digali dari potensi-potensinya yang lain.
Setiap anak memiliki potensi kecerdasannya sendiri. Anak pasti memiliki kelebihan (kecerdasan) di bidang tertentu. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara guru dan wali murid agar potensi anak dapat digali dan dikembangkan lebih optimal.

TIPE-TIPE WALI MURID

Sebagai konsumen wali murid merupakan bagian paling unik dalam pengelolaan sekolah, apalagi sekolah swasta berbayat, tidak gratis. Kita masih bisa pilih-pilih guru, pegawai dan murid dengan cara seleksi, tetapi tidak demikian halnya dengan wali murid.
Kita hanya dapat menerima mereka apa adanya, tanpa banyak kesempatan untuk mengubahnya. Yang dapat dilakukan hanya memahami mereka dan menyikapi sesuai karakteristik masing-masing.

Rabu, 05 Januari 2011

GARA-GARA TOPI?

Aneh, lucu, konyol, ngawur, tidak waras. Sebenarnya istilah-istilah itu tidak pantas diucapkan, tapi itulah kata-kata yang dapat kami pakai untuk menggambarkan. Terus terang kesal juga, meski kami tahu harus bersabar dan bersabar...
Pegawai bagian koperasi tadi pagi tergopoh-gopoh ke rumah. Dia bilang ada seorang wali murid yang ngamuk, marah-marah, karena mau membeli topi untuk anaknya, tetapi tidak ada barang di koperasi. Dia lantas pulang dan kembali lagi dengan membawa kamera dan berkalung tanda pengenal, konon wartawan.
Dia memaksa pegawai koperasi difoto, dan mengajak beberapa wali murid untuk mendukung aksi konyolnya. Sambil memfoto beberapa bagian koperasi dan sekolah, konon dia bilang akan memberitakan hal ini di media massa, entah media apa yang dia maksud.
Salah seorang pengurus komite sekolah, pak Syarif, mendekati orang itu dan berdebat perihal alasan yang membuat orang itu bersikap aneh. Selain karena masalah topi bagi anaknya, ampai saat ini kami tidak tahu masalah yang sebenarnya dikeluhkan. Wakasek SDI Darush Sholihin sendiri bilang, "Saya sendiri heran, bagaimana mungkin orang bisa begitu marahnya hanya gara-gara topi?" 
"Apakah dia tidak bisa bicara baik-baik dengan guru atau kepala sekolah? Apakah masalah seperti itu sudah termasuk masalah yang tak bisa dibicarakan? Mengapa orang semacam itu begitu mudahnya mengumbar amarah, mengobral kata-kata kotor dan sejenisnya? Mengapa ada orang yang bersikap seolah tidak ada rasa hormat pada lembaga pendidikan di mana anak-anaknya belajar dan dididik di sini?" tanyanya.
Tentu saja hanya orang itu yang tahu jawabannya, tapi yang jelas orang itu sudah salah menilai kami. Dia mengkira kami takut wartawan, takut diberitakan ini dan itu, takut sekolah ini tidak laku kalau diberitakan ini dan itu, padahal seujung kukupun kami tidak takut!!! Sama sekali tidak!!! Sungguh boddooh bila ada yang mengira kami demikian. 
Meski ada kekurangan di sana sini, sekolah ini dinyatakan sebagai sekolah dengan managemen terbaik di wilayah ini. Begitupun, kami sedikitpun tak bangga dan tak peduli dengan predikat itu, apalagi cuma berhadapan dengan wartawan (entah wartawan beneran atau tidak) yang mau memberitakan hal buruk tentang sekolah kami hanya gara-gara masalah topi. Konyol sekali!!!
Lagi pula apakah wartawan beneran bersikap seperti itu? Kami sangat kenal seperti apa sikap jurnalis yang sesungguhnya. Yang jelas, tidak seperti itu. Sama sekali tidak. Pasal UU pers atau kode etik jurnalistik mana yang membenarkan sikap konyol seperti itu? 
Sungguh terlalu picccik bila ada berfikir kami takut kehilangan murid, sebab itu berarti menganggap kami mendirikan sekolah ini demi rupiah. Dan pasti lebih guoblog lagi bila  ada yang mengira kami hidup dari sekolah ini. 
Sekolah ini memiliki managemen paling transparan di wilayah ini. Keluar dan masuknya uang jelas, tidak ada yang lebih terbuka dibanding sekolah kami, dan semua orang tahu berapa puluh juta kami harus menutupi biaya pendidikan di sekolah ini tiap tahu. Mereka yang melek managemen pasti tahu berapa besar dana yang kami keluarkan setiap tahun agar anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan terbaik di wilayah ini? Hanya orang super bodoh yang berfikir mendirikan sekolah sebagai bisnis.  
Beberapa waktu lalu ada juga yang bersikap serupa, mengumbar amarah, mengumbar kata-kata sinis, kasar, kotor tanpa sedikitpun merasa malu. Syukur alhamdulillah, sebagian sudah keluar dari sekolah ini, karena mereka tidak pantas berada bersama kami. Ironisnya, sepertinya masih ada beberapa pengikutnya yang tersisa.
Kami tidak tahu pasti mengapa akhir-akhir ini ada wali murid yang bersikap seperti itu. Apa masalah mereka? Mengapa mereka tidak bicara baik-baik? Mengapa mereka begitu mudah mengumbar sikap konyol seperti itu?
Yang pasti kami justeru kasihan terhadap orang-orang seperti ini. Mereka pasti sedang bermasalah, dan hanya menjadikan orang lain sebagai kompensasi. Apakah mereka lupa di lembaga pendidikan ini putera-puterinya belajar, memulai membangun harapan bagi masa depan mereka? Apakah mereka tak tahu sikap moral mereka tak pantas dilihat, didengar apalagi ditiru anak-anaknya? Mengapa mereka bisa kehilangan akal sehatnya????  

GARA-GARA TOPI?

Aneh, lucu, konyol, ngawur, tidak waras. Sebenarnya istilah-istilah itu tidak pantas diucapkan, tapi itulah kata-kata yang dapat kami pakai untuk menggambarkan. Terus terang kesal juga, meski kami tahu harus bersabar dan bersabar...
Pegawai bagian koperasi tadi pagi tergopoh-gopoh ke rumah. Dia bilang ada seorang wali murid yang ngamuk, marah-marah, karena mau membeli topi untuk anaknya, tetapi tidak ada barang di koperasi. Dia lantas pulang dan kembali lagi dengan membawa kamera dan berkalung tanda pengenal, konon wartawan.
Dia memaksa pegawai koperasi difoto, dan mengajak beberapa wali murid untuk mendukung aksi konyolnya. Sambil memfoto beberapa bagian koperasi dan sekolah, konon dia bilang akan memberitakan hal ini di media massa, entah media apa yang dia maksud.
Salah seorang pengurus komite sekolah, pak Syarif, mendekati orang itu dan berdebat perihal alasan yang membuat orang itu bersikap aneh. Selain karena masalah topi bagi anaknya, ampai saat ini kami tidak tahu masalah yang sebenarnya dikeluhkan. Wakasek SDI Darush Sholihin sendiri bilang, "Saya sendiri heran, bagaimana mungkin orang bisa begitu marahnya hanya gara-gara topi?" 
"Apakah dia tidak bisa bicara baik-baik dengan guru atau kepala sekolah? Apakah masalah seperti itu sudah termasuk masalah yang tak bisa dibicarakan? Mengapa orang semacam itu begitu mudahnya mengumbar amarah, mengobral kata-kata kotor dan sejenisnya? Mengapa ada orang yang bersikap seolah tidak ada rasa hormat pada lembaga pendidikan di mana anak-anaknya belajar dan dididik di sini?" tanyanya.
Tentu saja hanya orang itu yang tahu jawabannya, tapi yang jelas orang itu sudah salah menilai kami. Dia mengkira kami takut wartawan, takut diberitakan ini dan itu, takut sekolah ini tidak laku kalau diberitakan ini dan itu, padahal seujung kukupun kami tidak takut!!! Sama sekali tidak!!! Sungguh boddooh bila ada yang mengira kami demikian. 
Meski ada kekurangan di sana sini, sekolah ini dinyatakan sebagai sekolah dengan managemen terbaik di wilayah ini. Begitupun, kami sedikitpun tak bangga dan tak peduli dengan predikat itu, apalagi cuma berhadapan dengan wartawan (entah wartawan beneran atau tidak) yang mau memberitakan hal buruk tentang sekolah kami hanya gara-gara masalah topi. Konyol sekali!!!
Lagi pula apakah wartawan beneran bersikap seperti itu? Kami sangat kenal seperti apa sikap jurnalis yang sesungguhnya. Yang jelas, tidak seperti itu. Sama sekali tidak. Pasal UU pers atau kode etik jurnalistik mana yang membenarkan sikap konyol seperti itu? 
Sungguh terlalu picccik bila ada berfikir kami takut kehilangan murid, sebab itu berarti menganggap kami mendirikan sekolah ini demi rupiah. Dan pasti lebih guoblog lagi bila  ada yang mengira kami hidup dari sekolah ini. 
Sekolah ini memiliki managemen paling transparan di wilayah ini. Keluar dan masuknya uang jelas, tidak ada yang lebih terbuka dibanding sekolah kami, dan semua orang tahu berapa puluh juta kami harus menutupi biaya pendidikan di sekolah ini tiap tahu. Mereka yang melek managemen pasti tahu berapa besar dana yang kami keluarkan setiap tahun agar anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan terbaik di wilayah ini? Hanya orang super bodoh yang berfikir mendirikan sekolah sebagai bisnis.  
Beberapa waktu lalu ada juga yang bersikap serupa, mengumbar amarah, mengumbar kata-kata sinis, kasar, kotor tanpa sedikitpun merasa malu. Syukur alhamdulillah, sebagian sudah keluar dari sekolah ini, karena mereka tidak pantas berada bersama kami. Ironisnya, sepertinya masih ada beberapa pengikutnya yang tersisa.
Kami tidak tahu pasti mengapa akhir-akhir ini ada wali murid yang bersikap seperti itu. Apa masalah mereka? Mengapa mereka tidak bicara baik-baik? Mengapa mereka begitu mudah mengumbar sikap konyol seperti itu?
Yang pasti kami justeru kasihan terhadap orang-orang seperti ini. Mereka pasti sedang bermasalah, dan hanya menjadikan orang lain sebagai kompensasi. Apakah mereka lupa di lembaga pendidikan ini putera-puterinya belajar, memulai membangun harapan bagi masa depan mereka? Apakah mereka tak tahu sikap moral mereka tak pantas dilihat, didengar apalagi ditiru anak-anaknya? Mengapa mereka bisa kehilangan akal sehatnya????  

Sabtu, 25 Desember 2010

TERSANDUNG PSEUDO-DEMOKRASI


Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.

Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.

Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.

Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".

Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.

Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.

Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.

Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.

Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.

Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"

Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.

Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.

Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.

Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.

Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!

Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.

Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.

Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...

Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.

Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.

Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.

Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.

Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.

Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.

Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.

Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?

TERSANDUNG PSEUDO-DEMOKRASI


Beberapa hari yang lalu saya mengumumkan pergantian kepala sekolah SD Islam Darush Sholihin. Sebagai penyelenggara sekolah saya sudah jengah dengan kinerja yang bersangkutan. Selain menangani rapat dengan wali murid dan dinas pendidikan, hampir-hampir semua pekerjaan kepala sekolah harus ditangani langsung oleh pengurus yayasan.

Kepala sekolah itu tahunya hanya tanda tangan dan rapat saja. Kepala sekolahku sama sekali tidak "ngeh" (paham) dengan tugas-tugasnya sendiri, meski berkali-kali diajari. Mulai dari urusan membersihkan halaman, menyusun program kerja, anggaran kegiatan, pengelolaan pembelajaran, ujian sampai persiapan UASBN masih harus melibatkan pengurus yayasan.

Teguran demi teguran, sindiran demi sindiran, kemarahan demi kemarahan, arahan demi arah sama sekali tidak membuatnya berubah. Terlalu banyak program sekolah tidak berjalan, kecuali "diopyak-opyak" dan disetir langsung oleh pengurus yayasan. Aku tidak peduli, dan terus saja "jueh" meski aku tahu, dia sering tersinggung saat aku beri peringatan.

Sejak tahun yang lalu, sebenarnya aku sudah hilang kesabaran. Aku berniat mengganti dia, tapi masih aku beri kesempatan untuk belajar, tapi rupanya itu bukan membuat dia belajar. Dia bahkan semakin teledor hingga banyak kompetensi siswa yang tidak tercapai. Salah satu yang paling menonjol adalah khataman al-Qur'an "karbitan".

Ya, biasanya kalau aku lengah, maka dia juga lolos dengan enak saja. Karena tidak sempat mensupervisi pembelajaran al-Qur'an, siswa-siswa kelas 4 yang biasanya khatam al-Qur'an dan hafal juz 'Amma, tidak satupun yang mencapai target pembelajaran. Akibatnya, kurang dari satu bulan, mereka "dikarbit" supaya khatam al-Qur'an. Hafalan juz 'Amma dibiarkan lolos karena tidak mungkin dikarbit lagi. Untungnya tidak ada wali murid yang protes. Entahlah, mungkin tidak tahu atau tidak peduli.

Beberapa hari setelah perpisahan, wali murid kelas VI yang baru lulus melabrak ke kantor yayasan. Mereka marah, karena seharusnya anak-anak mereka bisa masuk kelas SBI. Usut punya usut, ternyata surat itu cuma disimpan di laci kepala sekolah, tanpa pernah diumumkan. Dalam hati aku jelas marah besar, tapi kutahan saja, karena wali alumni itu tidak menyoal lebih lanjut.

Apalagi sesudah itu aku membawa guru-guru dan kepala sekolah untuk workshop persiapan ajaran baru. Aku berharap tahun ini program sekolah SD Islam Darush Sholihin lebih siap dari sebelumnya. Setelah hari demi hari workshop dilaksanakan, semua sub tugas pokok melaporkan hasilnya. Lumayan, ternyata mereka cukup mampu menyusun program sendiri.

Tragisnya, justru kepala sekolah ternyata tidak "dong" bagaimana menyusun tugas yang menjadi bagiannya. Semua pegawai, bahkan pesuruh saja bisa menyusun program, sedangkan kepala sekolah paham saja tidak. Akhirnya, program sekolah (RKT dan RKAS) mangkrak, gara-gara program pembelajaran yang seharusnya disusun kepala sekolah tidak selesai.

Dalam hati aku kembali marah besar, tapi tetap saja aku tahan. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, dia tenang saja menjalani liburan. Bahkan menjelang ajaran baru dia tidak datang ke sekolah. Dengan terpaksa, aku membersihkan sendiri sekolahan bersama beberapa pesuruh hingga jam 3 malam.

Pagi harinya saat istriku bilang padanya. "Pak, gimana to ajaran baru kok tidak ada persiapan apa-apa? Kita harus melekan sampai jam 3 pagi" Maksud ikami jelas menegur dia secara halus. Ternyata responnya membuat aku naik pitam. "Lho, memangnya ada apa kok melekan sampai jam 3 pagi?" Kontan, aku misuh(dalam hati saja) , "Ooo... matamu picek. Masak, menjelang ajaran baru tidak mikir kalau keadaan sekolah kotor dan semrawut"

Kegiatan hari-hari pertama masuk sekolah lumayan berantakan, karena ternyata kepala sekolah tidak siap dengan program dan berbagai perangkat sebagaimana mestinya. Bahkan absen dan kapur saja tidak ada. Aku hanya bisa ngempetperasaan kecewa dan marahku.

Beberapa hari sesudah itu aku sibukkan diri dengan tugas-tugasku di kampus. Sesekali saja aku nengok sekolahan. Ada beberapa kegiatan yang berjalan, tapi aku semakin jarang melihat kepala sekolah ikut serta di tengah kesibukan guru.

Awal bulan September aku sempatkan masuk kelas. Aku minta hasil pelaksanaan program pembelajaran guru, dan hasilnya sangat mengecewakan. Pembelajaran yang menurut program seharusnya sudah melaksanakan 3 kali uji kompetensi, ternyata baru sekali saja dilaksanakan. Itu artinya pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak sesuai program.

Setelah aku tegur, sekitar dua minggu kemudian guru-guru mulai setor nilai yang sangat mengecewakan. Kelas 1 dan 2 hanya ada satu dua mata pelajaran yang tidak mencapai KKM kelas, sedangkan kelas 3 ke atas semuanya bermasalah. Kelas yang paling parah adalah kelas 3 dan 6.

Pencapaian KKM kelas 3 tidak lebih dari 25%. Artinya, pembelajaran di kelas itu boleh dibilang gagal sama sekali. Kondisi paling tragis adalah kelas 6. Uji kompetensi pertama mata pelajaran matematika hanya mencapai KKM kelas 1%. Tragis!!!

Ketika kepala sekolah aku panggil, dan kutanya, "Bagaimana kegiatan pembelajarannya?" Jawabnya, "Baik" Kontan aku marah bukan kepalang. Ada pencapaian KKM kelas yang hanya 1% dan 25 % dibilang baik? Seluruh kata-kata yang tidak enak didengar.

Habis hari raya istriku sempat telepon dia tetapi tidak diangkat, SMS juga tidak dibalas. Sekolah dalam kondisi kotor dan berantakan, padahal besok pagi sudah hari masuk sekolah pasca liburan.

Bener. Besok paginya ketetaran. Program yang seharusnya disiapkan selama liburan tidak terselesaikan. Akibatnya, baru masuk sehari, sekolah diliburkan kembali satu hari untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya sudah selesai di awal ajaran baru. Ironis...

Sejak hari itu, aku benar-benar tidak percaya lagi pada kemampuan kepala sekolah untuk terus melaksanakan tugasnya. Beberapa hari kemudian, aku merilis surat tidak resmi, yang memberitahukan bahwa bulan Oktober ini harus ada pergantian kepala sekolah. Orang yang aku calonkan tidak lain adalah istrinya sendiri.

Setelah aku panggil, ternyata istrinya tidak bersedia. Dari informasi teman-temannya aku tahu, rupanya dia menolak karena menganggap keputusanku kali ini dia anggap menginjak2 harga diri suaminya.

Dari sini masalahku baru dimulai. Aku tidak tahu alasan sebenarnya, orang-orang yang aku percaya untuk menggantikan ternyata ikut-ikutan tidak sanggup. Dengan terpaksa aku menerapkan skenario berikutnya, menerapkan PLt sampai mereka benar2 siap.

Masalah yang bener2 masalah muncul setelah keputusan serah terima jabatan aku umumkan. Banyak wali murid protes lewat telepon. Mereka tidak setuju kepala sekolah diganti. Mereka menilai kepala sekolah selama ini sudah sangat baik. Sebagian meragukan apakah ada orang lain yang sebaik kepala sekolah saat ini.

Di luar yang aku pikirkan, rupanya kepala sekolah memang memiliki kedekatan yang luar biasa dengan wali murid. Itu sudah sangat mencukupi untuk menutupi seluruh kekurangannya selama ini. Apapun yang dia bisa lakukan, selalu baik di mata wali murid.

Kerisauanku selama ini menjadi sia-sia saja. Aku yang berusaha mati-matian agar program sekolah tercapai menjadi tidak penting lagi bagi mereka. Mereka sudah menjadi korban kepemimpinan pseudo-demokratis. Mereka tidak peduli anaknya seperti apa, mereka juga tidak peduli lagi, Darush Sholihin memiliki program apa. Mereka sudah cukup dengan kepala sekolah yang "blater" dan gaul, dari pada apa yang selama ini aku "perdagangkan" di sekolahan ini.

Di mata mereka aku bahkan menjadi sosok jahat yang berbuat sewenang-wenang pada bawahan. Usahaku yang sebenarnya kutujukan demi kualitas belajar anak-anak mereka justeru menjadi salah, jelek dan harus diubah.

Melihat hal ini aku jadi berfikir, ngapain susah2 mikir anak orang, kalau akhirnya orang lebih menghargai pegawaiku dari pada program2ku?

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...