Sabtu, 28 Juni 2014

KEUNGGULAN SEKOLAH SWASTA BERBAYAR

Di tengah dorongan untuk penyelenggaraan pendidikan gratis, di tengah masyakat berkembang sekolah-sekolah swasta berbayar, yang sebagian bahkan bernilai fantastis bagi kebanyakan orang. Kehadiran sekolah gratis tidak dengan sendirinya menghapuskan keberadaan sekolah swasta. Bahkan sebagian sekolah swasta jauh lebih diminati dibanding sekolah gratis.
Fenomena ini sering kali sulit dipahami oleh masyarakat awam, terutama yang masih perhitungan dalam memilih pendidikan bermutu. Bagaimana bisa, sekolah yang berbayar bahkan sangat mahal lebih diminati dibanding yang gratis. 
Sekolah berbayar memang memiliki kelebihan yang hanya dipahami oleh masyarakat dengan tingkat berfikir dan tingkat sosial ekonomi tertentu. Mereka memiliki kebutuhan yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat awam pada umumnya. Kebutuhan itulah yang diapresiasi oleh sekolah-sekolah swasta hingga memungkinkannya tetap memiliki "pasar" sendiri. Di antara kelebihan tersebut terletak pada beberapa aspek berikut. 
1.  Kualitas Layanan
Selain menekankan mutu pembelajaran, sekolah berbayar pada umumnya menekankan aspek service atau pelayanan. Pelayanan tersebut berkaitan dengan berbagai hal dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling prinsip, mulai dari keramahan, kelengkapan dan kenyamanan sarana-prasarana, hingga keamanan. Sekolah gratis pada umumnya kurang memperhatikan aspek ini. Berbagai fasilitas sarana dan prasarana mungkin saja selengkap atau bahkan lebih lengkap dibanding sekolah berbayar, hanya saja keberadaannya baru sebatas ada. 
2.  Kualitas Pendidikan
Pada dasarnya kualitas lulusan sekolah berbayar tidak selalu lebih baik dibanding sekolah gratis. Hal ini dikarenakan kualitas lulusan ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor bawaan anak. Hanya saja, sekolah swasta pada umumnya mengupayakan untuk dapat memberikan layanan pendidikan yang lebih optimal dibanding sekolah gratis. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan yang semaksimal mungkin mampu mendorong anak mencapai kompetensi seoptimal yang mampu mereka raih. 
3.  Kualitas Lingkungan Sosial
Sekolah berbayar pada umumnya bukan hanya fokus pada kualitas pembelajaran. Hal-hal yang dinilai turut memberikan nilai tambah bagi perkembangan anak juga diberikan perhatian yang besar. Bila di sekolah gratis lingkungan sosial dibiarkan sebagaimana adanya, sekolah berbayar justeru berupaya mengelola lingkungan sosial agar lebih ramah dan manusiawi. 
4.  Etos Kerja
Sekolah berbayar mengemban tanggung jawab langsung dari masyarakat. Sekolah berbayar akan dengan serta merta dikomplain, bahkan kadang memunculkan pemberitaan bilamana teledor dalam memberikan layanan yang kurang memuaskan. Kondisi ini memaksa guru dan pengelola sekolah berbayar untuk bekerja lebih keras dibanding guru dan pengelola sekolah gratis.
5.  Variasi Kegiatan
Nuansa sekolah swasta berbayar pada umumnya berbeda dari sekolah gratis. Sekolah akan berupaya memberikan kegiatan yang lebih berwarna bagi anak, dalam rangka memberikan pengalaman belajar yang lebih berwarna. Oleh karenanya, kegiatan sekolah pada umumnya lebih bervariasi dibanding sekolah gratis, yang umumnya justeru berupaya meminimalkan kegiatan demi penghematan.
6.  Program Unggulan
Sekolah swasta berbayar selalu menonjolkan suatu kegiatan yang ditempatkan sebagai nilai tambah dibanding sekolah sejenis. Bila sekolah gratis cenderung mencari kesamaan dengan sekolah lain, sekolah berbayar justeru terdorong untuk berupaya menemukan perbedaan dan keunikah sekolah dibanding sekolah lain. Perbedaan itulah yang dapat memberikan nilai tambah bagi sekolah dan siswanya. Nilai tambah tersebut dengan jelas membedakan sekolah tersebut dibanding sekolah-sekolah lain hingga lebih mudah dikenali dan memberikan pengalaman belajar yang berbeda. 

Sabtu, 14 Juni 2014

PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUK BULLYING

Oleh: Irfan Tamwifi

Bullying memiliki konteks pengertian yang luas. Bullying bukan hanya berbentuk sikap dan perilaku kekerasan dan represi pada orang lain, melainkan lebih luas lagi. Pengertian bullying mencakup berbagai sikap dan perilaku yang mengarah pada pelecehan, penghinaan, penindasan, dan kekerasan oleh orang yang lebih dominan kepada orang lain yang lebih inferior.
Bentuk bullying sangat beragam, mulai dari sikap, perkataan hingga perbuatan atau tindakan yang mengarah pada usaha merendahkan, mengganggu, menekan, dan merugikan orang lain secara fisik maupun mental.
1. Sikap
Bullying dapat dilakukan dalam bentuk sikap baik berupa ekspresi wajah maupun bahasa tubuh yang ditujukan untuk menakut-nakuti, melecehkan, merendahkan, menghina, sikap yang memperlihatkan ketidaksukaan, jijik, atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Di antara bentuk bully dengan sikap adalah wajah sinis, acuh tak acuh, pandangan merendahkan dan sebagainya. Sebagai misal ada seorang teman yang berpakaian lusuh dan orang lain memandangnya dengan tatapan aneh.
2. Perkataan
Bullying paling sering dilakukan dalam bentuk kata-kata yang bernada ejekan, olok-olokan, sindiran, intimidasi, atau bahkan hardikan. Sebagai misal seseorang mengejek orang lain dengan predikat negatif, menyebut nama orang tua, etnis, agama atau stereo type lain yang membuat seseorang menjadi tidak nyaman.
3. Perbuatan
Bullying paling berat biasanya yang dilakukan dengan disertai perilaku atau tindakan tertentu yang mengarah pada usaha merendahkan, meremehkan, "ngerjain" atau mempermainkan, hingga mengancam dan menyiksa orang lain. Di antara contoh yang lazim dilakukan adalah dengan pengucilan seseorang dari yang lain, sehingga korban bullying merasa tidak tidak nyaman, diremehkan atau diterima lingkungan pergaulannya.

BULLYING: DULU DAN SEKARANG

Bully atau bullying merupakan istilah baru dalam perbendaharaan bahasa di Indonesia sekarang. Bully atau bullying secara kebahasaan berarti tindakan mengganggu kenyamanan mental orang lain (noisily domineering) yang mengarah pada merendahkan, melecehkan, membuat kesal orang lain (tending to browbeat others).
Meski dari istilah baru dikenal, tetapi kebisaan bullying dari segi perilaku sudah dikenal sejak dahulu kala. Bedanya, pada jaman sekarang bullying dipandang sebagai perbuatan tercela bahkan dapat dipidanakan, sementara pada jaman dulu bullying dianggap sebagai hal biasa.
Di sekolah, di lingkungan rumah, kampung dan berbagai tempat sering dijumpai seorang atau beberapa orang anak dijadikan bahan ejekan, olok-olok, "permainan" serta bentuk-bentuk pelecehan lainnya. Di antara buktinya adalah pemberian nama panggilan yang melecehkan, misalnya anak berhidung panjang dipanggil petruk, anak gemuk atau memiliki perut gendut dipanggil bagong, si gendut atau si gembul, dan berbagai panggilan lain yang bernada mengejek.
Anak-anak yang menjadi korban bullying umumnya merasa terhina, direndahkan, dan tertekan. Tidak jarang bullying mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan bagi anak yang berani melawan, dan tertekan bagi yang lemah. Meski demikian, ada juga anak yang hingga dewasa tetap nyaman dengan nama ejekan tersebut, sehingga di pedesaan Jawa masih ada beberapa orang yang dipanggil, Darto Bagong, Imron Kate, Sumadi Kambing dan sebagainya. 
Bullying pada masa lalu hanya dipandang sebagai perilaku biasa yang akan hilang atau tidak berarti lagi seiring perkembangan anak saat memasuki masa dewasa, atau setelah kegiatan berlalu. Itu sebabnya, metode bullying sendiri bahkan masih sering dipertahankan dalam berbagai kegiatan formal, sebagai misal, perpeloncoan dalam kegiatan kemahasiswaan, masa orientasi siswa dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat mengenai bullying pada masa sekarang. Meningkatkan kebutuhan untuk menghargai privasi, martabat dan perkembangan mental menempatkan bullying sebagai sikap dan perilaku yang dinilai merugikan dan harus dihindari. Kesadaran atas kebutuhan penghargaan dan menjaga tumbuh kembang mental anak menjadikan bullying sulit diterima oleh anak manusia saat ini.
Itu sebabnya, bullying harus dihindari baik di lingkungan keluarga, sosial maupun sekolah. Apalagi bentuk-bentuk bullying tak jarang mengarah pada sikap dan tindakan yang mengarah kriminal, seperti mengancam, menekan, atau mengeksploitasi yang lemah demi keuntungan yang kuat (the act of intimidating a weaker person to make them do something).
Apalagi tekanan mental yang terjadi selama kegiatan bullying tidak jarang berakibat fatal, kematian. Kasus-kasus kematian remaja saat opspek, kekerasan di sekolah-sekolah ketentaraan, IPDN, dan berbagai kampus yang marak beberapa waktu terakhir merupakan dampak bullying yang berlebihan dan membudaya yang tak lagi dapat diterima oleh manusia saat ini.

Minggu, 25 Mei 2014

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KURIKULUM 2013 DENGAN KBK DAN KTSP

Dalam berbagai forum pelatihan Kurikulum 2013 (K13) selalu ditekankan bahwa kurikulum ini berbeda dari kurikulum sebelumnya. Para trainer yang mewakili pemerintah tersebut seakan menunjukkan  bahkan K13 berbeda sama sekali dari KBK dan KTSP. Padahal dalam banyak, bahkan sangat banyak hal, ketiganya memiliki banyak kesamaan. Bahkan beberapa hal yang dinyatakan sebagai pembeda dari kurikulum sebelumnya sesungguhnya hanya penegasan saja.
1.  Pendekatan Pembelajaran
Ditekankannya pendekatan scientific diklaim sebagai ciri khas K13, padahal perubahan sebenarnya hanya dari segi istilah dan langkah-langkah teknisnya saja. Hal ini dikarenakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sejak awal menekankan pendekatan inquiry, yang pada hakekatnya tidak berbeda secara signifikan dari pendekatan scientific. Melalui proses inquiry siswa melakukan proses pembelajaran berdasarkan pengamatan, pengalaman, diskusi, yang bermuara pada penyimpulan, yang tahapannya persis sama dengan pendekatan yang diistilahkan dengan pendekatan scientific
2.  Perubahan Paradigma
K13 menekankan perubahan paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa. Klaim ini dalam berbagai forum pelatihan merupakan salah satu bentuk manipulasi informasi, seakan-akan tidak ada dalam KBK dan KTSP. Padahal penekanan atas perlunya perubahan paradigma sejak awal merupakan aspek yang paling ditekankan dalam KBK dan KTSP. Perubahan paradigma seperti itu bahkan selalu menjadi materi pertama dalam pelatihan KBK dan KTSP.  
3.  Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran K13 dicontohkan seolah berbeda dari KBK dan KTSP, di mana proses pembelajaran tidak dilakukan dengan berbasis guru, melainkan melalui pendekatan yang disebut scientific tersebut. Padahal dalam praktiknya, seluruh metode pembelajaran yang selama ini dituntut digunakan dalam KBK dan KTSP tetap digunakan dalam K13. Metode pembelajaran K13 sama sekali tidak berbeda dari kurikulum sebelumnya.
4.  Pembelajaran Tematik
Perbedaan paling jelas dari K13 dari KBK dan KTSP adalah pada digunakannya pendekatan tematik. Kalau ada bagian yang dipandang berbeda mungkin di sinilah letak perbedaan K13 dari KBK dan KTSP. Di jenjang sekolah dasar, pembelajaran tematik K13 diberlakukan pada seluruh tingkatan kelas, sementara sebelumnya hanya diterapkan di kelas bawah (kelas 1-3). Hanya saja, berdasarkan buku-buku yang diterbitkan oleh pemerintah, struktur materi  pelajaran (sub tema) mulai kelas IV ke atas tidak lebih dari kliping materi pelajaran yang berlaku dalam KBK dan KTSP, sekedar untuk menyamarkan mata pelajaran ke dalam tema-tema yang telah ditentukan. Dengan kata lain, substansi pembelajaran pada K13 sebenarnya tidak berbeda dari sebelumnya, sebab yang berbeda hanya dalam penempatannya. 
5.  Penilaian 
Penilaian dalam pendekatan scientific yang sebelumnya menggunakan penilaian autentik diubah menjadi penilaian berdasarkan beberapa Kompetensi, yaitu K1, K2, K3 dan K4. Substansi penilaian tersebut pada prinsipnya tidak berbeda, alias sama dengan KBK dan KTSP. Penilaian dengan menggunakan rubrik penilaian sudah ditekankan dalam KBK dan KTSP, sekalipun karena berbagai kerumitan yang dihadapi dalam praktik, akhirnya disederhakan dengan berbagai varian. Penilaian dalam K13 justeru tidak konsisten, sebab setiap kompetensi (K1-K4) belum tentu relevan dengan semua tema yang dipelajari. 
6.  Pengembangan Kompetensi
Perbedaan mendasar K13 dari KBK dan KTSP juga diklaim berdasarkan pengembangan kompetensi yang sebelumnya berbasis mata pelajaran menjadi didasarkan kada Kurikulum Inti (KI). Faktanya, buku-buku pelajaran K13 tidak demikian. KD pembelajaran masih berdasarkan mata pelajaran. Hal ini dapat dicermati dari sub tema yang dikembangkan dalam buku-buku K13 persis sama dengan mata pelajaran. Yang terjadi sebenarnya bahkan pemaksaan materi pelajaran (sub tema) dengan tema yang telah ditetapkan, padahal sub tema tersebut tidak jelas relevansinya dengan tema. Pada kelas 1, kompetensi yang dikembangkan dalam tema dan subtema mungkin masih relevan dalam banyak hal, tetapi tidak selalu demikian untuk kelas IV. Sebagai misal, materi Kenampakan Alam (IPS) disambungkan dengan Garis Bilangan (Matematika) yang berdasarkan buku terbitan pemerintah jelas tidak jelas relevansinya. Kalaupun relevan, belum tentu setiap guru mampu mengkaitkan keduanya. 

Sabtu, 22 Februari 2014

KETERAMPILAN TEKNIS DAN SOSIAL; 2 FUNDAMENTAL KETRAMPILAN HIDUP

Kurikulum pendidikan dari waktu ke waktu mengalami perubahan demi perubahan. Tujuan perubahan tersebut tidak lepas dari tingginya harapan yang disandarkan pada dunia pendidikan. Banyak konsep ditawarkan, tetapi tak ada yang memuaskan semua pihak. Beragam kompetensi dirumuskan tetapi hanya beberapa yang dapat diwujudkan.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi serta mengamati sikap dan perilaku guru di sekolah, saya menyimpulkan bahwa pada dasarnya hidup hanya membutuhkan 2 ketrampilan, yang saya istilahkan dengan keterampilan teknis dan keterampilan sosial. Mungkin kedua istilah tersebut tidak tepat, tetapi saya belum menemukan istilah lain yang lebih representatif.
1.  Ketrampilan Teknis 
Keterampilan teknis adalah kemampuan seseorang melaksanakan bidang tugas yang dihadapi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang disebut tukang, ahli atau pakar di bidangnya. Sebagai misal, kemampuan pelajar menguasai mata pelajaran dan mengerjakan soal ujian, tukang kebersihan membersihkan halaman, seorang pakar menganalisis masalah, dokter menangani pasien, sopir menjalankan kendaraan dan sebagainya. 
Kemampuan ini memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tersebut menentukan nilai keahlian seseorang. Keterampilan teknis menentukan nilai keterpercayaan seseorang di hadapan orang lain yang membutuhkan. Kemampuan tukang kayu membuat mebeler dan teknisi mereparasi kendaraan memungkinkannya dibutuhkan dan dihargai oleh mereka yang mempekerjakan. Kemampuan siswa mengerjakan soal ujian akan menentukan nilai yang diberikan oleh guru atau dosen kepadanya.
Sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan pada dasarnya hanya menekankan pembinaan keterampilan teknis. Siswa dilatih untuk mampu mengerjakan soal melalui proses pembelajaran, Pelajaran seni dan keterampilan mengajarkan kemampuan menerapkan bidang tersebut. Semakin tinggi tingkat penguasaan materi pelajaran menentukan level keberhasilan seseorang. 
2.  Ketrampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang untuk membangun relasi dan berkomunikasi dengan orang lain di sekitarnya, dan membuatnya diterima, dihargai, didengar, disukai atau bahkan diikuti oleh orang lain. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang meraih keberhasilan dalam hidup.
Keterampilan ini bersifat seni dalam arti luas, yaitu dari sisi keunikan kreasi manusia. Dalam hal ini seni dipahami sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang bersifat unik sesuai dengan kekhasan pribadi dan kecenderungan hidup seseorang. Itu sebabnya, bagaimana seseorang mengekspresikan kemampuan ini dengan cara yang berbeda-beda.
Keterampilan ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, meski di sekolah tidak diajarkan. Orang yang paling membutuhkan keterampilan ini adalah para politisi, sales, atau pedagang. Profesi politisi tidak begitu banyak membutuhkan keahlian di bidang keilmuan tertentu, bahkan orang yang tidak begitu sukses tak jarang berhasil menjadi politisi dan pemimpin ulung. 
Mereka lebih banyak mengandalkan kemampuan menempatkan dirinya agar diterima, disukai, dan dipilih oleh rakyat. Adapun hal-hal yang berbau teknis diserahkan pada orang lain yang mempunyai keahlian teknis. Kepiawaian mereka mendekati dan meyakinkan orang lain lebih menentukan dibanding keterampilan teknis.
Pedagang dan salen yang sukses pada umumnya juga mempunyai keterampilan sosial yang tinggi. Teknik dagang pada dasarnya  sederhana yaitu ada barang, dipajangkan, dibeli orang, dan untung, tetapi nyatanya tak semua orang yang membuka toko mampu menarik pelanggan.
Mana Yang Lebih Penting?
Tidak ada patokan baku mengenai mana yang lebih penting, sebab sebagaimana contoh-contoh di atas, ada yang memiliki keterampilan teknis tinggi berhasil dan pula yang gagal. Ada lagi yang berhasil hanya dengan mengandalkan keterampilan sosial, tetapi ada pula yang tidak.
Secara umum, keterampilan teknis pada umumnya merupakan keterampilan yang perlu dibekalkan pada setiap anak manusia, sebab keterampilan ini merupakan keterampilan yang paling dasar dan secara alamiah dibutuhkan manusia untuk hidup. Bahkan di tengah kesendirian, seseorang perlu memiliki keterampilan teknis dalam memanfaatkan segala hal di sekitarnya agar dia tetap bertahan hidup. Sedangkan keterampilan sosial diperlukan bagi manusia saat berhadapan dengan manusia lainnya.
Di tengah percaturan sosial yang kian kompleks saat ini, keterampilan teknis saja biasanya tidak memadai untuk meraih sukses. Teknisi mesin yang sangat ahli belum tentu mendapat pekerjaan bila sikap dan tutur katanya mengecewakan orang lain. Teknisi yang baru berlajar mungkin lebih diterima karena sikap, turut kata dan perilakunya membuat sang majikan nyaman mempekerjakannya.
Di lembaga-lembaga modern paduan keduanya menjadi penekanan, tetapi sisi keterampilan sosial biasanya lebih ditekankan. Aspek keterampilan sosial biasanya tampak pada penekanan layanan prima (service axcellence), misalnya dengan sikap yang ramah, jawaban yang menyejukkan, hingga berbagai fasilitas yang mampu mengurangi kekecewaan pelanggan. Keterampilan sosial sering kali mampu menutupi keterampilan teknis yang kurang memadai, meski tidak ada pendidikan yang secara khusus menyediakan materi ini secara khusus. 

Senin, 18 November 2013

4 MODEL KELEMBAGAAN SEKOLAH SWASTA

Sekolah swasta merupakan entitas yang unik. Setiap sekolah memiliki sejarah berdiri dan perkembangan yang berbeda-beda, yang mengakibatkan pola managemen mereka berbeda satu sama lain. Secara umum pola managemen tersebut dapat dipilahkan menjadi empat model berikut, di mana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
1.      Tanpa Patron
Ini adalah model managemen sekolah yang tidak memiliki lembaga managemen yang membawahi managemen sekolah. Sekolah seperti ini biasanya berdiri dan berkembang atas inisiatif sekelompok orang yang sekaligus berperan sebagai guru dan pengelola sekolah.
Lembaga atau yayasan yang membawahi biasanya dibentuk kemudian sekedar sebagai persyaratan administratif, terutama terkait dengan aturan hukum. Lembaga atau yayasan tersebut tidak memiliki peran selain administratif dan formalistik, sebab pada dasarnya keberadaannya hanya sebagai formalitas.
Termasuk dalam kategori ini adalah berbagai sekolah atau madrasah di berbagai pelosok daerah yang status hukumnya diatasnamakan lembaga pendidikan Ma’arif dan Muslimat NU. Lembaga-lembaga tersebut hanya berperan sebagai afiliasi organisasi, tetapi secara managemen tidak berperan menentukan visi, misi, dan apalagi sistem dan pembiayaan.
Kelebihan sekolah tipe ini terletak pada “kebebasan” guru dan pengelola sekolah. Mereka tidak tertuntut oleh target-target tertentu dari lembaga yang membawahi, sebab lembaga tersebut tidak lebih tahu urusan sekolah. Hanya saja, kebanyakan sekolah tipe ini tidak berkembang, bahkan kebanyakan menempatkan diri sebagai sekolah “buangan” bagi siswa yang tak diterima di sekolah negeri. Ini dikarenakan guru dan pengelola sekolah menjadi pemikir dan sekaligus pelaksana pengelolaan sekolah. Sekolah tipe ini umumnya rawan konflik, terutama dalam hal rekrutmen tenaga dan saat pergantian kepala sekolah.
2.      Patron Simbolik
Sekolah model ini pada dasarnya mirip dengan sekolah tanpa patron. Hanya saja, antara sekolah dan lembaga atau yayasan memiliki hubungan yang relatif dekat dengan guru dan pengelola sekolah. Pengelolaan sekolah sepenuhnya di tangan sekelompok guru dan pengelola sekolah meski keberadaan sekolah berdiri dan berkembang atas inisiatif seseorang atau komunitas sosial di sekitarnya.
Sebagian sekolah dan madrasah yang berafiliasi pada lembaga pendidikan Ma’arif dan Muslimat NU berpola managemen seperti ini. Perbedaan model ini dan sebelumnya terletak pada kedekatan inisiator pendirian sekolah dengan guru dan pengelola sekolah, yang memungkinkan dukungan dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
Inisiator pendirian sekolah pada dasarnya tidak tahu menahu detail pengelolaan sekolah dan hanya berperan sebagai pendukung pasif, terutama bilamana ada kegiatan besar seperti pengadaan gedung baru. Patron sekolah berperan menggerakkan dukungan sosial guna membantu mewujudkan kebutuhan sekolah.  
Kelebihan dan kekurangan sekolah tipe ini hampir sama dengan sekolah tanpa patron. Sebagian sekolah dapat berkembang pesat dari segi jumlah siswa, karena dukungan masyarakat yang kuat. Sekolah tertentu biasanya menjadi kebanggaan karena jumlah siswanya, meski honorarium gurunya biasanya tak begitu besar. Hanya saja, sekolah tipe ini umumnya rawan konflik, terutama dalam hal rekrutmen tenaga dan saat pergantian kepala sekolah.
3.      Semi Patron
Sekolah tipe ini pada dasarnya juga berjalan sepenuhnya di tangan guru dan pengelola sekolah, tetapi pendiri sekolah memiliki pengaruh besar terhadap sikap, perilaku guru dan pengelola sekolah, maupun kebijakan penting di sekolah. Inisiator dan pendiri sekolah berperan menentukan berbagai kebijakan strategis mulai dari menentukan visi dan misi, kebijakan pendidikan, hingga kriteria-kriteria guru dan pengelola sekolah.
Ini terjadi dikarenakan sang inisiator merupakan pihak yang memiliki posisi hukum kuat dan berperan dalam menyediakan berbagai sarana dan pembiayaan. Berdirinya sekolah terjadi akibat inisiatif seseorang atau komunitas, yang hanya dapat berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan besar, tetapi kurang mampu mengelola urusan teknis di sekolah.
Sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah dan sekolah atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh para tokoh dan artis pada umumnya menganut model seperti ini. Guru dan pengelola sekolah memiliki kebebasan penuh dalam menentukan berbagai kebijakan sekolah, selama tidak berseberangan dengan garis besar kebijakan sang “pemilik” sekolah.
Sekolah tipe ini biasanya memiliki program dan kebijakan yang lebih terarah karena dukungan tokoh atau organisasi yang kuat. Managemen sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sekolah, kecuali bila menyimpang dari kebijakan pemilik sekolah. Sebagian sekolah dapat berkembang menjadi sekolah favorit, tetapi sebagian lagi sulit berkembang karena tokoh atau lembaga yang membawahi kurang mampu memberikan arahan yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
4.      Patron Penuh
Sekolah tipe ini pada umumnya dikelola dengan kriteria yang ketat, mulai dari visi, misi, program kurikulum hingga pembiayaan yang secara detail dirancang dan kendalikan oleh lembaga pendiri dan pemilik sekolah. Sekolah tipe ini biasanya berdiri atas inisiatif seseorang atau komunitas di mana sang inisiator berperan dalam pengelolaan sekolah secara menyeluruh. Selain menentukan visi, misi dan sistem kerja secara luas, lembaga atau yayasan yang membawahi sekolah merancang dan mengendalikan pengelolaan sekolah hingga aspek yang paling detail.
Pengelola sekolah sepenuhnya berperan layaknya manager perusahaan atau kepala sekolah negeri yang segala kebijakan, sikap dan keputusannya harus dikonsultasikan dengan lembaga atau dinas yang membawahi. Sekolah-sekolah swasta bonafide yang berkembang pada kurun sekitar menjelang tahun 2000-an dan sesudahnya pada umumnya menganut model ini.
Sekolah didirikan sebagai hasil rancangan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keahlian di bidang pendidikan, yang mampu merancang dan mengendalikan pengelolaan sekolah hingga aspek yang sangat detail. Guru dan pengelola sekolah pada dasarnya hanya instrumen pengelolaan yang bertugas mewujudkan visi, misi dan kebijakan pemilik sekolah.

Sekolah tipe ini umumnya menempatkan diri sebagai sekolah favorit dengan biaya mahal. Kuatnya managemen menjadikan sekolah mampu memberikan jaminan mutu yang terpercaya di masyarakat. Hanya saja, ketatnya managemen membuat sekolah ini membutuhkan guru dan pengelola sekolah dengan kriteria dan pola kerja yang ketat. Meski mampu memberikan honorarium lebih baik dibanding sekolah kebanyakan, tetapi tak semua orang yang memilih profesi guru memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk mengelola sekolah seperti ini.

Minggu, 20 Oktober 2013

2 PRINSIP PENGELOLAAN KEUANGAN SEKOLAH SWASTA

Keuangan sering kali menjadi masalah menonjol di sekolah, bahkan tidak jarang jauh lebih menonjol dibanding persoalan akademik yang sebenarnya merupakan fokus utama sekolah. Banyak orang begitu mudah meributkan masalah keuangan, tetapi jarang dijumpai mereka yang mempersoalkan kualitas pembelajaran maupun sikap dan perilaku siswa-siswi di sekolah.
Barangkali uang sudah menjadi raja - ada yang menyebut Tuhan - dalam kehidupan. Apapun masalah yang terjadi, sebenarnya yang melatarbelakangi hanya persoalan uang, kata Slank UUD (ujung-ujungnya duit). Makna pengabdian bagi sebagian guru, kepala sekolah dan wali murid semakin pudar oleh uang. Dimensi spiritual pendidikan semakin luntur akibat dasar dan orientasi hidup sudah beralih kepada uang.
Itu sebabnya penyelenggara dan pengelola sekolah harus bijak dalam memanfaatkan sumber dana yang masuk demi kemaslahatan sekolah. Pada prinsipnya, pengelolaan keuangan sekolah memiliki 2 tujuan pokok:
1.  Agar Kegiatan Pendidikan Berjalan Sesuai Program
Lembaga pendidikan harus mampu mendayagunakan sumber pemasukannya pertama-tama untuk membiayai kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Biaya kegiatan ini dapat disebut dengan biaya operasional, yaitu biaya yang dibutuhkan untuk membuat sekolah dapat beroperasi dengan baik.
Besaran biaya operasional tentu saja harus secara timbal balik disesuaikan dengan target program dari setiap sekolah. Di sisi lain, program dan kegiatan sekolah juga harus memperhatikan besaran sumber dana yang dimiliki, yaitu sebesar pengeluaran optimal yang mungkin dikeluarkan berdasarkan sumber pemasukan, yang rata-rata sebesar 50% sampai 75% dari total pemasukan.
2.  Agar Lembaga Pendidikan Terus Berkembang
Sekolah swasta sebaiknya tidak menghabiskan seluruh pemasukan sekolah untuk biaya operasional karena sudah pasti akan membuat sekolah tidak berkembang. Sekolah harus mengalokasikan sebagian pemasukannya untuk keperluan pengembangan sekolah, yaitu usaha untuk membuat kualitas dan kuantitas pelayanannya ditingkatkan.
Secara sederhana dapat dijelaskan, bila sekolah mampu mengalokasikan anggaran pengembangan sebesar 10% misalnya, maka pengembangan sekolah akan meningkat sebesar 10% setiap tahun. Pengembangan tersebut dapat berupa pengembangan sarana-prasarana, program, penelitian bahkan pembukaan sekolah baru..
Ini diperlukan mengingat sekolah swasta tidak mungkin bergantung pada siapapun kecuali pada dirinya sendiri. Sekolah swasta bahkan tidak selayaknya menggantungkan harapan pada kebaikan hati pemerintah, terlebih di tengah carut-marutnya sistem politik dan pemerintahan akhir-akhir ini. Bahkan ada baiknya sekolah swasta melepaskan sama sekali campur tangan pemerintah di bidang pembiayaan, semisal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) karena hanya membebani sekolah dibanding membantu meringankan beban.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...