Rabu, 09 Desember 2009

GURU ITU LAKSANA NABI

Misi utama guru adalah mencerdaskan, mencerahkan, dan membebaskan anak manusia dari kebodohan. Misi tersebut kurang lebih sama dengan misi yang diemban oleh para nabi dan rasul. Oleh karena itu, kadaa ayyakunal mu’allimu rosuula, yang berarti “guru itu laksana rasul”.
Hal ini sejalan dengan tinjauan ilmu jiwa (psikologi) pendidikan, bahwa idealnya seorang guru adalah manusia berkepribadian profetik (kenabian), yaitu orang baik, berilmu dan jiwanya terpanggil untuk mendidik orang lain.
Sebagaimana nabi, mereka memiliki mental dan kepribadian jujur (shiddiq), cerdas (fathonah), penyampai/pengajar yang baik (tabligh), dan konsekwen (amanah). Sebagaimana halnya para nabi, mereka memiliki pengetahuan dan ditunjang dengan jiwa perjuangan penuh keikhlasan.
Di kampung-kampung, kita pasti sering menjumpai orang yang dengan suka rela mengajari anak-anak mengaji, beribadah, dan berbagai ketrampilan. Mereka melakukannya tanpa ada yang menyuruh, tidak ada yang membayar, tidak membuatnya dipandang istimewa, bahkan tidak jarang dibenci oleh orang sekitar. Meski demikian, mereka tetap bersemangat mengajar dan melakukan segala cara agar anak didiknya menguasai apa yang dia ajarkan.
Mereka adalah orang yang berusaha mencerdaskan orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Mereka itulah sebagian diantara gambaran orang-orang yang memiliki jiwa keguruan, jiwa kenabian meski bukan nabi.
Bagaimana dengan guru-guru di sekolah? Apakah mereka juga termasuk ke dalam kategori guru yang demikian? Jawabannya tentu sangat tergantung pada yang bersangkutan. Bilamana guru di sekolah bekerja karena panggilan hati nurani dan bukan semata karena imbalan materi, mengedepankan pengabdian dan menyisihkan ego, serta berambisi tinggi untuk membuat anak didiknya pandai, tentu saja mereka termasuk guru-guru profetik.
Sebagai manusia normal, mereka tentu membutuhkan uang, tetapi mereka bekerja bukan semata-mata demi uang. Pada mayoritas sekolah swasta dapat dijumpai guru-guru yang hanya dibayar kurang dari 100 ribu/bulan, tetapi itu tidak sedikitpun mengurangi semangat pengabdian mereka.
Guru-guru teladan pemerintah, dan guru-guru yang memiliki kontribusi luar biasa pada anak didik pada umumnya juga tidak terlalu mentereng secara ekonomi. Guru-guru pesantren besar bahkan masih banyak yang tetap semangat meski hanya diberi imbalan uang sabun. Soal kesejahteraan (ma’isyah) mereka bersandar pada prinsip in tanshurullah yanshur kumullah, bila kamu menolong Allah, Allah pasti menolongmu.
Meski demikian, memang ada orang yang sebenarnya tidak memiliki jiwa keguruan, tetapi menjadi guru hanya karena panggilan nasib, tidak punya pekerjaan. Di sekolah, mereka inilah yang biasanya suka meributkan masalah kesejahteraan materi dan miskin semangat perjuangan. Guru yang demikian sebaiknya tidak menjadi guru dan berada di sekolah, sebab mental dan kepribadiannya dapat berpengaruh buruk pada anak didik.
Guru yang berkepribadian keguruan, guru bermental kenabian, atau guru yang profetik tidak akan merendahkan kemuliaan tugasnya. Meski gaji mereka tidak banyak, mereka tidak akan rela bila dibanding-bandingkan dengan gaji buruh bangunan atau makelar kambing, karena nilai perjuangan mereka jauh lebih berharga dibanding apapun.
Selamat hari guru.

Kamis, 29 Oktober 2009

SEDIKIT KEKACAUAN DI DARUSH SHOLIHIN

Ini hari terhebat yang pernah aku lalui dalam mengelola lembaga Darush Sholihin. Kelihatannya kali ini baru benar-benar masalah.
Mengingat kinerjanya yang jauh dari memadai selama ini, akhirnya aku memberhentikan pak Helmi dari jabatan kepala sekolah dan memutasikan dia ke jabatan personalia yayasan. Ini benar-benar keputusan dengan pertimbangan profesionalitas saja, tidak lebih.
Pak Helmi memiliki kelebihan menonjol di bidang leadership dan kompetensi sosial. Itu sebabnya dia mampu menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan banyak orang, terutama wali murid dan pejabat dinas pendidikan.
Masalahnya, kompetensi profesi yang dia miliki, baik berupa kompetensi edukatif, managemen, dan administratif sama sekali tidak memadai. Sekian tahun menjadi kepala sekolah, dia belum sekalipun mampu menyusun program kerja, bahkan untuk sub tugas pokok saja, program pembelajaran.
Dia tidak tahu administrasi keuangan, tidak tahu teknis pelaporan BOS, tidak tahu bagaimana melaksanakan supervisi. Praktis, semua tugas yang seharusnya menjadi bidang tugasnya, menjadi beban kami. Sementara itu setiap sukses yang diperoleh sekolah, dialah yang mendapatkan nama baik. Ironisnya, ini dia jadikan “senjata” untuk melawan keputusanku secara diam-diam.
Keputusan ini sendiri, secara ekonomis sebenarnya tidak merugikannya. Gajinya tidakberkurang. Dia bahkan bisa kerja sambilan diluar Darush Sholihin.
Hanya saja, rupanya masalah ini baginya bukan semata masalah uang, melainkan harga diri. Status sebagai kepala sekolah ternyata begitu berarti baginya. Dia hanya memiliki satu di antara dua pilihan. Jadi kepala sekolah atau tidak sama sekali.
Pak Helmi rupanya tidak terima atas keputusanku untuk memberhentikannya dari jabatan kepala sekolah. Secara diam-diam dia menggerakkan emosi wali murid yang dekat dengannya untuk menentang keputusanku. Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan aku hadapi Sabtu besok.
Sikap sebagian wali murid menjadi tidak proporsional lagi dalam menyikapi keputusan ini, sebagaimana pak Helmi yang tidak bersedia melihat duduk permasalahan yang sebenarnya. Mereka menyikapi keputusan ini dengan mengedepankan emosi, sebagaimana halnya pak Helmi, apalagi istrinya, bu Yuli.
Yang jelas, aku tetap pada pendirianku. Aku harus mengakhiri praktik managemen sekolah yang menjadikan aku sebagai tumbal. Kepala sekolah harus bertanggung jawab sendiri terhadap pelaksanaan tugasnya.
Bagiku tidak pernting lagi, sekolah ini maju atau tidak. Apa untunya bagiku bila sekolah ini maju, sementara aku hanya jadi tumbal bagi nama baik orang lain? Aku yang bersusah payah, sementara orang lain yang sebenarnya tidak becus mengelola lembaga pendidikan menikmatinya. Lebih parah lagi, semua yang aku lakukan dan membesarkan namanya, dia gunakan sebagai senjata untuk melawanku.
Harus tegar
Aku tidak punya pilihan lain selain harus tegas dengan keputusan ini. Aku tidak mungkin tunduk pada mereka yang hanya mengedepankan emosi. Aku tidak mungkin menyerah pada mereka yang sebenarnya hanya “mbelani” pertemanan.
Aku yang tahu masalahnya. Aku pula yang harus menyelesaikannya. Mungkin akan ada beberapa kerugian yang harus kutanggung akibat prahara ini, tapi aku yakin, di setiap bencana selalu ada yang tersisa. Dari sanalah aku akan memulai kembali hidupku.
Aku yakin, inilah cara Tuhan memberikan jalan terbaik. Merekrut orang-orang gila hormat sangat beresiko, dan ini merupakan langkah kecil untuk membersihkan penyakit ini dari kehidupan lembaga pendidikanku ini. Semoga saja.

Rabu, 26 Agustus 2009

UP GRADE DAN PENATAAN ULANG

Setelah 10 tahun berjalan, terhitung sejak tahun 2000, lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Darush Sholihin mengalami berbagai dinamika pasang dan surut. Berbagai kemajuan dan masalah di hadapi oleh lembaga pendidikan ini, baik secara internal maupun eksternal.

Secara internal, lembaga pendidikan ini telah memiliki keunggulan program kurikulum yang cukup diterima oleh masyarakat. Padahal efektifitasnya berdasarkan standar jaminan mutu (quality insurance) internal baru mencapai kurang dari 60% dari target yang ditetapkan semula.
Oleh karena itu, aspek ini memerlukan pengokohan kembali agar berbagai tawaran program tersebut benar-benar efektif dan memiliki jaminan mutu (quality insurance) yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah, institusional, maupun sosial.

Aspek krusial yang juga bernasib sama adalah kualitas pengelolaan organisasi, sistem layanan dan personalia. Meski dengan kondisi yang semakin membaik dari tahun ke tahun, tetapi juga masih diperlukan penataan kembali agar dapat memberikan sinergi secara positif.

Dari segi animo masyarakat, lembaga pendidikan ini sudah memiliki tempat tersendiri di tengah masyarakat. TKIT Darush Sholihin yang merupakan rintisan pertama telah memiliki "pasar" peminat yang cukup kokoh, terbukti dari animo masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan selama 3 tahun terakhir jumlah peminatnya jauh melampaui kapasitas ruang yang dimiliki.

Meski dengan animo yang belum sebesar unit TK, namun peminat unit Play Group dan SD Islam
Darush Sholihin pada dasarnya sudah cukup positif. Hanya saja harus diakui bahwa untuk 2 unit terakhir memerlukan usaha ekstra keras agar lebih mampu memberikan kepuasan layanan serta menunjukkan keunggulan kualitas produk pendidikannya.

Oleh karena itu, momen 10 tahun Darush Sholihin merupakan kesempatan strategis untuk meningkatkan (up grade) lagi pelayanannya pada masyarakat. Apalagi berbagai perkembangan, di samping berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi saat ini menuntut penyelenggara dan pengelola lembaga segera meresponnya dengan langkah-langkah strategis guna meningkatkan kinerja pendidikan lembaga ini.

Upaya penataan dan peningkatan tersebut diarahkan pada beberapa aspek krusial dan menyeluruh, mulai dari organisasi, personalia, program maupun pengembangan sarana dan prasarana yang diperlukan. Melalui upaya ini diharapkan visi lembaga, menjadi lembaga pendidikan profesinal dan terpercaya benar-benar dapat diwujudkan.

Senin, 20 April 2009

UASBN DAN MATA BANDENG

wBeberapa hari yang lalu, kepala sekolah di lembagaku melapor. "Pak, saya tadi baru ikut sumpah"
"Sumpah apa?"
"Sumpah UAN"
"Sumpah UAN?"
"Kita disumpah untuk menjamin mutu pelaksanaan UAN"
"Hmm..."

"Masalahnya sumpah sesudah sumpah itu"
"Lho, sumpah apa lagi?" tanyaku kaget.
"Kita juga disumpah untuk menjaga rahasia"
"Rahasia apa?" tanyaku.


Sejenak kepala sekolah itu diam, lalu menjelaskan. "KKS gugus ini merasa malu, nggak enak hati. Gugus sekolah kita ini kan yang paling menonjol di wilayah ini. Kita selalu dijadikan prioritas semua program, berbagai fasilitas "istimewa" dinas pendidikan, termasuk di antaranya penempatan proyek DBE, tapi dalam UASBN selalu kalah dibanding sekolah-sekolah di pingiran yang tidak jadi prioritas dan tidak pula mendapat fasilitas seperti halnya gugus ini. Oleh karena itu, guru-guru kita yang ditunjuk menjadi pengawas UABN diinstruksikan untuk menggunakan
mata bandeng"
"Mata bandeng?" tanyaku keheranan.
"Iya. Matanya melorok, tapi (pura-pura) nggak melihat apa-apa" Serentak kami tertawa kecut.

"Saya jadi serba salah. Mengikuti mereka bertentangan dengan kebijakan yayasan agar siswa mengerjakan soal UABN secara mandiri, murni hasil kerja siswa, tapi tidak mengikuti mereka pasti membawa konsekwensi yang tidak enak bagi saya dan mungkin juga sekolahan kita. Masalahnya lagi, kalau anak-anak (siswa sekolah kami) kita biarkan bekerja secara murni, bisa-bisa nilai mereka nanti di bawah nilai siswa sekolah lain" Paparnya.

Sejenak aku terdiam. Aku teringat peristiwa yang sama sejak beberapa tahun silam, yang rupanya terulang dan terulang lagi. Sekolah-sekolah di pinggiran selalu mendapatkan nilai yang baik dalam UABN. Hal ini dikarenakan fokus perhatian para pengawas independen dan masyarakat terfokus pada sekolah di gugus ini, sementara guru-guru di sekolah pinggiran dapat dengan leluasa mengajari siswa-siswinya mengerjakan soal UABN. Akibatnya, nilai UASBN siswa sekolah di gugus ini selalu lebih rendah dibanding sekolah-sekolah pinggiran.

Mereka memang tidak segan-segan masuk kelas, meski ada pengawas dari sekolah lain. Guru-guru di sekolahku selalu mengeluh bila harus menjadi pengawas ujian di sekolah-sekolah itu. "Masa, guru-guru sekolah itu sama sekali tidak segan sama kita (pengawas ujian). Dengan santainya, mereka bilang, permisi pak, lalu masuk kelas dan mendiktekan jawaban pada siswa" jelas pak Din, guru sekolahku waktu itu.

Pak Nanang dan bu Khotim juga sempat jadi bahan pembicaraan di lingkungan dinas pendidikan karena menegur siswa yang mencontek saat UABN. Mereka bukannya menghargai ketegasan pengawas, melainkan mencaci maki di depan forum guru dan dipermalukan KKG. Katanya, guru-guru sekolah kami terlalu ketat, dan menyebabkan siswa menjadi tegang saat ujian.

Dunia sudah kebalik-balik. Yang benar dan yang baik malah disalahkan, dibenci, dimusuhi, sementara yang buruk justeru didukung. Pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran, justeru sebaliknya. Sejak dini anak-anak kita sudah diajarkan untuk tidak jujur, korup.

Sulit dibayangkan, bagaimana bila mereka besar kelak? Akankah mereka jadi orang baik, atau menjadi penerus generasi korup? Ironis, tragis, menyedihkan. Masa depan mereka telah dikorbankan demi ambisi dan nama baik guru-guru dan pejabat dinas yang tidak memiliki tanggung jawab moral yang positif.

Serba salah rasanya berada di
jaman edan. Nggak edan nggak keduman. Mau lapor juga nggak tahu, lapor sama siapa? Lapor dinas? Mustahil dan sama saja mencari perkara, karena instruksi itu sebenarnya dari mereka juga. Melaporkan masalah macam ini di daerah seperti ini bisa-bisa malah mencelakakan diri sendiri. Kita pasti dimintai bukti dan saksi, bahkan bisa-bisa dituduh mencemarkan nama baik. Repot!!!

"Lalu kita mesti gimana?" tanya kepala sekolah yang sedari tadi menunggu responku.
"Tetap seperti biasanya" jawabku tegas.
"Dengan segala konsekwensinya?"
"Ya. Mungkin sampai saat ini kita belum bisa memberikan (mengajarkan) sesuatu yang berarti bagi anak-anak kita, karena itu jangan sampai kita mengajarkan kebohongan pada mereka"

"Bagaimana dengan wali murid?"
"Wali murid kita adalah orang-orang pintar. Mereka sudah tahu. Mereka pasti sudah mendengar itu semua. Kalau ada yang belum bisa mengerti, maka tugas kita memberikan pengertian pada mereka. Percuma saja, kita bersusah payah membangun sekolahan yang menguras tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit ini, bila ujung-ujungnya hanya mengajarkan kebohongan. Kalau ada yang tidak setuju, biarkan mereka ikutan korup bersama guru dan sekolah yang lain, bukan dengan kita"

"Masalahnya lagi, untuk masuk SMP di sini tidak boleh melakukan tes"
"Biar saja..."
"Terus kalau nilai anak-anak tidak kompetitif bagaimana?" tanyanya lagi.

Sejenak aku terdiam. Bagaimanapun ini bukan semata soal mengajarkan kejujuran, tapi juga menyangkut masa depan mereka. Sialnya, pemerintah daerah kabupaten Nganjuk memang melarang penerimaan siswa baru SMP melalui jalur tes. Usulan guru-guru SMP agar penerimaan siswa baru dilakukan melalui tes dimentahkan oleh DPRD periode sekarang.

Padahal guru-guru SMP rata-rata sudah tahu bahwa nilai UASBN SD rata-rata, tidak murni, bukan hasil tes yang jujur, hasil korupsi. Berdasarkan hasil seleksi calon siswa baru atas dasar nilai UASBN beberapa tahun terakhir mereka mendapati banyak siswa yang nilai UABN-nya tinggi, ternyata tidak menjamin kesiapan mereka menjalani pendidikan tingkat SMP.

Untuk membentengi ulah korupnya, sejak awal guru-guru SD menentang keras keterlibatan guru SMP sebagai pengawas ujian. "Wah..., ada apa ini?" Itulah komentar serempak mereka pada waktu kepala dinas setempat mensosialisasikan rencana penggunaan guru SMP sebagai pengawas UABN SD/MI. Akhirnya rencana itupun mentah di tangan guru-guru SD/MI, dan penyelewengan akademik tersebut terus berlanjut hingga detik ini.

Sial. Rupanya yang berotak korup tidak hanya guru, tapi juga DPRD dan Pemdanya. Aku jadi bimbang mikir nasib anak didikku. Andai saja hari ini aku sudah bisa menyediakan sekolah lanjutan buat mereka, mungkin akan lebih mudah menghadapi situasi ini.

"Begini saja. Kita undang wali murid. Kita beritahu kondisi yang kita hadapi, prinsip kita. Mudah-mudahan mereka bisa mengerti"
"Wah..., nanti bisa bocor sumpah kedua kita"
"Ah..., itu kan sumpah yang buruk, harus dilanggar"
"Jadi kita konfrontasi?"
"Tidak. Kita hanya melakukan yang seharusnya kita lakukan. Yang pasti, kita harus pastikan agar anak-anak bisa berusaha melakukan yang terbaik. Kalaupun mereka tidak diterima di SMP sekitar sini, sebenarnya mereka juga tidak rugi. Kalau
raw input SMP seperti ini, kurasa itu bukan SMP yang baik buat mereka, kan? Dan kalau bisa, kita dorong mereka agar melanjutkan pendidikan di luar Nganjuk saja. Mungkin di Kediri, Gontor atau sekolah plus lain yang lebih kredibel"

Kepala sekolah hanya terdiam. Aku tahu dia masih gamang dengan keputusanku, meski tak punya alasan untuk menolaknya. Ini memang keputusan yang berat. Di tengah budaya yang penuh angkara, kejujuran memang bukan hal mudah untuk dilakukan.

Jumat, 27 Maret 2009

POLITIK DAN LEMBAGA PENDIDIKAN

Di masa-masa kampanye seperti saat ini, partai-partai politik, dan terutama sekali para calon legislatifnya (caleg) berlomba-lomba menggalang dukungan ke berbagai kelompok masyarakat. berbagai cara, berbagai bentuk pendekatan mereka lakukan dalam rangka menggalang dukungan pemilih yang akan membantunya dapat duduk di kursi parlemen.

Selain dengan memasang gambar, buku, leaflet dan program, mereka mendekati kelompok-kelompok sosial, organisasi-organisasi sosial, bahkan perorangan dalam rangka menambah pundi-pundi suara pemilih. Tidak terkecuali, lembaga pendidikan juga pasti menjadi salah satu sasaran meraup suara dalam Pemilu bulan April nanti.

Sebagai lembaga sosial, mestinya lembaga pendidikan tidak seharusnya berafiliasi pada partai politik atau caleg tertentu. Mereka dituntut netralitasnya di saat hampir-hampir tidak ada satu kelompok masyarakatpun yang mampu bersikap netral di tengah hiruk-pikuk perpolitikan.

Persoalannya, lembaga pendidikanpun, khususnya swasta, seringkali tidak mampu benar-benar menjaga netralitas tersebut. Pengelola lembaga pendidikan seringkali tidak dapat menghindar menjauh dari berbagai kelompok politik maupun perorangan yang datang meminta dukungan.

Menghindari tamu atau menolak sama sekali untuk berinteraksi dengan mereka tentu bukan sikap yang bijaksana. Bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang sebagian atau seluruhnya jelas memiliki akses dan kans terhadap kekuasaan jauh lebih kuat dibanding pengelola lembaga pendidikan. Kalau ada di antara mereka yang di kemudian hari ternyata berhasil merebut kursi DPR, maka bisa-bisa akan menimbulkan masalah yang runyam seperti dihadapi Darush Sholihin selama 5 tahun terakhir.

Karena tidak ada dukungan dari legislatif sama sekali, nyaris tidak satu rupiahpun dana APBD sampai ke lembaga ini. Bahkan ketika terjadi musibah seperti dialami santri lembaga ini beberapa tahun yang lalu, pengelola lembaga sama sekali tidak mampu mengharap bantuan dari pemerintah. Bahkan hampir semua anggota dewan malah mencemooh, dan bukan bersimpati.

Sementara itu, mendukung partai politik atau caleg tertentu secara terbuka juga bukan sikap bijaksana. Beberapa wali murid, bahkan guru merupakan pendukung partai politik tertentu, bahkan sebagian menjadi caleg partai politik yang berbeda-beda.

Hal ini tentu membutuhkan kejelian dalam mengambil sikap. Bagaimanapun carut-marutnya situasi politik akhir-akhir ini menyediakan pilihan yang di sisi menguntungkan, meski juga tidak sedikit kerugiannya.

Dengan carut-marutnya pilihan politik, lembaga jadi kesulitan untuk menentukan pilihan, setiap saat ada wakil-wakil partai atau caleg minta dukungan. Mendukung salah satu bisa jadi masalah bagi yang yang tidak didukung. Oleh karena itu, ada satu prinsip yang kiranya perlu ditegaskan. Kalau lembaga tidak diuntungkan dengan situasi ini, maka minimal lembaga pendidikan ini tidak dirugikan.

  • Bagi lembaga kami, banyaknya caleg dari wali murid dan guru menjadikan siapapun yang kelak berhasil duduk di legislatif merupakan wakil lembaga pendidikan ini. Tanpa harus memberikan dukungan terbuka, mereka adalah wali murid, bahkan (mungkin) mantan guru di lembaga pendidikan ini. Secara moral, mereka dapat dijadikan sandaran bagi perlindungan lembaga pendidikan dari berbagai kebijakan yang merugikan dari pemerintah daerah, terutama (biasanya) dinas-dinas terkait.
  • Kalau dukung-mendukung tidak bisa dihindari, maka setiap dukungan perlu dilakukan secara positif. Sedapat mungkin dukungan terhadap calon tertentu tidak menyakiti perasaan caleg yang lain. Dukungan guru dan wali murid perlu dipilah-pilahkan antara mereka yang sudah berafiliasi pada parpol tertentu dan belum. Syukur-syukur dukungan tertentu sudah memperoleh reward di depan. Masalahnya, berdasarkan pengalaman kami selama ini, mereka yang sudah berhasil duduk di legislatif sering lupa diri, dan sama sekali tidak dapat diharapkan lagi kontribusinya bagi pengembangan lembaga pendidikan. Paling jauh, menjelang Pemilu saja mereka akan datang lagi dengan berbaik-baik sikap.
Kiranya, situasi pragmatis dan oportunis memang harus disikapi dengan cara yang sama. Meski demikian, kejelian dan kehati-hatian meski dijaga, agar setiap langkah benar-benar pilihan yang bermanfaat bagi lembaga dan masyarakat di masa depan.

Senin, 16 Februari 2009

SAAT STAF TU BERKUASA

Beberapa waktu lalu beberapa mahasiswa kompalin nilai. "Pak, nilai kita kok semuanya B?" Sudah barang tentu aku kaget mendengarnya. Kontan aku berfikir jangan-jangan nilaiku di-drop sama TU. Soalnya di perguran tinggi memang ada aturan yang menyatakan, bahwa bila dosen terlambat menyerahkan nilai, maka bagian akademik berhak memberikan nilai B untuk seluruh mahasiswa.

Aku sendiri sebenarnya sudah selesai memberikan nilai pada mahasiswa bahkan jauh hari sebelum UAS diselenggarakan. Nilai tersebut, meski hanya dalam bentuk rekapannya saja aku up load di salah satu blog mata kuliahku. Karena itu wajar bila mahasiswa yang sudah tahu nilainya A terkejut dengan nilai yang keluar.

Segera saja aku berfikir untuk memberikan revisi nilai saja pada mahasiswa. Dengan cara ini, paling tidak mereka yang seharusnya memperoleh nilai lebih baik (A) dapat memperoleh haknya. Soalnya, selama ini mahasiswa yang komplain nilai bisa melakukan revisi nilai, dengan berbekal memo dosen yang bersangkutan. Sementara mahasiswa yang mestinya memperoleh nilai lebih rendah bahkan tidak memperoleh nilai dapat tersenyum bahagia karena tertolong oleh pekerjaan staf Tata Usaha.

Rupanya tidak demikian. Staf TU bersikukuh tidak bersedia merevisi, bahkan sebagian menyikapinya dengan marah-marah. Dengan berdalih bahwa ini sudah keputusan PD 1 mereka tidak bersedia merevisi nilai. Aneh. Padahal ketika aku tanyakan pada PD 1, yang bersangkutan mempersilakan saja. Penilaian memang seharusnya menjadi otoritas dosen, bukan lembaga, apalagi staf TU.

Sebenarnya jauh hari aku sudah mencetak nilai matakuliahku, tapi terus terang aku sendiri lupa apakah sudah aku serahkan atau belum. Itu masalahnya. Kalaupun ternyata aku belum menyerahkan sampai deadline terakhir, seharusnya masih mungkin diberikan pemberitahuan, lewat telepon atau SMS.

Ini kan bukan jaman prasejarah? Banyak teknologi bisa dipakai mengingatkan bila memang dosen belum menyerahkan nilai di hari-hari terakhir. Apalagi tidak ada bukti hitam di atas putih penyerahan nilai dari dosen ke staf TU. Bila ternyata dosen sudah menyerahkan dan hilang di tangan mereka, apa berarti itu kesalahan dosen juga, dan mereka berhak men-drop nilai begitu saja?

Entahlah, mungkin orang lebih suka main kuasa dari pada berkomunikasi secara baik-baik. Kayaknya ini jadi
moment
spesial bagi staf TU untuk menunjukkan kekuasaannya pada dosen dan mahasiswa. Apalagi memang ada paradigma kecemburuan mereka terhadap dosen. Mereka merasa bekerja lebih berat dan lebih keras dibanding dosen, sehingga ada saat di mana mereka tidak perlu menghargai dosen dengan membuat nilai sendiri.

Meski kecewa, aku sendiri sebenarnya tidak terlalu dirugikan dengan kejadian ini, tapi kasihan mahasiswa yang seharusnya memperoleh nilai baik.

PERTANYAAN KONYOL MAHASISWA

Setiap akhir semester aku selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dan menggelikan dari mahasiswa. "Pak, saya masuk terus kok cuma dapat (nilai) B?" Dengan redaksi berbeda, sebagian mahasiswa lain mempertanyakan, "Pak, saya aktif terus, kok cuma dapat nilai B?"Masih dengan maksud yang sama, ada lagi yang bertanya, "Pak, saya menyerahkan tugas terus, tapi kok cuma dapat (nilai) B?"

Itu baru pertanyaan dari mahasiswa yang mendapatkan nilai B. Apalagi lagi kalau mahasiswa mendapatkan nilai C ke bawah, wah.... lebih seru lagi. Di antara pertanyaan yang muncul adalah "Pak, saya masuk terus kok cuma dapat C?" atau "Pak, saya aktif terus kok cuma dapat C?"

Pertanyaan itu seakan-akan menunjukkan bahwa kalau mahasiswa aktif layak mendapat nilai A. Nilai mata kuliah seakan diambil berdasarkan buku presensi, bukan berdasarkan kelayakan akademik yang mereka capai. Sungguh, konyol, bodoh,
edian .... tenan bila ternyata di dunia pendidikan harus berlaku norma seperti itu.

Ini fenomena menarik dan selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku. Kenapa selalu muncul pertanyaan konyol seperti itu? Apakah hanya aku saja yang dapat pertanyaan sebodoh itu? Apakah hanya di kampusku, fakultasku atau jurusanku saja ada pertanyaan bodoh seperti itu?

Kenapa ada fenomena seperti ini? Kenapa mereka begitu ambisius dengan nilai mata kuliah? Kenapa ambisi mereka terhadap nilai mata kuliah tidak sebanding dengan antusiasme mereka terhadap penguasaan materi kuliah? Kenapa bukan ambisi mengembangkan keilmuan dan keahlian yang menonjol pada mahasiswa, tapi pada formalitas? Pada nilai? Ironis.

Sebagian mahasiswa yang mempertanyakan nilai dengan kalimat demikian memang mahasiswa yang selalu masuk kelas saat aku mengajar, tapi sebagian hanya main klaim saja. Mereka yang kemudian kedapatan hanya main klaim biasanya mengajukan permohonan konyol lagi, "Terus gimana dong, pak? Mohon kebijaksanaannya".

Selama menjadi pengajar aku tidak pernah sekalipun mendengar kata "mohon maaf" dari mereka karena tidak aktif kuliah dengan segala alasannya. Mereka bahkan seakan merasa berhak menuntut nilai terbaik, meski nyata-nyata tidak aktif kuliah.

Pertanyaan dan permohonan ini tentu saja hanya merupakan kelanjutan dari pertanyaan konyol sebelumnya. Aku tidak melihat adanya itikad baik untuk mengembangkan kompetensi akademik pada mereka. Ini membuat aku merasa hanya jadi alat mereka untuk mendapatkan nilai mata kuliah saja, syukur-syukur dengan skor terbaik.

Kadang aku berfikir, apakah waktu masih kuliah dulu aku sekonyol mereka? Aku rasa tidak. Aku bahkan tidak tahu nilai apa yang aku peroleh hingga menerima transkrip KHS. Jujur saja, aku senang bila mendapatkan nilai baik, tapi tidak pernah sekalipun bertanya atau mempertanyakan bila mendapatkan nilai buruk.

Sepertinya tidak hanya etos keilmuan formalistik yang menggejala pada mereka, tapi juga etika akademiknya. Sekali lagi, ini sungguh sebuah ironi. Aku belum tahu apakah ini merupakan kasus tunggalku semata, atau menggejala pada kebanyakan pengajar? Apakah ini akibat sistem atau entahlah... Mudah-mudahan segera ada jawaban dan solusinya.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...