Senin, 16 Februari 2009

SAAT STAF TU BERKUASA

Beberapa waktu lalu beberapa mahasiswa kompalin nilai. "Pak, nilai kita kok semuanya B?" Sudah barang tentu aku kaget mendengarnya. Kontan aku berfikir jangan-jangan nilaiku di-drop sama TU. Soalnya di perguran tinggi memang ada aturan yang menyatakan, bahwa bila dosen terlambat menyerahkan nilai, maka bagian akademik berhak memberikan nilai B untuk seluruh mahasiswa.

Aku sendiri sebenarnya sudah selesai memberikan nilai pada mahasiswa bahkan jauh hari sebelum UAS diselenggarakan. Nilai tersebut, meski hanya dalam bentuk rekapannya saja aku up load di salah satu blog mata kuliahku. Karena itu wajar bila mahasiswa yang sudah tahu nilainya A terkejut dengan nilai yang keluar.

Segera saja aku berfikir untuk memberikan revisi nilai saja pada mahasiswa. Dengan cara ini, paling tidak mereka yang seharusnya memperoleh nilai lebih baik (A) dapat memperoleh haknya. Soalnya, selama ini mahasiswa yang komplain nilai bisa melakukan revisi nilai, dengan berbekal memo dosen yang bersangkutan. Sementara mahasiswa yang mestinya memperoleh nilai lebih rendah bahkan tidak memperoleh nilai dapat tersenyum bahagia karena tertolong oleh pekerjaan staf Tata Usaha.

Rupanya tidak demikian. Staf TU bersikukuh tidak bersedia merevisi, bahkan sebagian menyikapinya dengan marah-marah. Dengan berdalih bahwa ini sudah keputusan PD 1 mereka tidak bersedia merevisi nilai. Aneh. Padahal ketika aku tanyakan pada PD 1, yang bersangkutan mempersilakan saja. Penilaian memang seharusnya menjadi otoritas dosen, bukan lembaga, apalagi staf TU.

Sebenarnya jauh hari aku sudah mencetak nilai matakuliahku, tapi terus terang aku sendiri lupa apakah sudah aku serahkan atau belum. Itu masalahnya. Kalaupun ternyata aku belum menyerahkan sampai deadline terakhir, seharusnya masih mungkin diberikan pemberitahuan, lewat telepon atau SMS.

Ini kan bukan jaman prasejarah? Banyak teknologi bisa dipakai mengingatkan bila memang dosen belum menyerahkan nilai di hari-hari terakhir. Apalagi tidak ada bukti hitam di atas putih penyerahan nilai dari dosen ke staf TU. Bila ternyata dosen sudah menyerahkan dan hilang di tangan mereka, apa berarti itu kesalahan dosen juga, dan mereka berhak men-drop nilai begitu saja?

Entahlah, mungkin orang lebih suka main kuasa dari pada berkomunikasi secara baik-baik. Kayaknya ini jadi
moment
spesial bagi staf TU untuk menunjukkan kekuasaannya pada dosen dan mahasiswa. Apalagi memang ada paradigma kecemburuan mereka terhadap dosen. Mereka merasa bekerja lebih berat dan lebih keras dibanding dosen, sehingga ada saat di mana mereka tidak perlu menghargai dosen dengan membuat nilai sendiri.

Meski kecewa, aku sendiri sebenarnya tidak terlalu dirugikan dengan kejadian ini, tapi kasihan mahasiswa yang seharusnya memperoleh nilai baik.

PERTANYAAN KONYOL MAHASISWA

Setiap akhir semester aku selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dan menggelikan dari mahasiswa. "Pak, saya masuk terus kok cuma dapat (nilai) B?" Dengan redaksi berbeda, sebagian mahasiswa lain mempertanyakan, "Pak, saya aktif terus, kok cuma dapat nilai B?"Masih dengan maksud yang sama, ada lagi yang bertanya, "Pak, saya menyerahkan tugas terus, tapi kok cuma dapat (nilai) B?"

Itu baru pertanyaan dari mahasiswa yang mendapatkan nilai B. Apalagi lagi kalau mahasiswa mendapatkan nilai C ke bawah, wah.... lebih seru lagi. Di antara pertanyaan yang muncul adalah "Pak, saya masuk terus kok cuma dapat C?" atau "Pak, saya aktif terus kok cuma dapat C?"

Pertanyaan itu seakan-akan menunjukkan bahwa kalau mahasiswa aktif layak mendapat nilai A. Nilai mata kuliah seakan diambil berdasarkan buku presensi, bukan berdasarkan kelayakan akademik yang mereka capai. Sungguh, konyol, bodoh,
edian .... tenan bila ternyata di dunia pendidikan harus berlaku norma seperti itu.

Ini fenomena menarik dan selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku. Kenapa selalu muncul pertanyaan konyol seperti itu? Apakah hanya aku saja yang dapat pertanyaan sebodoh itu? Apakah hanya di kampusku, fakultasku atau jurusanku saja ada pertanyaan bodoh seperti itu?

Kenapa ada fenomena seperti ini? Kenapa mereka begitu ambisius dengan nilai mata kuliah? Kenapa ambisi mereka terhadap nilai mata kuliah tidak sebanding dengan antusiasme mereka terhadap penguasaan materi kuliah? Kenapa bukan ambisi mengembangkan keilmuan dan keahlian yang menonjol pada mahasiswa, tapi pada formalitas? Pada nilai? Ironis.

Sebagian mahasiswa yang mempertanyakan nilai dengan kalimat demikian memang mahasiswa yang selalu masuk kelas saat aku mengajar, tapi sebagian hanya main klaim saja. Mereka yang kemudian kedapatan hanya main klaim biasanya mengajukan permohonan konyol lagi, "Terus gimana dong, pak? Mohon kebijaksanaannya".

Selama menjadi pengajar aku tidak pernah sekalipun mendengar kata "mohon maaf" dari mereka karena tidak aktif kuliah dengan segala alasannya. Mereka bahkan seakan merasa berhak menuntut nilai terbaik, meski nyata-nyata tidak aktif kuliah.

Pertanyaan dan permohonan ini tentu saja hanya merupakan kelanjutan dari pertanyaan konyol sebelumnya. Aku tidak melihat adanya itikad baik untuk mengembangkan kompetensi akademik pada mereka. Ini membuat aku merasa hanya jadi alat mereka untuk mendapatkan nilai mata kuliah saja, syukur-syukur dengan skor terbaik.

Kadang aku berfikir, apakah waktu masih kuliah dulu aku sekonyol mereka? Aku rasa tidak. Aku bahkan tidak tahu nilai apa yang aku peroleh hingga menerima transkrip KHS. Jujur saja, aku senang bila mendapatkan nilai baik, tapi tidak pernah sekalipun bertanya atau mempertanyakan bila mendapatkan nilai buruk.

Sepertinya tidak hanya etos keilmuan formalistik yang menggejala pada mereka, tapi juga etika akademiknya. Sekali lagi, ini sungguh sebuah ironi. Aku belum tahu apakah ini merupakan kasus tunggalku semata, atau menggejala pada kebanyakan pengajar? Apakah ini akibat sistem atau entahlah... Mudah-mudahan segera ada jawaban dan solusinya.

DIBOHONGI MAHASISWA

Setiap akhir semester selalu ada mahasiswa yang komplain karena nilainya tidak keluar. Aku sudah hafal, mereka pasti mahasiswa yang biasanya tidak aktif kuliah, tapi minta nilai dan minta lulus pastinya. Aku sudah 14 tahun jadi dosen, dan hampir 20 tahun jadi mahasiswa. Jadi, kalau bohongin dosen atau dibohongin mahasiswa rasanya sudah hafal luar dan dalam. Bahkan seharusnya aku lebih tahu bagaimana berbohong atau dibohongin dibanding mahasiswa-mahasiswaku, karena referensi sosiologis dan antropologis yang aku miliki jauh lebih banyak dibanding mahasiswaku. Sudah begitu, kok ya masih ada yang berani berbohong padaku.
Kecuali mahasiswa yang komplain nilai karena memang nilai tugas matakuliahnya belum sempat aku up load atau publikasikan, argumentasi mahasiswa pembohong selalu sama, "Pak, saya masuk terus kok nilai saya kosong?". Mahasiswa yang lain mengklaim, "Pak, saya selalu menyerahkan tugas, tapi kok ada kosong?"
Beberapa hari yang lalu ada beberapa mahasiswa (pembohong) yang komplain lewat telepon, "Pak, saya masuk terus, tapi nilai saya kok kosong?"
Saya jawab, "Ya, tugas kamu yang ke 1, 2 dan 3 kosong"
"Gimana dong, pak?" tanyanya.
"Ya, kamu harus bikin lagi" jawabku tegas.
"Tugasnya apa, pak?"
"Ya, seperti tugas kelas biasanya. Kamu ngerasa pernah buat apa tidak?"
"Saya buat. Saya nyerahkan terus"
"Kalau gitu buat lagi yang seperti itu. Serahkan saya Rabo di kampus"
Dalam hati aku sudah tahu, mahasiswa ini sudah bohong padaku. Bagaimana mungkin mereka sudah menyerahkan tugas, dengangkan tugasnya kaya apa mereka tidak tahu? Seharusnya aku tidak menanggapi mereka, karena jelas-jelas sudah tidak aktif kuliah dan masih ditambah bohong lagi. Tapi karena aku sedang banyak kesibukan, aku biarkan saja, dan kulayani seolah tidak ada apa-apa.
Benar saja. Sehari kemudian dia telepon lagi, "Pak, saya tanya teman-teman, tugasnya kaya apa kok nggak ada yang bisa kasih tahu. Bisa kasih penjelasan?"
"Kamu masuk kuliah, nggak?"
"Masuk, pak. Saya aktif, saya masuk terus"
"Tanya teman kamu yang lain saja, kutunggu rabo" jawabku singkat
Ha, ha, ha... Dalam hati saya tertawa, meski dalam hati sedih dan marah. Gimana tidak, katanya masuk terus, kok nggak tahu tugasnya seperti apa? Ini kan aneh????
Hanya saja, rasanya nggak tega menghukum mereka. Saya pura-pura saja tidak tahu kalau mereka bohong. Saya kehilangan simpati dan empati saya, meski sebagai pendidik seharusnya saya tidak boleh demikian. Bagi saya, mahasiswa-mahasiswa itu tidak ada, bukan manusia, karena tidak punya etika dan tanggung jawab moral.
Selama ini saya memang tidak pernah memberikan Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS) dan satu tugas matakuliah seperti dosen pada umumnya. Aku sudah hafal, mereka yang tidak aktif kuliah dan dicekal saat mengikuti UTS dan UAS karena presensi tidak memenuhi syarat pasti minta rekomendasi, dan dengan terpaksa aku berikan. Karena itu, beberapa tahun terakhir saya lebih suka melakukan penilaian proses.
Setiap sesi perkuliahan, mahasiswa selalu mengerjakan sesuatu dan itu yang saya jadikan penilaian. Karena itu, mahasiswa yang tidak hadir pasti nilainya bolong. Tidak usah mengabsen saja saya sudah tahu apakah mereka masuk atau tidak, karena hasil kerja mereka di kelas itulah yang saya jadikan bukti kehadiran mereka. Kalau ada yang mengklaim menyerahkan tugas, sementara dia sendiri tidak tahu tugasnya seperti apa, itu jelas-jelas bohong.
Kalau ada yang komplain, dan bilang "Saya masuk terus kok nilai saya kosong?" atau "Saya sudah menyerahkan tugas kok nilainya kosong, saya bisa pastikan bahwa mereka berbohong. Padahal kebohongan adalah sesuatu yang paling buruk di mata saya, dan mungkin di mata Allah. Kebohongan adalah pangkal dari semua kejahatan, kerusakan.
Sampai saat ini saya hanya bisa mencatat nama-nama mereka di buku memori mengajarku, manusia-manusia yang tidak bisa dipercaya, manusia-manusia paling menyedihkan di mata saya, karena mereka anak didik saya.
Andai saja mereka mau jujur, saya pasti menghargai mereka lahir dan batin. Seperti semester kemarin ada beberapa mahasiswa yang membuat tugas plagiat dan mengakui kesalahannya, saya dengan lapang hati membantunya dan memberinya kesempatan membuat tugas perbaikan.
Meski demikian, kali ini saya berusaha tidak menampakkan rendahnya pandangan saya pada mahasiswa pembohong itu. Saya tidak akan menghukum mereka, tapi dengan tulisan ini saya berharap mereka sadar atas perbuatannya. Kalau ternyata mereka tidak juga sadar dan berubah aku rasa ini adalah semester terakhir saya mentolerir kebohongan mereka.

Senin, 12 Januari 2009

MISORIENTASI PENDIDIKAN

-->
Masalah mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah rendahnya mutu lulusan baik dari segi keilmuan (intelektual), pembentukan kepribadian (character building) maupun kompetensi profesional. Akibatnya pendidikan di negeri ini seolah hanya menjadi masa penundaan pengangguran hingga sesorang anak manusia lulus dari dunia pendidikan. Tentu saja, penyebab rendahnya mutu pendidikan tersebut terkait dengan berbagai hal, mulai dari faktor manusia (antropologi), budaya, sistem pendidikan, situasi politik, ekonomi dan berbagai faktor lain yang sangat kompleks dan saling kait-mengkait.
Dari perspektif manusia dan kemanusiaan (antropologi), kecenderungan rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat dicermati dari cara pandang dan orientasi masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Tanpa banyak disadari, masyarakat kita telah berkembang menjadi manusia yang formalistik. Artinya orientasi hidup kita lebih tertuju pada target-target formal dibanding meraih kenyataan yang hakiki (esensial). Dalam kasus yang umum dapat kita perhatikan, banyak orang bangga bila anaknya naik kelas, lulus ujian akhir sekolah atau bahkan menjadi juara kelas, meski mungkin bila melihat kemampuan sebenarnya tidak demikian. Sebaliknya, mungkin sekali kita kecewa bilamana anak kita atau kita sendiri tidak naik kelas atau lulus ujian, meski berdasarkan kemampuan dan hasil tes yang dilalui anak memang yang bersangkutan tidak layak lulus.
Di masyarakat juga mudah dijumpai banyak orang bangga memakai gelar kesarjanaan, bahkan magister atau doktor dalam bidang keilmuan tertentu, meski tidak melalui proses pendidikan sebagaimana mestinya. Dari kalangan pejabat tinggi sampai rendahan dengan mudah dapat dijumpai, banyak orang tidak malu memakai gelar akademik tertentu meski kemampuan yang dimiliki tidak merepresentasikan kualitas gelar yang disandang.
Dari sini dapat dinyatakan bahwa banyak orang yang menempuh pendidikan tertentu tapi sebenarnya tidak untuk mencerdaskan diri. Meski menempuh pendidikan formal, sebenarnya banyak orang tidak benar-benar ingin pintar atau menguasai bidang keilmuan/keahlian tertentu, melainkan hanya menginginkan ijasah saja. Karena itu, dapat dipahami mengapa pendidikan di negeri ini tidak dapat mencapai tujuannya. Tujuan pendidikan yang mestinya untuk pencerdasan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sering terbelokkan menjadi jalan untuk meraih gengsi dan harga diri.
Dalam pengalaman mengelola lembaga pendidikan Darush Sholihin, kami sering menjumpai banyak pelamar yang nota bene sarjana pendidikan tapi tak tahu apa-apa soal menyusun program, tak paham visi dan misi, tak kenal administrasi pendidikan, strategi pengajaran, pengembangan program dan hal-hal yang mestinya menjadi bagian dari keahlian seorang sarjana pendidikan. Banyak sarjana yang kemampuannya hanya di atas kertas ijasah, dan tidak dalam keilmuan dan praktik kependidikan.
Bukan rahasia lagi, ujian akhir sekolah yang masih dipaksakan saat ini banyak dipenuhi kecurangan yang melibatkan kalangan guru dan sekolah, dan sedihnya, justeru banyak seolah dan orang tua yang bangga anak-anaknya lulus dengan cara demikian. Kita tidak merasa sedih dan bersalah meski anak-anak kita dibekali kebohongan dan kecurangan justeru di lembaga yang seharusnya membentuknya menjadi manusia jujur dan penuh integritas. Sebaliknya, banyak wali murid kecewa dan memilih memindahkan putera-puterinya ke sekolah lain karena putera-puterinya dinyatakan tidak naik kelas.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa orientasi pendidikan masyarakat kita sebenarnya masih belum terarah pada upaya mencerdaskan putera-puterinya melainkan juga demi nilai-nilai yang bersifat formalitas. Bila kecenderungan ini terus berlangsung maka yang terjadi dan tak mungkin terhindarkan adalah lahirnya sarjana-sarjana formal seperti di atas. Akibatnya, generasi yang akan melajutkan masa depan negeri ini sepuluh atau dua puluh tahun ke depan tampaknya tidak akan banyak berbeda dari yang ada saat ini.
Kasus-kasus serupa juga terjadi di luar dunia pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kecenderungan serupa seolah menjadi bagian dari keseharian kita, seperti dalam mengurus SIM (Surat Ijin Mengemudi), melanjutkan pendidikan, menjadi pegawai negeri, militer atau instansi tertentu, atau memenangkan suatu perlombaan. Kita selalu ingin berhasil, meski tidak melalui proses yang sebenarnya; kita selalu ingin menang meski seharusnya kalah. Kita hanya menginginkan selembar SIM, status sosial, atau juara meski sebenarnya kita belum pantas mendapatkannya. Kita selalu ingin diakui sebagai orang hebat atau diakui punya anak-anak pintar, meski sebenarnya tidak demikian. Padahal, dengan sikap demikian berarti kita sudah mengorbankan harga diri kita yang hakiki.
Ironis, dan mungkin inilah yang disebut éyang Ronggo Warsito sebagai jaman édan; sing ora édan ora kêduman. Lembaga pendidikan benar-benar dihadapkan pada dilema, bila mudah mencetak ijasah dan meluluskan siswa dengan segala cara diminati orang, sementara mereka yang bersungguh-sungguh memegang teguh prinsip akademik ditinggalkan. Padahal, tugas lembaga pendidikan mestinya untuk membentuk manusia yang mampu berfikir waras, jernih dan cerdas, bukan sebaliknya. Naudzubillahi min dzalik.

MERAGUKAN KTSP

-->Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Indonesia dimarakkan dengan perubahan demi perubahan kurikulum, baik dari tataran konseptual maupun implementasinya dalam pembelajaran. Berbagai pihak mulai dari pemerintah sampai lembaga-lembaga pengembang pendidikan nasional dan trans-nasional terlibat dalam berbagai penyelenggaraan pelatihan, seperti AUSAID, USAID dan beberapa lagi dari Eropa melalui berbagai organnya seperti LAPIS atau DBE yang saat ini getol dengan proyek pelatihannya di Tanjunganom Nganjuk.
Di satu sisi, hal ini dapat dipandang sebagai terobosan untuk memperbaiki kualitas pendidikan, yang dimulai dari perubahan paradigma konservativisme-esensialisme ke arah konstruktivisme pendidikan. Namun demikian, upaya ini tampaknya belum akan memberikan perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan maupun praktik pembelajaran di sekolah manapun. KBK, KTSP atau entah apa lagi yang akan muncul nanti tampaknya sangat layak untuk tetap diragukan keampuhannya dalam memperbaiki kualitas pendidikan.
Hal ini dikarenakan persoalan mendasar pendidikan di negeri ini tampaknya bukan terletak pada persoalan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran mana yang paling hebat, melainkan pada persoalan manusia, kualitas SDM. Kenyataan paling umum yang dapat dijumpai adalah rendahnya kompetensi profesional, budaya kerja, etos kerja serta tanggung jawab profesi para pengelola dan pelaksana tugas-tugas pembelajaran, baik guru, pengelola sekolah, maupun aparat pendidikan.
Kritik “paradigma baru pendidikan” selama ini tertuju pada “paradigma lama” yang dinilai tidak kontekstual karena terlalu menekankan ranah kognitif. “Pendidikan lama” terlalu teoretik dan jauh dari pengalaman anak didik. Padahal kalau dicermati secara sederhana saja, “paradigma lama” yang diterapkan di negeri ini sebenarnya juga hasil imitasi sistem dan pola pendidikan Barat. Di negeri asalnya, sistem serupa telah menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menjadi basis kemajuan peradaban Barat. Sementara sistem serupa yang diterapkan di negeri ini hanya menghasilkan pengangguran, aparat dungu dan korup.
Artinya, letak persoalannya bukan pada paradigma, pendekatan atau metode, melainkan pada kualitas SDM, kemampuan, pola pikir dan pola kerja mereka dalam mengapresiasi kemajuan Barat. Sistem, paradigma, pendekatan atau metode apapun tidak akan berarti selama tidak ditunjang budaya, pola pikir, etos kerja dan pola kerja pelaksana pendidikan, terutama guru dan aparat pendidikan.
Setelah sekian puluh kali pelatihan diselenggarakan dengan biaya yang tidak sedikit, sebenarnya masih perlu dipertanyakan sekolah mana yang benar-benar mampu menerapkan CTL? Sangat-sangat jarang dan mungkin juga tidak ada. Bahkan pada sekolah-sekolah percontohan KBK dan KTSP di beberapa daerah pada dasarnya belum ada perubahan paradigma pembelajaran yang signifikan, selain mengganti GBPP dan Satpel dengan silabus dan RP atau RPP. Sedangkan mayoritas pola pembelajaran yang digunakan masih sama persis dengan sebelumnya.
Menguatnya paradigma konstruktivistik melalui KBK, dan kemudian KTSP dengan CTL-nya mengekspresikan kuatnya budaya latah masyarakat kita. Seperti pengalaman sebelumnya, ketika CBSA mengemuka, semua gandrung CBSA, ketika link and match menjadi isu nasional, semua bicara link and match. Sekarang, ketika KTSP menjadi buah bibir, seolah-olah tidak ada yang lebih baik dibanding KTSP, hingga aparat pendidikan kita sering mengambil sikap layaknya jurkam KTSP. Padahal kalau mau jujur, dalam praktiknya tidak ada yang benar-benar berubah.
Singkat kata, “paradigma baru” pada dasarnya belum berhasil - untuk tidak mengatakan gagal - mengubah paradigma berfikir atau paradigma pembelajaran guru, pengelola sekolah, bahkan pada tingkatan aparat pendidikan. Pada tataran aparat pendidikan, hal ini dapat dilihat pada masih adanya upaya penyeragaman, baik program, silabus, RPP hingga masalah-masalah teknis pengelolaan nilai dan rapor, termasuk kalender pendidikan. Ini memperlihatkan bahwa semangat kebebasan, pluralisme dan desentralisasi yang mendasari KTSP jauh dari alam pikiran mereka.
Pelatihan dan perubahan kurikulum sendiri hampir-hampir tidak pernah muncul dari inisiatif sekolah atau aparat pendidikan, tapi hasil proyekisasi sebagian pihak yang memiliki akses pada instansi pemerintah atau founding berduit. Kalaupun banyak guru senang mengikuti pelatihan, hal itu tidak lepas dari berbagai reward dan fasilitas pelatihan seperti uang saku atau transport yang masih terlalu bernilai di mata mereka. Sementara untuk menerapkannya di sekolah, pola pembelajaran baru ini rata-rata masih tetap disikapi sebagai beban.
Apalagi kematangan konsep dan implementasi KTSP masih sangat rendah dan rawan berubah-ubah. Situasi ini menjadikan sekolah tak ubahnya kelinci percobaan dari treatmen satu ke treatment yang lain. Bagaimana tidak, dalam waktu kurang dari empat tahun, silabus, RP atau RPP hingga rapor sudah berubah setidaknya tiga kali. Dengan cara ini, guru, siswa dan pastinya wali murid bukan semakin dicerdaskan, tapi malah dibuat bingung. Sedangkan guru sebagai pelaksana lebih memilih bersikap masa bodoh.
Mengikuti pola perubahan seperti ini adalah sebuah kekonyolan baik bagi guru, sekolah dan juga siswa. Pembelajaran cenderung mengambang tak tentu arah, karena cara lama sudah harus ditinggalkan, sementara cara baru sama sekali belum dikuasai. Kekonyolan ini potensial terus berlanjut, bila setelah Pemilu 2009 nanti menteri dan dirjen pendidikannya ganti orang dan mereka membikin “proyek baru” yang akan memperpanjang kekonyolan para guru dan pengelola sekolah, sementara yang diuntungkan hanya pengelola proyek pelatihan.
Agar tidak terus terombang-ambing bahkan bisa-bisa terpuruk rame-rame, akan lebih bijaksana bila para pengelola sekolah tidak mau lagi anut grubyuk “proyek perubahan” semacam ini. Akan lebih baik bilamana setiap sekolah berani merekonstruksi kurikulum dan pendekatan pembelajarannya sendiri. Tidak semua “pola pembelajaran lama” itu buruk dan harus ditinggalkan, dan tidak semua yang baru adalah yang terbaik dan harus diimani dan diamini. Jelasnya, tidak semua yang ada pada KTSP harus dipakai dan cocok bagi setiap sekolah.
Ini bukan berarti menolak perubahan, tapi sekedar upaya agar setiap perubahan tidak diperlakukan sebagai keharusan atau instruksi yang wajib dipatuhi. Perubahan ke KBK, KTSP atau apa lagi yang akan muncul nanti mestinya dibiarkan mengemuka sebagai tawaran diskursif agar guru dan pengelola sekolah belajar merespon sendiri sesuai kebutuhan masing-masing.
Kalaupun KTSP telah menjadi “ideologi” belajar yang wajib diimani, mestinya tidak perlu ada penyeragaman, apalagi pemaksaan. Hal ini dikarenakan KTSP memberi kesempatan setiap sekolah untuk membangun pilihan kurikulumnya sendiri, membangun mesin dan sistem produksinya sendiri sesuai jaminan mutu yang dibutuhkan konsumennya. Beragam memang, tapi keragaman pilihan kurikulum pada setiap sekolah justeru akan memperkaya khazanah tentang cara memperkembangkan pendidikan. Penyeragaman seperti selama ini terjadi, selain bertentangan dengan visi kebebasan, pluralisme dan desentralisasi yang diusung paradigma baru selama ini, hanya akan mengabadikan bébékisasi guru dan sekolah. Bagaimana kita dapat terbang setinggi elang, bila terbiasa digiring seperti bebek?

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...