Sabtu, 14 Juni 2014

BULLYING: DULU DAN SEKARANG

Bully atau bullying merupakan istilah baru dalam perbendaharaan bahasa di Indonesia sekarang. Bully atau bullying secara kebahasaan berarti tindakan mengganggu kenyamanan mental orang lain (noisily domineering) yang mengarah pada merendahkan, melecehkan, membuat kesal orang lain (tending to browbeat others).
Meski dari istilah baru dikenal, tetapi kebisaan bullying dari segi perilaku sudah dikenal sejak dahulu kala. Bedanya, pada jaman sekarang bullying dipandang sebagai perbuatan tercela bahkan dapat dipidanakan, sementara pada jaman dulu bullying dianggap sebagai hal biasa.
Di sekolah, di lingkungan rumah, kampung dan berbagai tempat sering dijumpai seorang atau beberapa orang anak dijadikan bahan ejekan, olok-olok, "permainan" serta bentuk-bentuk pelecehan lainnya. Di antara buktinya adalah pemberian nama panggilan yang melecehkan, misalnya anak berhidung panjang dipanggil petruk, anak gemuk atau memiliki perut gendut dipanggil bagong, si gendut atau si gembul, dan berbagai panggilan lain yang bernada mengejek.
Anak-anak yang menjadi korban bullying umumnya merasa terhina, direndahkan, dan tertekan. Tidak jarang bullying mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan bagi anak yang berani melawan, dan tertekan bagi yang lemah. Meski demikian, ada juga anak yang hingga dewasa tetap nyaman dengan nama ejekan tersebut, sehingga di pedesaan Jawa masih ada beberapa orang yang dipanggil, Darto Bagong, Imron Kate, Sumadi Kambing dan sebagainya. 
Bullying pada masa lalu hanya dipandang sebagai perilaku biasa yang akan hilang atau tidak berarti lagi seiring perkembangan anak saat memasuki masa dewasa, atau setelah kegiatan berlalu. Itu sebabnya, metode bullying sendiri bahkan masih sering dipertahankan dalam berbagai kegiatan formal, sebagai misal, perpeloncoan dalam kegiatan kemahasiswaan, masa orientasi siswa dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat mengenai bullying pada masa sekarang. Meningkatkan kebutuhan untuk menghargai privasi, martabat dan perkembangan mental menempatkan bullying sebagai sikap dan perilaku yang dinilai merugikan dan harus dihindari. Kesadaran atas kebutuhan penghargaan dan menjaga tumbuh kembang mental anak menjadikan bullying sulit diterima oleh anak manusia saat ini.
Itu sebabnya, bullying harus dihindari baik di lingkungan keluarga, sosial maupun sekolah. Apalagi bentuk-bentuk bullying tak jarang mengarah pada sikap dan tindakan yang mengarah kriminal, seperti mengancam, menekan, atau mengeksploitasi yang lemah demi keuntungan yang kuat (the act of intimidating a weaker person to make them do something).
Apalagi tekanan mental yang terjadi selama kegiatan bullying tidak jarang berakibat fatal, kematian. Kasus-kasus kematian remaja saat opspek, kekerasan di sekolah-sekolah ketentaraan, IPDN, dan berbagai kampus yang marak beberapa waktu terakhir merupakan dampak bullying yang berlebihan dan membudaya yang tak lagi dapat diterima oleh manusia saat ini.

Minggu, 25 Mei 2014

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KURIKULUM 2013 DENGAN KBK DAN KTSP

Dalam berbagai forum pelatihan Kurikulum 2013 (K13) selalu ditekankan bahwa kurikulum ini berbeda dari kurikulum sebelumnya. Para trainer yang mewakili pemerintah tersebut seakan menunjukkan  bahkan K13 berbeda sama sekali dari KBK dan KTSP. Padahal dalam banyak, bahkan sangat banyak hal, ketiganya memiliki banyak kesamaan. Bahkan beberapa hal yang dinyatakan sebagai pembeda dari kurikulum sebelumnya sesungguhnya hanya penegasan saja.
1.  Pendekatan Pembelajaran
Ditekankannya pendekatan scientific diklaim sebagai ciri khas K13, padahal perubahan sebenarnya hanya dari segi istilah dan langkah-langkah teknisnya saja. Hal ini dikarenakan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sejak awal menekankan pendekatan inquiry, yang pada hakekatnya tidak berbeda secara signifikan dari pendekatan scientific. Melalui proses inquiry siswa melakukan proses pembelajaran berdasarkan pengamatan, pengalaman, diskusi, yang bermuara pada penyimpulan, yang tahapannya persis sama dengan pendekatan yang diistilahkan dengan pendekatan scientific
2.  Perubahan Paradigma
K13 menekankan perubahan paradigma pembelajaran dari berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada siswa. Klaim ini dalam berbagai forum pelatihan merupakan salah satu bentuk manipulasi informasi, seakan-akan tidak ada dalam KBK dan KTSP. Padahal penekanan atas perlunya perubahan paradigma sejak awal merupakan aspek yang paling ditekankan dalam KBK dan KTSP. Perubahan paradigma seperti itu bahkan selalu menjadi materi pertama dalam pelatihan KBK dan KTSP.  
3.  Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran K13 dicontohkan seolah berbeda dari KBK dan KTSP, di mana proses pembelajaran tidak dilakukan dengan berbasis guru, melainkan melalui pendekatan yang disebut scientific tersebut. Padahal dalam praktiknya, seluruh metode pembelajaran yang selama ini dituntut digunakan dalam KBK dan KTSP tetap digunakan dalam K13. Metode pembelajaran K13 sama sekali tidak berbeda dari kurikulum sebelumnya.
4.  Pembelajaran Tematik
Perbedaan paling jelas dari K13 dari KBK dan KTSP adalah pada digunakannya pendekatan tematik. Kalau ada bagian yang dipandang berbeda mungkin di sinilah letak perbedaan K13 dari KBK dan KTSP. Di jenjang sekolah dasar, pembelajaran tematik K13 diberlakukan pada seluruh tingkatan kelas, sementara sebelumnya hanya diterapkan di kelas bawah (kelas 1-3). Hanya saja, berdasarkan buku-buku yang diterbitkan oleh pemerintah, struktur materi  pelajaran (sub tema) mulai kelas IV ke atas tidak lebih dari kliping materi pelajaran yang berlaku dalam KBK dan KTSP, sekedar untuk menyamarkan mata pelajaran ke dalam tema-tema yang telah ditentukan. Dengan kata lain, substansi pembelajaran pada K13 sebenarnya tidak berbeda dari sebelumnya, sebab yang berbeda hanya dalam penempatannya. 
5.  Penilaian 
Penilaian dalam pendekatan scientific yang sebelumnya menggunakan penilaian autentik diubah menjadi penilaian berdasarkan beberapa Kompetensi, yaitu K1, K2, K3 dan K4. Substansi penilaian tersebut pada prinsipnya tidak berbeda, alias sama dengan KBK dan KTSP. Penilaian dengan menggunakan rubrik penilaian sudah ditekankan dalam KBK dan KTSP, sekalipun karena berbagai kerumitan yang dihadapi dalam praktik, akhirnya disederhakan dengan berbagai varian. Penilaian dalam K13 justeru tidak konsisten, sebab setiap kompetensi (K1-K4) belum tentu relevan dengan semua tema yang dipelajari. 
6.  Pengembangan Kompetensi
Perbedaan mendasar K13 dari KBK dan KTSP juga diklaim berdasarkan pengembangan kompetensi yang sebelumnya berbasis mata pelajaran menjadi didasarkan kada Kurikulum Inti (KI). Faktanya, buku-buku pelajaran K13 tidak demikian. KD pembelajaran masih berdasarkan mata pelajaran. Hal ini dapat dicermati dari sub tema yang dikembangkan dalam buku-buku K13 persis sama dengan mata pelajaran. Yang terjadi sebenarnya bahkan pemaksaan materi pelajaran (sub tema) dengan tema yang telah ditetapkan, padahal sub tema tersebut tidak jelas relevansinya dengan tema. Pada kelas 1, kompetensi yang dikembangkan dalam tema dan subtema mungkin masih relevan dalam banyak hal, tetapi tidak selalu demikian untuk kelas IV. Sebagai misal, materi Kenampakan Alam (IPS) disambungkan dengan Garis Bilangan (Matematika) yang berdasarkan buku terbitan pemerintah jelas tidak jelas relevansinya. Kalaupun relevan, belum tentu setiap guru mampu mengkaitkan keduanya. 

Sabtu, 22 Februari 2014

KETERAMPILAN TEKNIS DAN SOSIAL; 2 FUNDAMENTAL KETRAMPILAN HIDUP

Kurikulum pendidikan dari waktu ke waktu mengalami perubahan demi perubahan. Tujuan perubahan tersebut tidak lepas dari tingginya harapan yang disandarkan pada dunia pendidikan. Banyak konsep ditawarkan, tetapi tak ada yang memuaskan semua pihak. Beragam kompetensi dirumuskan tetapi hanya beberapa yang dapat diwujudkan.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi serta mengamati sikap dan perilaku guru di sekolah, saya menyimpulkan bahwa pada dasarnya hidup hanya membutuhkan 2 ketrampilan, yang saya istilahkan dengan keterampilan teknis dan keterampilan sosial. Mungkin kedua istilah tersebut tidak tepat, tetapi saya belum menemukan istilah lain yang lebih representatif.
1.  Ketrampilan Teknis 
Keterampilan teknis adalah kemampuan seseorang melaksanakan bidang tugas yang dihadapi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang disebut tukang, ahli atau pakar di bidangnya. Sebagai misal, kemampuan pelajar menguasai mata pelajaran dan mengerjakan soal ujian, tukang kebersihan membersihkan halaman, seorang pakar menganalisis masalah, dokter menangani pasien, sopir menjalankan kendaraan dan sebagainya. 
Kemampuan ini memiliki tingkatan-tingkatan, dan tingkatan tersebut menentukan nilai keahlian seseorang. Keterampilan teknis menentukan nilai keterpercayaan seseorang di hadapan orang lain yang membutuhkan. Kemampuan tukang kayu membuat mebeler dan teknisi mereparasi kendaraan memungkinkannya dibutuhkan dan dihargai oleh mereka yang mempekerjakan. Kemampuan siswa mengerjakan soal ujian akan menentukan nilai yang diberikan oleh guru atau dosen kepadanya.
Sekolah dan lembaga-lembaga pelatihan pada dasarnya hanya menekankan pembinaan keterampilan teknis. Siswa dilatih untuk mampu mengerjakan soal melalui proses pembelajaran, Pelajaran seni dan keterampilan mengajarkan kemampuan menerapkan bidang tersebut. Semakin tinggi tingkat penguasaan materi pelajaran menentukan level keberhasilan seseorang. 
2.  Ketrampilan Sosial
Keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang untuk membangun relasi dan berkomunikasi dengan orang lain di sekitarnya, dan membuatnya diterima, dihargai, didengar, disukai atau bahkan diikuti oleh orang lain. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang meraih keberhasilan dalam hidup.
Keterampilan ini bersifat seni dalam arti luas, yaitu dari sisi keunikan kreasi manusia. Dalam hal ini seni dipahami sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang bersifat unik sesuai dengan kekhasan pribadi dan kecenderungan hidup seseorang. Itu sebabnya, bagaimana seseorang mengekspresikan kemampuan ini dengan cara yang berbeda-beda.
Keterampilan ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, meski di sekolah tidak diajarkan. Orang yang paling membutuhkan keterampilan ini adalah para politisi, sales, atau pedagang. Profesi politisi tidak begitu banyak membutuhkan keahlian di bidang keilmuan tertentu, bahkan orang yang tidak begitu sukses tak jarang berhasil menjadi politisi dan pemimpin ulung. 
Mereka lebih banyak mengandalkan kemampuan menempatkan dirinya agar diterima, disukai, dan dipilih oleh rakyat. Adapun hal-hal yang berbau teknis diserahkan pada orang lain yang mempunyai keahlian teknis. Kepiawaian mereka mendekati dan meyakinkan orang lain lebih menentukan dibanding keterampilan teknis.
Pedagang dan salen yang sukses pada umumnya juga mempunyai keterampilan sosial yang tinggi. Teknik dagang pada dasarnya  sederhana yaitu ada barang, dipajangkan, dibeli orang, dan untung, tetapi nyatanya tak semua orang yang membuka toko mampu menarik pelanggan.
Mana Yang Lebih Penting?
Tidak ada patokan baku mengenai mana yang lebih penting, sebab sebagaimana contoh-contoh di atas, ada yang memiliki keterampilan teknis tinggi berhasil dan pula yang gagal. Ada lagi yang berhasil hanya dengan mengandalkan keterampilan sosial, tetapi ada pula yang tidak.
Secara umum, keterampilan teknis pada umumnya merupakan keterampilan yang perlu dibekalkan pada setiap anak manusia, sebab keterampilan ini merupakan keterampilan yang paling dasar dan secara alamiah dibutuhkan manusia untuk hidup. Bahkan di tengah kesendirian, seseorang perlu memiliki keterampilan teknis dalam memanfaatkan segala hal di sekitarnya agar dia tetap bertahan hidup. Sedangkan keterampilan sosial diperlukan bagi manusia saat berhadapan dengan manusia lainnya.
Di tengah percaturan sosial yang kian kompleks saat ini, keterampilan teknis saja biasanya tidak memadai untuk meraih sukses. Teknisi mesin yang sangat ahli belum tentu mendapat pekerjaan bila sikap dan tutur katanya mengecewakan orang lain. Teknisi yang baru berlajar mungkin lebih diterima karena sikap, turut kata dan perilakunya membuat sang majikan nyaman mempekerjakannya.
Di lembaga-lembaga modern paduan keduanya menjadi penekanan, tetapi sisi keterampilan sosial biasanya lebih ditekankan. Aspek keterampilan sosial biasanya tampak pada penekanan layanan prima (service axcellence), misalnya dengan sikap yang ramah, jawaban yang menyejukkan, hingga berbagai fasilitas yang mampu mengurangi kekecewaan pelanggan. Keterampilan sosial sering kali mampu menutupi keterampilan teknis yang kurang memadai, meski tidak ada pendidikan yang secara khusus menyediakan materi ini secara khusus. 

Senin, 18 November 2013

4 MODEL KELEMBAGAAN SEKOLAH SWASTA

Sekolah swasta merupakan entitas yang unik. Setiap sekolah memiliki sejarah berdiri dan perkembangan yang berbeda-beda, yang mengakibatkan pola managemen mereka berbeda satu sama lain. Secara umum pola managemen tersebut dapat dipilahkan menjadi empat model berikut, di mana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
1.      Tanpa Patron
Ini adalah model managemen sekolah yang tidak memiliki lembaga managemen yang membawahi managemen sekolah. Sekolah seperti ini biasanya berdiri dan berkembang atas inisiatif sekelompok orang yang sekaligus berperan sebagai guru dan pengelola sekolah.
Lembaga atau yayasan yang membawahi biasanya dibentuk kemudian sekedar sebagai persyaratan administratif, terutama terkait dengan aturan hukum. Lembaga atau yayasan tersebut tidak memiliki peran selain administratif dan formalistik, sebab pada dasarnya keberadaannya hanya sebagai formalitas.
Termasuk dalam kategori ini adalah berbagai sekolah atau madrasah di berbagai pelosok daerah yang status hukumnya diatasnamakan lembaga pendidikan Ma’arif dan Muslimat NU. Lembaga-lembaga tersebut hanya berperan sebagai afiliasi organisasi, tetapi secara managemen tidak berperan menentukan visi, misi, dan apalagi sistem dan pembiayaan.
Kelebihan sekolah tipe ini terletak pada “kebebasan” guru dan pengelola sekolah. Mereka tidak tertuntut oleh target-target tertentu dari lembaga yang membawahi, sebab lembaga tersebut tidak lebih tahu urusan sekolah. Hanya saja, kebanyakan sekolah tipe ini tidak berkembang, bahkan kebanyakan menempatkan diri sebagai sekolah “buangan” bagi siswa yang tak diterima di sekolah negeri. Ini dikarenakan guru dan pengelola sekolah menjadi pemikir dan sekaligus pelaksana pengelolaan sekolah. Sekolah tipe ini umumnya rawan konflik, terutama dalam hal rekrutmen tenaga dan saat pergantian kepala sekolah.
2.      Patron Simbolik
Sekolah model ini pada dasarnya mirip dengan sekolah tanpa patron. Hanya saja, antara sekolah dan lembaga atau yayasan memiliki hubungan yang relatif dekat dengan guru dan pengelola sekolah. Pengelolaan sekolah sepenuhnya di tangan sekelompok guru dan pengelola sekolah meski keberadaan sekolah berdiri dan berkembang atas inisiatif seseorang atau komunitas sosial di sekitarnya.
Sebagian sekolah dan madrasah yang berafiliasi pada lembaga pendidikan Ma’arif dan Muslimat NU berpola managemen seperti ini. Perbedaan model ini dan sebelumnya terletak pada kedekatan inisiator pendirian sekolah dengan guru dan pengelola sekolah, yang memungkinkan dukungan dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
Inisiator pendirian sekolah pada dasarnya tidak tahu menahu detail pengelolaan sekolah dan hanya berperan sebagai pendukung pasif, terutama bilamana ada kegiatan besar seperti pengadaan gedung baru. Patron sekolah berperan menggerakkan dukungan sosial guna membantu mewujudkan kebutuhan sekolah.  
Kelebihan dan kekurangan sekolah tipe ini hampir sama dengan sekolah tanpa patron. Sebagian sekolah dapat berkembang pesat dari segi jumlah siswa, karena dukungan masyarakat yang kuat. Sekolah tertentu biasanya menjadi kebanggaan karena jumlah siswanya, meski honorarium gurunya biasanya tak begitu besar. Hanya saja, sekolah tipe ini umumnya rawan konflik, terutama dalam hal rekrutmen tenaga dan saat pergantian kepala sekolah.
3.      Semi Patron
Sekolah tipe ini pada dasarnya juga berjalan sepenuhnya di tangan guru dan pengelola sekolah, tetapi pendiri sekolah memiliki pengaruh besar terhadap sikap, perilaku guru dan pengelola sekolah, maupun kebijakan penting di sekolah. Inisiator dan pendiri sekolah berperan menentukan berbagai kebijakan strategis mulai dari menentukan visi dan misi, kebijakan pendidikan, hingga kriteria-kriteria guru dan pengelola sekolah.
Ini terjadi dikarenakan sang inisiator merupakan pihak yang memiliki posisi hukum kuat dan berperan dalam menyediakan berbagai sarana dan pembiayaan. Berdirinya sekolah terjadi akibat inisiatif seseorang atau komunitas, yang hanya dapat berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan besar, tetapi kurang mampu mengelola urusan teknis di sekolah.
Sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah dan sekolah atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh para tokoh dan artis pada umumnya menganut model seperti ini. Guru dan pengelola sekolah memiliki kebebasan penuh dalam menentukan berbagai kebijakan sekolah, selama tidak berseberangan dengan garis besar kebijakan sang “pemilik” sekolah.
Sekolah tipe ini biasanya memiliki program dan kebijakan yang lebih terarah karena dukungan tokoh atau organisasi yang kuat. Managemen sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sekolah, kecuali bila menyimpang dari kebijakan pemilik sekolah. Sebagian sekolah dapat berkembang menjadi sekolah favorit, tetapi sebagian lagi sulit berkembang karena tokoh atau lembaga yang membawahi kurang mampu memberikan arahan yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
4.      Patron Penuh
Sekolah tipe ini pada umumnya dikelola dengan kriteria yang ketat, mulai dari visi, misi, program kurikulum hingga pembiayaan yang secara detail dirancang dan kendalikan oleh lembaga pendiri dan pemilik sekolah. Sekolah tipe ini biasanya berdiri atas inisiatif seseorang atau komunitas di mana sang inisiator berperan dalam pengelolaan sekolah secara menyeluruh. Selain menentukan visi, misi dan sistem kerja secara luas, lembaga atau yayasan yang membawahi sekolah merancang dan mengendalikan pengelolaan sekolah hingga aspek yang paling detail.
Pengelola sekolah sepenuhnya berperan layaknya manager perusahaan atau kepala sekolah negeri yang segala kebijakan, sikap dan keputusannya harus dikonsultasikan dengan lembaga atau dinas yang membawahi. Sekolah-sekolah swasta bonafide yang berkembang pada kurun sekitar menjelang tahun 2000-an dan sesudahnya pada umumnya menganut model ini.
Sekolah didirikan sebagai hasil rancangan seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keahlian di bidang pendidikan, yang mampu merancang dan mengendalikan pengelolaan sekolah hingga aspek yang sangat detail. Guru dan pengelola sekolah pada dasarnya hanya instrumen pengelolaan yang bertugas mewujudkan visi, misi dan kebijakan pemilik sekolah.

Sekolah tipe ini umumnya menempatkan diri sebagai sekolah favorit dengan biaya mahal. Kuatnya managemen menjadikan sekolah mampu memberikan jaminan mutu yang terpercaya di masyarakat. Hanya saja, ketatnya managemen membuat sekolah ini membutuhkan guru dan pengelola sekolah dengan kriteria dan pola kerja yang ketat. Meski mampu memberikan honorarium lebih baik dibanding sekolah kebanyakan, tetapi tak semua orang yang memilih profesi guru memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk mengelola sekolah seperti ini.

Minggu, 20 Oktober 2013

2 PRINSIP PENGELOLAAN KEUANGAN SEKOLAH SWASTA

Keuangan sering kali menjadi masalah menonjol di sekolah, bahkan tidak jarang jauh lebih menonjol dibanding persoalan akademik yang sebenarnya merupakan fokus utama sekolah. Banyak orang begitu mudah meributkan masalah keuangan, tetapi jarang dijumpai mereka yang mempersoalkan kualitas pembelajaran maupun sikap dan perilaku siswa-siswi di sekolah.
Barangkali uang sudah menjadi raja - ada yang menyebut Tuhan - dalam kehidupan. Apapun masalah yang terjadi, sebenarnya yang melatarbelakangi hanya persoalan uang, kata Slank UUD (ujung-ujungnya duit). Makna pengabdian bagi sebagian guru, kepala sekolah dan wali murid semakin pudar oleh uang. Dimensi spiritual pendidikan semakin luntur akibat dasar dan orientasi hidup sudah beralih kepada uang.
Itu sebabnya penyelenggara dan pengelola sekolah harus bijak dalam memanfaatkan sumber dana yang masuk demi kemaslahatan sekolah. Pada prinsipnya, pengelolaan keuangan sekolah memiliki 2 tujuan pokok:
1.  Agar Kegiatan Pendidikan Berjalan Sesuai Program
Lembaga pendidikan harus mampu mendayagunakan sumber pemasukannya pertama-tama untuk membiayai kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Biaya kegiatan ini dapat disebut dengan biaya operasional, yaitu biaya yang dibutuhkan untuk membuat sekolah dapat beroperasi dengan baik.
Besaran biaya operasional tentu saja harus secara timbal balik disesuaikan dengan target program dari setiap sekolah. Di sisi lain, program dan kegiatan sekolah juga harus memperhatikan besaran sumber dana yang dimiliki, yaitu sebesar pengeluaran optimal yang mungkin dikeluarkan berdasarkan sumber pemasukan, yang rata-rata sebesar 50% sampai 75% dari total pemasukan.
2.  Agar Lembaga Pendidikan Terus Berkembang
Sekolah swasta sebaiknya tidak menghabiskan seluruh pemasukan sekolah untuk biaya operasional karena sudah pasti akan membuat sekolah tidak berkembang. Sekolah harus mengalokasikan sebagian pemasukannya untuk keperluan pengembangan sekolah, yaitu usaha untuk membuat kualitas dan kuantitas pelayanannya ditingkatkan.
Secara sederhana dapat dijelaskan, bila sekolah mampu mengalokasikan anggaran pengembangan sebesar 10% misalnya, maka pengembangan sekolah akan meningkat sebesar 10% setiap tahun. Pengembangan tersebut dapat berupa pengembangan sarana-prasarana, program, penelitian bahkan pembukaan sekolah baru..
Ini diperlukan mengingat sekolah swasta tidak mungkin bergantung pada siapapun kecuali pada dirinya sendiri. Sekolah swasta bahkan tidak selayaknya menggantungkan harapan pada kebaikan hati pemerintah, terlebih di tengah carut-marutnya sistem politik dan pemerintahan akhir-akhir ini. Bahkan ada baiknya sekolah swasta melepaskan sama sekali campur tangan pemerintah di bidang pembiayaan, semisal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) karena hanya membebani sekolah dibanding membantu meringankan beban.

6 PERTANDA ANDA SIAP MENGHADAPI PEKERJAAN

Apakah Anda siap menghadapi sebuah pekerjaan? Bila jawaban Anda iya, belum tentu Anda memang benar-benar siap menghadapi sebuah pekerjaan, sebab menjawab seperti itu merupakan kecenderungan umum setiap orang yang terlanjur menerima sebuah pekerjaan.
Siap tidaknya seseorang menghadapi pekerjaan ditentukan oleh sikap dia terhadap pekerjaan, bukan oleh kata-katanya. Bila Anda memang benar-benar siap menghadapi sebuah pekerjaan, sikap mental Anda tentu akan seperti beberapa sikap berikut.
1.  Keingintahuan
Mungkin Anda orang baru dalam suatu pekerjaan. Mungkin sebenarnya Anda merasa ada banyak hal yang belum Anda pahami dan belum Anda kuasai dari pekerjaan yang ada di hadapan Anda. Itu merupakan hal biasa bagi setiap orang, terutama saat awal-awal memasuki dunia kerja atau dihadapkan pada hal-hal baru yang sebagian jauh dari apa yang Anda bayangkan sebelumnya.
Kesipan Anda tidak ditentukan oleh bekal kemampuan yang Anda miliki, melainkan pada sikap mental Anda menyikapi hal-hal baru atau hal-hal yang belum Anda kuasai. Bila keterbatasan pengetahuan dan kemampuan tersebut membuat Anda tertantang untuk mempelajarinya, maka itu pertanda Anda siap menghadapi pekerjaan, sebab pada dasarnya tidak ada apapun yang tak mungkin dipelajari. Bila keawaman Anda mendorong Anda bertanya dan belajar, maka itu pertanda Anda siap mendalami, menguasai dan menerapkan hal-hal baru yang sangat boleh jadi akan mengubah masa depan Anda.
Sebaliknya bila Anda cenderung mengeluh, enggan bertanya dan mempelajari lebih dalam hal baru atau apa yang Anda belum kuasai, maka itu akan semakin menjauhkan diri Anda dari pekerjaan yang Anda hadapi. Keluh kesah dan keengganan tak akan mengubah Anda keluar dari keadaan.
2.  Kritik Mengubah Anda
Sebagai orang yang belum benar-benar menguasai pekerjaan, sangat mungkin membuat Anda mendapat arahan, bimbingan, kritik, bahkan cemoohan. Bila Anda memang seorang yang berkarakter sukses, ingin berkembang dan siap menghadapi pekerjaan, itu semua tak akan membuat Anda lemah, apalagi mundur. Orang sukses menyikapi saran, kritik, dan apapun sebagai masukan dengan sikap positif. seseorang yang berkarakter sukses selalu menjadikan kritik, saran dan cermohan sebagai vitamin" penambah vitalitas yang mampu membuat seseorang semakin kuat dan lebih baik.
Sebaliknya kritik, saran, apalagi cemoohan merupakan racun yang efektif untuk melemahkan, mematahkan dan membuat manusia bermental pecundang menyerah, atau berang. Mereka bukan manusia yang siap belajar untuk menghadapi tantangan pekerjaan. Padahal setiap pekerjaan memiliki masalah, hambatan dan tantangannya sendiri.
3.  Terus Belajar
Sukses dan gagal adalah dua hal yang selalu ada dalam setiap gerak kehidupan. Mungkin suatu saat Anda belum berhasil mewujudkan sebuah harapan, atau bahkan gagal total. Tidak ada yang dapat disalahkan atas setiap kegagalan kecuali diri kita sendiri, sebab kegagalan berarti pertanda kita belum cukup belajar dan harus lebih banyak belajar.
Bila Anda memilih untuk terus belajar sampai menemukan cara terbaik mengatasi masalah pekerjaan yang Anda hadapi, maka itu pertanda Anda siap menghadapi pekerjaan Anda. Kemauan untuk belajar dan meningkatkan kemampuan untuk menghadapi sebuah pekerjaan merupakan pilihan manusia berjiwa sukses dalam menyikapi pekerjaan yang dihadapinya. Sebaliknya, keengganan belajar dan melakukan perubahan pada diri sendiri merupakan "penyakit" krusial yang menghambat kesiapan dan kemampuan seseorang untuk menghadapi sebuah pekerjaan. 
4.  Menjelaskan Detail 
Level pertama yang menunjukkan bahwa Anda bukan saja siap menghadapi suatu pekerjaan, melainkan menguasai pekerjaan adalah kemampuan Anda memaparkan pekerjaan Anda. Ketika Anda mampu mempresentasikan secara meyakinkan terhadap pekerjaan yang Anda hadapi di hadapan atasan atau forum, itu merupakan pertanda awal bahwa Anda bukan hanya siap menghadapi pekerjaan Anda.
Level lebih tinggi lagi adalah apabila Anda mampu menjelaskan berbagai permasalahan pekerjaan yang Anda hadapi dan solusi cerdas yang Anda ambil. Mungkin hasil kerja Anda tidak seperti yang diminta atasan Anda, tetapi Anda punya beberapa alasan logis dan faktual yang dapat diterima atasan. 
5.  Menerapkan Keputusan
Banyak hasil rapat dan evaluasi yang menguap begitu saja setelah rapat usai. Tak semua orang mampu mewujudkan sebuah konsep dalam kenyataan, sekalipun dibahas sangat serius. Bila Anda termasuk mereka yang mampu menerapkan keputusan dan konsep-konsep yang dibahas dalam suatu rapat evaluasi dalam bentuk tindak lanjut yang nyata, maka itu pertanda Anda memang seorang profesional yang memang pantas utuk diberi kepercayaan mengemban suatu pekerjaan.
Sebaliknya, bila Anda tidak berbuat apa-apa setelah pengambilan keputusan dilakukan, itu pertanda Anda tak punya "chemistery" pada pekerjaan Anda. Kalaupun Anda tidak tahu harus berbuat apa, seharusnya ada menujukkan sikap ingin tahu dan mencari tahu, tetapi bila Anda membiarkan hasil evaluasi dan keputusan berlalu tanpa tindak lanjut yang jelas, maka itu pertanda Anda layak dipecat dari pekerjaan Anda. Dengan sikap seperti itu Anda bukan the right man in the right place.
6.  Membangun Visi
Kualitas lebih tinggi lagi dari kesiapan seseorang menghadapi pekerjaan adalah sejauh mana inspirasi seseorang berkembang terhadap pekerjaannya. Bila saat menghadapi pekerjaan ide seseorang berkembang hingga lahir ide-ide segar yang lebih baik untuk membuat pekerjaannya lebih efektif dan efisien, maka itu pertanda Anda memang the right man in the right place. Anda adalah orang yang tepat untuk pekerjaan Anda sekalipun mungkin tak selaras dengan kesarjanaan Anda.
Berkembangnya visi yang lebih maju merupakan pertanda bahwa pekerjaan itu membuat Anda merasa hidup. Anda bukan lagi instrumen atau alat yang dapat digantikan begitu saja dengan orang lain.

Rabu, 09 Oktober 2013

5 TANDA ANDA TAK SIAP MENGHADAPI PEKERJAAN

Setiap pekerjaan tidak hanya membutuhkan kemampuan, tetapi juga kemauan. Ada kalanya seseorang tidak memiliki kesiapan mental dan kemampuan saat terlanjur menerima sebuah pekerjaan. Akibatnya, pekerjaan bukan menjadi wahana yang mampu membuat anda merasa hidup, tetapi sebaliknya. Ketidaksiapan seseorang menghadapi pekerjaa sering kali mendatangkan stress dan diikuti beragam masalah.
Tak semua orang menyadari bahwa masalah mendasar yang dia alami dalam bekerja sebenarnya terletak pada ketidaksiapannya menghadapi pekerjaannya. Padahal hasil kerja Anda pasti mengecewakan bila Anda tidak menikmati pekerjaan Anda. Beberapa tanda berikut kiranya dapat menjadi bahan refleksi apakah Anda siap menghadapi sebuah pekerjaan.
1.  Mengeluh
Ketika memasuki dunia kerja Anda merasa pekerjaan Anda terlalu banyak, terlalu berat, sulit, atau terlalu banyak hal yang Anda tidak kuasai, maka itu pertanda awal Anda tidak siap dengan pekerjaan Anda. Anda belum cukup kemampuan dan kesiapan mental untuk menghadapinya. Itu sebabnya keluhan demi keluhan keluar dari mulut Anda.
2.  Enggan Menyentuh Pekerjaan
Ada kalanya berhari-hari, berminggu atau berbulan Anda tidak segera menyentuh pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan beberapa waktu. Dengan alasan sibuk, atau masih mengerjakan ini dan itu, atau baru menyelesaikannya pada batas akhir penyerahan,  dapat menjadi anda tidak nyaman dengan tugas Anda. Kesiapan bekerja berarti komitmen untuk memanfaatkan waktu, tenaga dan pikiran seoptimal mungkin. Semakin panjang waktu yang terbuang menjadi pertanda bahwa Anda hanya berusaha menyamankan diri dengan menghindari menyentuh pekerjaan hingga kadang sampai terlupakan. 
3.  Menyalahkan Pihak Lain
Tanggung jawab pekerjaan Anda ada pada diri Anda sendiri, baik yang menyangkut tugas teknis maupun tanggung jawab moralnya. Ketika pekerjaan Anda tidak selesai atau gagal, lalu anda sibuk mengumpulkan beribu alasan kegagalan, itu menjadi pertanda bahwa Anda tidak siap menghadapi pekerjaan Anda. Apalagi bila yang Anda kemukakan hanya alasan-alasan yang tidak profesional, maka itu pertanda Anda tak cukup punya tanggung jawab terhadap pekerjaan Anda.
4.  Merasa Selalu Disalahkan
Ada kalanya Anda harus bolak balik menghadap atasan karena hasil kerja Anda dianggap salah dan harus diperbaiki. Kadang pula Anda merasa dipersalahkan oleh situasi atau hasil kerja yang menjadi tanggung jawab Anda. Bila kenyataannya pekerjaan Anda memang salah atau tak memenuhi harapan, dan Anda merasa kecewa saat dipersalahkan, maka itu pertanda Anda tidak siap menghadapi pekerjaan Anda. Anda tidak dapat merespon kritik secara positif bila koreksi pihak lain Anda respon dengan ketersinggungan. Bila hasil kerja Anda memang ada yang benar-benar harus diperbaiki, dan Anda keberatan melakukannya maka itu menunjukkan bahwa kemampuan Anda masih kurang, dan harus belajar memahami dan melaksanakan tugas Anda dengan baik.
5.  Membangun Konflik
Ini adalah level terburuk yang menjadi petunjuk betapa Anda tak siap menghadapi pekerjaan. Ketika Anda merasa tidak terima saat dikritik, ditegur atau dipersalahkan oleh atasan, lalu tanpa sadar Anda mulai mencari-cari kesalahan pimpinan atau perusahaan, seperti gaji tak sepadan atau mempersoalkan berbagai kebijakan yang semula tidak Anda persoalkan, maka itu pertanda Anda benar-benar tak siap menghadapi pekerjaan. Mungkin terlalu banyak hal yang belum Anda bisa, sehingga untuk menutupinya Anda menyerang balik sebagai pembelaan diri (defense mechanisme) Anda.
Itu mencerminkan Anda tidak mampu bersikap profesional yang mampu melihat dan menyikapi masalah secara proporsional. Lebih parah lagi, sikap seperti itu menandakan bahwa Anda tak punya cukup integritas moral untuk bertanggung jawab terhadap sebuah pekerjaan. 

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...