Selasa, 21 Juli 2015

SUSAHNYA BERURUSAN DENGAN DOSEN PEMBIMBING

Lima bulan lalu aku berusaha menghadap pengujiku yang satu ini, sebut saja namanya pak Nas. Bukan hal mudah bertemu dosen yang satu ini, karena nomor handphone yang aku dapatkan tak pernah diangkat setiap kali aku telepon, juga tak pernah terjawab setiap aku SMS. Aku sempat ragu apakah ini benar nomor beliau, dan setelah aku konfirmasi ke kantor memang itu nomor beliau.
Gagal bertemu dengan memanfaatkan teknologi, aku memilih cara manual pada minggu berikutnya. Aku cari saja jadwal kuliah yang beliau ajarkan, dan kutemukan dua hari jam mengajar beliau di kampus. Dua hari itu aku menunggu di depan ruang kuliahnya, tapi tidak ada kuliah beliau seperti di jadwal itu. Siang hari setelah jadwal berikutnya juga sama, tidak ada kuliah beliau hari itu. Aku tanya ke staf kantor, apakah beliau mengajar hari ini. "Mestinya iya, tapi kadang jadwalnya diubah dengan kesepakatan mahasiswa" Jawabnya. "Terus kapan dan di mana aku dapat bertemu beliau?" Tanyaku, tapi mereka hanya menggeleng saja, dan akupun memutar otak untuk mencari cara bertemu. 
Minggu berikutnya aku tanya teman-temanku yang mengajar di kampus itu, tetapi semuanya angkat tangan untuk berurusan dengan orang satu itu. Informasi yang kudapat tentang dosen satu ini bahkan kurang mengenakkan, "Kenapa kamu berurusan dengan itu. Dia orang sulit" Begitu teman-temanku menyebutnya. 
Apapun dia aku tak peduli, sebab yang jelas aku memang harus konsultasi dengannya. Dua minggu ini aku memang belum beruntung, dan harus pulang untuk kembali lagi minggu depan, tapi ada satu poin yang kurasa membantu. Salah seorang sahabatku menjadi pimpinan fakultasnya. Aku sempatkan mampir ke kanto, tapi dia sedang ada kegiatan, sehingga aku memilih pulang dulu.
Saat perjalanan pulang aku coba telepon sahabatku itu, tetapi tak terangkat. Akhirnya aku kirim SMS. "Apa kabar pak Dekan. Tadi aku mampi ke kantor, tapi antum kelihatan sibuk. Semoga sukses saja" bunyi SMS-ku.
Di pejalanan pulang, tiba-tiba dia menjawab SMS dariku, dan seketika aku menelponnya. Setelah ngobrol saja sini sambil nyetir kendaraan, aku tanya soal dosen yang satu itu. "Kalau soal itu tanya aku kan beres? Beliau di kampus hari Selasa dan Rabo"
Bener, minggu berikutnya aku berusaha datang pagi-pagi ke fakultas itu. Sekitar setengah tiga sore aku melihat dia mengajar dan aku menunggunya di depan kelas. Saat ada kesempatan, aku langsung masuk menghadap. "Baik. Saya baca dulu. Itu namanya bekerja" Begitu jawabnya. Setelah empat minggu berusaha, minggu ini aku pulang dengan perasaan lega. Aku berharap minggu depan ada kemajuan.
Minggu berikutnya aku menunggunya di depan kelas. Setelah beberapa saat menunggu, aku melihat dia lewat dan langsung kusalami. "Belum. Belum selesai saya baca. Masih ada beberapa naskah lain yang harus saya koreksi" Jawabnya dengan nada datar. 
"Tapi saudara harusnya kan ujian ulang, karena sudah terlalu lama, kan?" Begitu tanyanya mengagetkanku.
"Iya, prof. Saya diberi dispensasi oleh kampus" Jawabku.
"Oke. Nanti saya pelajari dulu" Jawabnya. Akupun pulang dengan perasaan kurang nyaman. Sikapnya memberiku kesan beliau tak berkenan dengan kehadiranku hari ini. Sepertinya aku terlalu cepat datang, padahal beliau butuh waktu lebih lama.
Minggu berikutnya aku tetap saja datang ke ruang kuliahnya, tapi kali ini beliau tidak ditempat. Akupun kembali pulang dan datang lagi minggu berikutnya, tetapi kembali tak berhasil bertemu. Baru minggu berikutnya lagi aku berhasil bertemu. "Belum. Baru punya siapa itu yang selesai" Jawabnya dengan wajah dingin, dan akupun kembali pulang dengan tangan hampa.

RESIKO WIRAUSAHA BERMODAL UANG

Di tengah pergaulan sehari-hari banyak orang enggan berwirausaha karena merasa "tidak punya modal", dalam arti tidak punya uang yang banyak untuk membuka usaha. Di kepala banyak orang, modal berwirausaha adalah uang yang banyak. Dengan kata lain, kebanyakan orang beranggapan bahwa selalu dibutuhkan uang yang banyak untuk menghasilkan uang.
Mereka hanya melihat para pengusaha berkembang hanya bermodal uang, sehingga sering kali muncul ungkapan, "Pantas saja dia sukses, karena banyak modal!", atau "Habis bagaimana lagi? Aku kalah modal!"
Banyak anak yang mengeluh karena merasa tidak dimodali, dalam arti tidak diberi uang banyak untuk membuka usaha, oleh orang tuanya. Banyak orang berfikir, kalau saja dia diberi modal berupa uang yang banyak, dia akan dengan mudah membuka usaha. 
Pandangan seperti ini tidak tepat, bahkan boleh dibilang keliru besar, apalagi bagi mereka yang belum pernah mempunyai pengalaman membangun usaha. Para motivator bahkan menyebut alasan "tidak punya modal" adalah pandangan picik yang hanya muncul dari mulut pemalas yang bodoh.
Maaf, ini memang ungkapan yang kasar, tetapi memang demikian adanya dan harus dikatakan untuk mengingatkan. Mengapa demikian?
Dengan belajar dari melihat kesuksesan orang lain, membaca artikel, kursus wirausaha, atau bahkan hanya dengan berangan-angan, banyak anak muda mengira dapat menjadi pengusaha sukses dalam waktu singkat, padahal faktanya tidak. Semua orang yang pernah berfikir demikian selalu harus menelan pahitnya kegagalan, sebab wirausaha adalah hal nyata, dan mewujudkan sebuah bisnis yang benar-benar berhasil tak pernah semudah mengangan-angankannya. 
Kebanyakan usaha yang diawali dengan modal berupa uang dalam jumlah besar selalu berakhir dengan kegagalan. Hal ini bisa terjadi karena pengusaha dadakan yang hanya bermodal uang berhadapan dengan resiko fatal berupa:
1.   Tertipu
Mereka yang mengandalkan uang sering kali hanya berfikir keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan mudah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mereka buta terhadap berbagai resiko membelanjakan atau menyerahkan uang pada orang lain. Pengusaha dadakan sering kali berfikir terlalu dangkal hingga mudah terjebak oleh konsep usaha yang terkesan mudah dan masuk akal. Apalagi bila itu dilakukan karena ada orang lain yang berusaha meyakinkannya, misalnya hanya dengan berinvestasi beberapa juta, dia akan mendapat keuntungan berlipat-ganda dalam waktu singkat. Padahal faktanya, jangankan mendapat untung, membuat uang kembali saja sering kali mustahil.
2.   Diakali Orang Lain
Pengusaha dadakan biasanya hanya tahu sedikit, bahkan boleh dibilang buta kondisi lapangan yang sesungguhnya. Mereka umumnya terlalu banyak ketidaktahuannya, tetapi merasah tahu. Akibatnya, saat-saat mengawali usaha mereka sering kali diakali oleh relasi-relasi bisnis, seperti terpaksa membeli barang lebih mahal dari seharusnya, mengeluarkan dana yang tidak perlu, hingga tertipu mentah-mentah.
3.   Rugi atau Bahkan Kehilangan Uang
Menjalani bisnis bagi pengusaha baru sering kali dihadapkan pada hal-hal di luar perkiraan, atau tidak pernah terpikirkan sebelumnya baik akibat situasi yang memang tak diketahui sebelumnya atau karena tertipu. Selain menimbulkan kegamangan, hal-hal baru yang tak diketahui membuat ongkos memulai usaha terlalu besar dari yang diperhitungkan semula, sehingga gagal meraup untung, atau bahkan rugi sama sekali. 
Misalnya, membuat suatu produk seperti yang diharapkan ternyata tak semudah yang dipikirkan sebelumnya, sehingga ongkos produksi terlalu besar, atau bahkan kesulitan mewujudkan produk yang diimpikan, atau tiba-tiab baru tahu kalau produk yang dibuat ternyata sudah memiliki pesaing yang jauh lebih kuat. Contoh lain lagi, ada calon pengusaha yang setelah menginvestasikan uangnya, ternyata ada perubahan kebijakan pemerintah, penurunan harga produk atau kenaikan harga bahan baku, sehingga bukan saja gagal untung, melainkan juga gagal mewujudkan bisnis.

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...