Jumat, 16 September 2011

SULITKAH MENULIS SKRIPSI?

Semester ini aku mendapat tugas membimbing penulisan skripsi satu orang mahasiswa. Sekitar satu minggu sesudah seminar proposal dia menemui aku untuk memulai bimbingan. Setelah memberikan masukan untuk memperbaiki disain penelitiannya, aku bertanya kepadanya, "Berapa hari lagi kamu akan menemuiku untuk konsultasi? Seminggu lagi? Dua minggu lagi?" Dia mengiyakan dengan bilang, "Insya Allah seminggu lagi"
Beberapa hari hingga tiga minggu berikutnya dia sama sekali tidak menghubungiku. Akhirnya aku SMS mahasiswa itu, "Kapan skripsi dikonsultasikan?". Dia menjawab, "Maaf pak, masih saya ketik" Hingga beberapa minggu berikutnya, dia tetap tidak menghubungiku. 
Suatu ketika aku ketemu dia di kantor jurusan, dan langsung aku tegur, "Mana skripsinya? Cepetan, keburu ujian". Dengan santun dia mendekatiku dan bilang, "Begini pak. Skripsi saya masih kena virus. Nanti kalau sudah selesai saya konsultasikan.
Sekitar enam minggu sejak pertemuan pertama, mahasiswa itu menghubungiku, "Pak, mohon waktu untuk konsultasi". Kontan aku tunggu di ruang dosen. Setelah satu setengah bulan, aku pikir naskahnya pasti sudah setengah jadi. 
Aku kaget. Ternyata, dia hanya membawa flash disk. Setelah aku buka, isinya hanya ketikan tidak teratur, yang kelihatannya baru asal ketik, sebanyak 2 halaman dengan ketikan 1 spasi. "Lha mana? Masa cuma ini?" Tanyaku. "Begini pak. Yang lain masih saya ketik. Ini bahannya sudah saya bawa" jawabnya dengan menunjukkan beberapa lembar foto copy dan catatan di buku tulis.  
Dalam hati aku kecewa. Setelah menunggu sekian lama ternyata belum mengerjakan apa-apa. Meski begitu, aku berusaha bersabar. "Oke. segera diselesaikan bab I saja, nanti segera konsultasikan dengan saya. Berapa hari lagi ketemu saya? Seminggu lagi? dua Minggu?" Tanyaku, disamping memberikan beberapa motivasi agar segera diselesaikan.
Setiap minggu sesudah itu aku selalu SMS, "Bagaimana skripsinya? Kapan dikonsultasikan?" Jawabannya selalu sama, "Maaf pak. Masih saya ketik" Meski begitu, hingga beberapa minggu kemudian dia tidak menghubungiku. 
Sekitar satu bulan sesudah itu, dia baru SMS aku, "Pak, mohon waktu untuk konsultasi bab I, II, dan III" Dalam hati aku mengira, kali mahasiswa itu bekerja keras. Aku hanya minta bab I diselesaikan, ternyata sudah selesai 3 bab. 
Setelah ketemu lagi, aku kembali kecewa, sebab ternyata dia masih membawa file yang sama. Bab II dan bab III yang dia bilang itu hanya ketika asal-asalan sekitar 4 lembar saja. Sebenarnya aku mulai berfikir, ternyata mahasiswa ini lemot banget kerjanya. 
Meski begitu, aku tetap menunjukkan sikap ramah, dan berusaha memberi motivasi agar segera diselesaikan. Aku bahkan minta dia kirim naskahnya lewat email bila selesai sewaktu-waktu. Beberapa minggu kemudian dia beberapa menemui aku dengan membawa naskah yang sama. Paling hanya ada tambahan sekitar 1 atau 2 paragraf saja. Itupun dengan ketikan asal-asalan. Dia kelihatan sekali belum terbiasa mengetik dengan komputer. 
Aku mulai berfikir, mungkin dia tidak akan ikut ujian skripsi semester ini, sebab ketika teman-temannya ujian skripsi, dia baru menulis sekitar 12 halaman saja. Rupanya aku keliru, sebab dia bilang mentargetkan ikut ujian berikutnya, sekitar sebulan lagi.
Melihat kemampuan menulisnya yang lamban aku membantu dia menyusun bab II. Dengan menunjukkan beberapa referensi, satu hari sebelum liburan hari raya dia punya tambahan tulisan sekitar 20 halaman. Tulisannya sendiri sudah sekitar 18 halaman. Jadi total naskahnya baru sekitar 38 halaman. Itu berarti masih kurang, 22 halaman untuk mencapai jumlah 60 halaman.
Setelah libur hari raya, dia kembali menemui aku. Sebelumnya aku minta dia membawa naskah lengkap yang sudah tercetak, karena dia bilang sudah selesai seluruhnya. Ketika ketemu, aku kembali kecewa, sebab dia tidak membawa naskah yang aku minta. "Mana naskahnya?" tanyaku. "Ini sudah 10 halaman terakhir yang saya cetak" jawabnya tanpa rasa bersalah.
"Kalau gitu, dicetak dulu semua baru konsultasikan. Kalau sudah siap silakan hubungi saya atau kirimkan lewat pos ke rumah" Jawabku tegas.
Subhanallah.... Keluhku dalam hati. Besok pagi ada jadwal ujian skripsi terakhr, dia cuma membawa 10 lembar naskah skripsi untuk konsultasi. Dalam hati aku jengkel sekali. Aku benar-benar yakin mahasiswa itu tidak cukup siap untuk menulis skripsi.     
Kemarin dia menghubungiku untuk konsultasi. Meski bukan hari kerja, aku sempatkan diri datang ke kampus.  Aku berharap tidak mengecewakannya, meski dia tidak bisa ujian semester ini. Kali ini dia benar-benar membawa naskah lengkap dalam map plastik warna hijau. 
Isinya lengkap mulai halaman judul hingga lampira-lampirannya sekalian. Setelah aku bukan, ternyata baru 43 halaman saja, belum cukup untuk ikut ujian. Bab IV belum ada. Isi bab IV hanya daftar nama siswa. "Lho, bab IV kok isinya daftar nama siswa?" tanyaku. "Jadi harus saya perbaiki, pak?" tanyanya lugu. 
"Bukan diperbaiki. Kamu harus buat. Caranya begini... begitu..." Jelasku menahan jengkel. "Berarti yang belum disetujui hanya bab IV dan bab V?" tanyanya lagi tanpa merasa bersalah. "Iya" jawabku, sembari meminta dia segera melengkapi.
Sebenarnya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam penulisan skripsi itu, tapi aku mulai berfikir, percuma saja memintanya membenahi, karena aku pikir itu hanya akan membebani dia. Sesudah dia pergi, aku hanya berfikir apakah waktu masih mahasiswa aku seperti dia? Jangan-jangan aku seperti itu, atau lebih buruk. 
Karena dia tidak sempat ikut ujian, aku berbasa basi dengan bertanya, "Kamu tidak ditanya, kenapa tidak ujian?"
"Iya, pak" jawabnya.
"Kamu jawab gimana?"
"Belum dapat acc dari pembimbing?"
Dalam hati aku kecewa membimbing mahasiswa itu. Mengapa dia tidak menjawab memang belum bisa menyelesaikan?" tanyaku tersinggung. Padahal dia tahu sampai hari ini naskahnya baru 40-an halaman, sehingga belum bisa diujikan. Bab IV isinya masih seperti itu. Dia begitu lamban bekerja, tetapi mengapa seolah menyalahkan aku seakan tidak mampu membimbingnya?
Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku yang tidak mampu membimbing atau dia yang kemampuan menulisnya tidak terlalu rendah? Karena itu, aku tanya padanya, "Apakah kamu tidak biasa menulis? Mengapa kamu begitu lamban menulisnya?"  
Padahal seingatku, menulis skripsi adalah bagian paling mudah yang aku ingat selama kuliah. Aku masih ingat berapa halaman yang aku tulis, bahkan harus dikurangi oleh pembimbingku karena terlalu banyak. Waktu itu aku menulis skripsi sekitar 150 halaman, dan harus dipangkas tinggal sekitar 110 halaman.
Kali ini, aku ketemu mahasiswa yang menulis 60 halaman saja begitu berat. Padahal ketika melihat daftar riwayat hidupnya, mahasiswa itu diterima di perguruan tinggi negeri ini melalui jalur PMDK. Kok bisa?

Selasa, 13 September 2011

SEKOLAH SWASTA HARUS LEBIH BAIK


Pendidikan termasuk bidang layanan sosial, sama dengan bidang sosial lain seperti kesehatan, panti rehabilitasi, panti sosial, panti jompo dan panti asuhan. Penyediaan bidang-bidang layanan sosial pada dasarnya merupakan tugas negara atau pemerintah. Hanya saja, tanggung jawab pemerintah hanya memberi pelayanan pada masyarakat dengan standar minimal.

Dalam bidang kesehatan misalnya, pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Karena pelayanan pemerintah hanya bersifat minimal, maka masyarakat yang memerlukan fasilitas yang lebih baik dan fasilitas tambahan lainnya secara otomatis harus mengeluarkan biaya sendiri. Mereka yang kurang mampu secara ekonomi berhak memperoleh pelayanan kesehatan gratis, tetapi tidak mungkin diberi fasilitas paviliun. 
Pelayanan pendidikanpun berlaku hal yang sama. Tanggung jawab pemerintah pada dasarnya hanya menyediakan layanan pendidikan dengan kualitas minimal, baik sarana, prasarana, kurikulum pendidikan, maupun pelayanannya.
Perbedaan tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan pola pikir menjadikan sebagian masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik dibanding yang disediakan oleh pemerintah. Inilah yang melatarbelakangi munculnya lembaga-lembaga layanan sosial non-pemerintah, swasta, termasuk pendidikan.
Sekalipun pemerintah menyediakan layanan kesehatan melalui puskesmas dan rumah sakit yang relatif murah, tetapi sebagian masyarakat ada yang memilih berobat ke rumah sakit swasta, bahkan ke luar negeri yang sudah pasti tidak lebih murah. Mereka tidak dapat disamakan dengan masyarakat kebanyakan, karena sudah membutuhkan kenyamanan dan akurasi pengobatan yang lebih baik.
Pemerintah juga menyediakan sekolah-sekolah negeri yang murah, bahkan gratis. Meski demikian, ada juga masyarakat yang membutuhkan kualitas pendidikan lebih baik dibanding yang disediakan oleh pemerintah. Mereka adalah anggota masyarakat yang memiliki karakteristik:
1.      Menempatkan anak sebagai prioritas.
Mereka menaruh harapan tinggi pada masa depan putera-puterinya. Mereka berharap putera-puterinya menjadi orang sukses di masa depan, bahkan lebih sukses dibanding dirinya sendiri.
2.      Menempatkan pendidikan sebagai prioritas.
Mereka memandang pendidikan sebagai kebutuhan terpenting di atas berbagai kebutuhan lain. Mereka rela mencurahkan segala daya-upaya agar putera-puterinya mendapat pengalaman belajar sebaik mungkin.
3.      Selektif terhadap pendidikan.
Berbeda dari masyarakat kebanyakan, mereka adalah masyarakat yang memiliki visi dan tujuan hidup yang jelas. Mereka menyekolahkan putera-puterinya karena mempunyai harapan, bahkan target-target tertentu. Mereka bukan penganut paham “asal sekolah”. Mereka hanya memilih sekolah terpercaya, sesuai dengan yang mereka butuhkan.
4.      Percaya bahwa kualitas pendidikan menentukan kualitas dan masa depan putera-puterinya.
Mereka memiliki keyakinan bahwa pendidikan merupakan jalan lapang untuk mengantarkan kesuksesan putera-puterinya di masa depan. Mereka menempatkan pendidikan yang baik hingga jenjang tertinggi sebagai tumpuan.
5.      Berpandangan ke depan (futuristic).
Mereka adalah masyarakat yang menyadari bahwa persaingan hidup di masa depan semakin ketat. Mereka memiliki kepekaan sosial tinggi, menyadari bahwa tantangan sosial yang dihadapi oleh putera-puterinya kian berat dan membutuhkan kewaspadaan tinggi.
Oleh karena itu, mereka berusaha membekali putera-puterinya dengan pengalaman pendidikan yang lebih baik dibanding masyarakat kebanyakan. Selain sebagai wahana mengantarkan sukses, pendidikan yang baik mereka harapkan dapat menyelamatkan putera-puterinya dari berbagai persoalan sosial, seperti kenakalan remaja dan problem-problem patologis lainnya.
Masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan di atas standar yang ditentukan oleh pemerintah tersebut tentunya siap dengan konsekwensi biaya pendidikan yang lebih besar. Pilihan mereka terhadap sekolah swasta dikarenakan mereka berharap memperoleh jaminan pelayanan yang lebih baik. Demi memenuhi kebutuhan mereka akan pendidikan bermutu, tidak sedikit di antara mereka yang bahkan memilih sekolah di luar negeri meski tidak murah.
Itulah sebabnya, sekolah swasta harus lebih baik dibanding sekolah milik pemerintah baik dari segi kualitas pendidikan maupun pelayanannya. Hal ini dikarenakan tujuan sekolah swasta adalah memberikan alternatif layanan pendidikan yang lebih baik dibanding layanan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.
Pengembangan kualitas pendidikan, kualitas layanan, SDM serta sarana dan prasarana mutlak diperlukan agar sekolah swasta mampu memberikan nilai tawar lebih tinggi dibanding sekolah milik pemerintah. Sekolah swasta harus menempatkan diri sebagai sekolah aktenatif, yaitu sekolah yang menawarkan berbagai keunggulan dibanding sekolah konvensional. Sekolah semacam diperuntukkan bagi masyarakat yang rela mengorbankan biaya demi memperoleh pendidikan dengan kualitas lebih baik.
Masalahnya, banyak guru dan pengelola sekolah swasta yang justeru salah menempatkan diri. Mereka tidak berusaha menjadi sekolah alternatif yang lebih baik dibanding sekolah negeri, bahkan ada yang justeru menjadikan sekolah negeri sebagai acuan. Akibatnya, banyak sekolah swasta tidak berkembang dan hanya mampu menempatkan diri sebagai “sekolah buangan” bagi siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri.
MENGUBAH POLA PIKIR
Hal pertama yang perlu dilakukan agar sekolah swasta berkembang adalah mengubah pola pikir segenap guru dan pengelola sekolah wajib.
1.      Dari pola pikir inferior atau rendah diri menjadi self confidence atau percaya diri.
Banyak orang yang kurang percaya diri dengan status swasta. Padahal swasta berasal dari kata swa hasta yang berarti mandiri, mampu hidup dari tangan sendiri. Sekolah swasta harus tampil percaya diri, bangga sebagai sekolah swasta.
2.      Sekolah swasta harus di atas sekolah negeri, bukan sebagai “pengikut” sekolah negeri.
Berbagai inovasi pendidikan mayoritas lahir dari sekolah swasta, bukan negeri. Kemajuan ekonomi negara mayoritas ditentukan oleh tingkat kemajuan perusahaan-perusahaan swasta, bukan perusahaan pemerintah.
3.      Sekolah swasta harus menempatkan diri sebagai pelayanan jasa yang mampu memberikan nilai lebih dibanding sekolah pemerintah.
Sekolah negeri bukan acuan sekolah swasta, bukan pula pesaing, sebab segmentasi sekolah swasta adalah masyarakat yang  bersedia mengeluarkan biaya demi memperoleh nilai tambah.   
Sebagaimana sektor pembangunan ekonomi, kemajuan perekonomian sangat ditentukan oleh peran pihak (perusahaan) swasta dibanding perusahaan pemerintah (BUMN). Hal ini dikarenakan kalangan swasta pada umumnya cenderung lebih dinamis, kreatif dan penuh inovasi dibandingkan kalangan pemerintahan.
Demikian pula dengan pendidikan, di mana inovasi dan berbagai kemajuan di bidang pendidikan juga lahir dari lembaga-lembaga pendidikan swasta, bukan sekolah pemerintah. Hal ini dikarenakan sekolah swasta lebih bebas untuk melahirkan berbagai inovasi dibanding sekolah negeri yang terbelenggu birokrasi. Karena itu, perkembangan pendidikan swasta diakui sebagai indikator penting yang menunjukkan maju-tidaknya pendidikan suatu daerah, bahkan negara.
Di negara-negara maju dan kota-kota besar, sekolah swasta merupakan pilihan pertama bagi masyarakat sadar pendidikan. Sekolah-sekolah terkemuka di kota-kota besar juga didominasi sekolah-sekolah swasta.
Universitas terkemuka di dunia mayoritas didominasi oleh universitas swasta. Karena itu, untuk mendorong kemajuan pendidikan, hampir semua universitas negeri terkemuka di Indonesia saat ini “diswastakan” melalui penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Mengapa Jokowi Diserang Habis-habisan?

Irfan Tamwifi Pensiun dari jabatan presiden, tidak membuat Jokowi terbebas dari berbagai serangan politik seperti yang dihadapinya menjelang...