TRANSLATE

Senin, 12 Januari 2009

MERAGUKAN KTSP

-->Beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Indonesia dimarakkan dengan perubahan demi perubahan kurikulum, baik dari tataran konseptual maupun implementasinya dalam pembelajaran. Berbagai pihak mulai dari pemerintah sampai lembaga-lembaga pengembang pendidikan nasional dan trans-nasional terlibat dalam berbagai penyelenggaraan pelatihan, seperti AUSAID, USAID dan beberapa lagi dari Eropa melalui berbagai organnya seperti LAPIS atau DBE yang saat ini getol dengan proyek pelatihannya di Tanjunganom Nganjuk.
Di satu sisi, hal ini dapat dipandang sebagai terobosan untuk memperbaiki kualitas pendidikan, yang dimulai dari perubahan paradigma konservativisme-esensialisme ke arah konstruktivisme pendidikan. Namun demikian, upaya ini tampaknya belum akan memberikan perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan maupun praktik pembelajaran di sekolah manapun. KBK, KTSP atau entah apa lagi yang akan muncul nanti tampaknya sangat layak untuk tetap diragukan keampuhannya dalam memperbaiki kualitas pendidikan.
Hal ini dikarenakan persoalan mendasar pendidikan di negeri ini tampaknya bukan terletak pada persoalan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran mana yang paling hebat, melainkan pada persoalan manusia, kualitas SDM. Kenyataan paling umum yang dapat dijumpai adalah rendahnya kompetensi profesional, budaya kerja, etos kerja serta tanggung jawab profesi para pengelola dan pelaksana tugas-tugas pembelajaran, baik guru, pengelola sekolah, maupun aparat pendidikan.
Kritik “paradigma baru pendidikan” selama ini tertuju pada “paradigma lama” yang dinilai tidak kontekstual karena terlalu menekankan ranah kognitif. “Pendidikan lama” terlalu teoretik dan jauh dari pengalaman anak didik. Padahal kalau dicermati secara sederhana saja, “paradigma lama” yang diterapkan di negeri ini sebenarnya juga hasil imitasi sistem dan pola pendidikan Barat. Di negeri asalnya, sistem serupa telah menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menjadi basis kemajuan peradaban Barat. Sementara sistem serupa yang diterapkan di negeri ini hanya menghasilkan pengangguran, aparat dungu dan korup.
Artinya, letak persoalannya bukan pada paradigma, pendekatan atau metode, melainkan pada kualitas SDM, kemampuan, pola pikir dan pola kerja mereka dalam mengapresiasi kemajuan Barat. Sistem, paradigma, pendekatan atau metode apapun tidak akan berarti selama tidak ditunjang budaya, pola pikir, etos kerja dan pola kerja pelaksana pendidikan, terutama guru dan aparat pendidikan.
Setelah sekian puluh kali pelatihan diselenggarakan dengan biaya yang tidak sedikit, sebenarnya masih perlu dipertanyakan sekolah mana yang benar-benar mampu menerapkan CTL? Sangat-sangat jarang dan mungkin juga tidak ada. Bahkan pada sekolah-sekolah percontohan KBK dan KTSP di beberapa daerah pada dasarnya belum ada perubahan paradigma pembelajaran yang signifikan, selain mengganti GBPP dan Satpel dengan silabus dan RP atau RPP. Sedangkan mayoritas pola pembelajaran yang digunakan masih sama persis dengan sebelumnya.
Menguatnya paradigma konstruktivistik melalui KBK, dan kemudian KTSP dengan CTL-nya mengekspresikan kuatnya budaya latah masyarakat kita. Seperti pengalaman sebelumnya, ketika CBSA mengemuka, semua gandrung CBSA, ketika link and match menjadi isu nasional, semua bicara link and match. Sekarang, ketika KTSP menjadi buah bibir, seolah-olah tidak ada yang lebih baik dibanding KTSP, hingga aparat pendidikan kita sering mengambil sikap layaknya jurkam KTSP. Padahal kalau mau jujur, dalam praktiknya tidak ada yang benar-benar berubah.
Singkat kata, “paradigma baru” pada dasarnya belum berhasil - untuk tidak mengatakan gagal - mengubah paradigma berfikir atau paradigma pembelajaran guru, pengelola sekolah, bahkan pada tingkatan aparat pendidikan. Pada tataran aparat pendidikan, hal ini dapat dilihat pada masih adanya upaya penyeragaman, baik program, silabus, RPP hingga masalah-masalah teknis pengelolaan nilai dan rapor, termasuk kalender pendidikan. Ini memperlihatkan bahwa semangat kebebasan, pluralisme dan desentralisasi yang mendasari KTSP jauh dari alam pikiran mereka.
Pelatihan dan perubahan kurikulum sendiri hampir-hampir tidak pernah muncul dari inisiatif sekolah atau aparat pendidikan, tapi hasil proyekisasi sebagian pihak yang memiliki akses pada instansi pemerintah atau founding berduit. Kalaupun banyak guru senang mengikuti pelatihan, hal itu tidak lepas dari berbagai reward dan fasilitas pelatihan seperti uang saku atau transport yang masih terlalu bernilai di mata mereka. Sementara untuk menerapkannya di sekolah, pola pembelajaran baru ini rata-rata masih tetap disikapi sebagai beban.
Apalagi kematangan konsep dan implementasi KTSP masih sangat rendah dan rawan berubah-ubah. Situasi ini menjadikan sekolah tak ubahnya kelinci percobaan dari treatmen satu ke treatment yang lain. Bagaimana tidak, dalam waktu kurang dari empat tahun, silabus, RP atau RPP hingga rapor sudah berubah setidaknya tiga kali. Dengan cara ini, guru, siswa dan pastinya wali murid bukan semakin dicerdaskan, tapi malah dibuat bingung. Sedangkan guru sebagai pelaksana lebih memilih bersikap masa bodoh.
Mengikuti pola perubahan seperti ini adalah sebuah kekonyolan baik bagi guru, sekolah dan juga siswa. Pembelajaran cenderung mengambang tak tentu arah, karena cara lama sudah harus ditinggalkan, sementara cara baru sama sekali belum dikuasai. Kekonyolan ini potensial terus berlanjut, bila setelah Pemilu 2009 nanti menteri dan dirjen pendidikannya ganti orang dan mereka membikin “proyek baru” yang akan memperpanjang kekonyolan para guru dan pengelola sekolah, sementara yang diuntungkan hanya pengelola proyek pelatihan.
Agar tidak terus terombang-ambing bahkan bisa-bisa terpuruk rame-rame, akan lebih bijaksana bila para pengelola sekolah tidak mau lagi anut grubyuk “proyek perubahan” semacam ini. Akan lebih baik bilamana setiap sekolah berani merekonstruksi kurikulum dan pendekatan pembelajarannya sendiri. Tidak semua “pola pembelajaran lama” itu buruk dan harus ditinggalkan, dan tidak semua yang baru adalah yang terbaik dan harus diimani dan diamini. Jelasnya, tidak semua yang ada pada KTSP harus dipakai dan cocok bagi setiap sekolah.
Ini bukan berarti menolak perubahan, tapi sekedar upaya agar setiap perubahan tidak diperlakukan sebagai keharusan atau instruksi yang wajib dipatuhi. Perubahan ke KBK, KTSP atau apa lagi yang akan muncul nanti mestinya dibiarkan mengemuka sebagai tawaran diskursif agar guru dan pengelola sekolah belajar merespon sendiri sesuai kebutuhan masing-masing.
Kalaupun KTSP telah menjadi “ideologi” belajar yang wajib diimani, mestinya tidak perlu ada penyeragaman, apalagi pemaksaan. Hal ini dikarenakan KTSP memberi kesempatan setiap sekolah untuk membangun pilihan kurikulumnya sendiri, membangun mesin dan sistem produksinya sendiri sesuai jaminan mutu yang dibutuhkan konsumennya. Beragam memang, tapi keragaman pilihan kurikulum pada setiap sekolah justeru akan memperkaya khazanah tentang cara memperkembangkan pendidikan. Penyeragaman seperti selama ini terjadi, selain bertentangan dengan visi kebebasan, pluralisme dan desentralisasi yang diusung paradigma baru selama ini, hanya akan mengabadikan bébékisasi guru dan sekolah. Bagaimana kita dapat terbang setinggi elang, bila terbiasa digiring seperti bebek?

1 komentar:

tatminingsih mengatakan...

Jika kita bicara masalah kurikulu di Indonesia.... saya merasa... apapun namanya dan kapanpun masanya.... tetap sama saja...
Anak-anak kita hanya di drill dan dipaksa intelektualnya untuk melaju... namun kompetensi sosial, emosional dan spiritualnya sama sekali belun dijamah... seandainya ada materi tersebut dalam kurikulum... tetap saja kemampuan kognitifnya yang disentuh... mereka harus menghapal dan menghapal. Sama sekali tidak konkret dan tidak merasakan atau mendapatkan pengalaman langsung.... jadi mau CBSA kek... KBK kek... atau KTSP kek.... intinya.... SAMA SAJA....

salam