TRANSLATE

Rabu, 05 Januari 2011

GARA-GARA TOPI?

Aneh, lucu, konyol, ngawur, tidak waras. Sebenarnya istilah-istilah itu tidak pantas diucapkan, tapi itulah kata-kata yang dapat kami pakai untuk menggambarkan. Terus terang kesal juga, meski kami tahu harus bersabar dan bersabar...
Pegawai bagian koperasi tadi pagi tergopoh-gopoh ke rumah. Dia bilang ada seorang wali murid yang ngamuk, marah-marah, karena mau membeli topi untuk anaknya, tetapi tidak ada barang di koperasi. Dia lantas pulang dan kembali lagi dengan membawa kamera dan berkalung tanda pengenal, konon wartawan.
Dia memaksa pegawai koperasi difoto, dan mengajak beberapa wali murid untuk mendukung aksi konyolnya. Sambil memfoto beberapa bagian koperasi dan sekolah, konon dia bilang akan memberitakan hal ini di media massa, entah media apa yang dia maksud.
Salah seorang pengurus komite sekolah, pak Syarif, mendekati orang itu dan berdebat perihal alasan yang membuat orang itu bersikap aneh. Selain karena masalah topi bagi anaknya, ampai saat ini kami tidak tahu masalah yang sebenarnya dikeluhkan. Wakasek SDI Darush Sholihin sendiri bilang, "Saya sendiri heran, bagaimana mungkin orang bisa begitu marahnya hanya gara-gara topi?" 
"Apakah dia tidak bisa bicara baik-baik dengan guru atau kepala sekolah? Apakah masalah seperti itu sudah termasuk masalah yang tak bisa dibicarakan? Mengapa orang semacam itu begitu mudahnya mengumbar amarah, mengobral kata-kata kotor dan sejenisnya? Mengapa ada orang yang bersikap seolah tidak ada rasa hormat pada lembaga pendidikan di mana anak-anaknya belajar dan dididik di sini?" tanyanya.
Tentu saja hanya orang itu yang tahu jawabannya, tapi yang jelas orang itu sudah salah menilai kami. Dia mengkira kami takut wartawan, takut diberitakan ini dan itu, takut sekolah ini tidak laku kalau diberitakan ini dan itu, padahal seujung kukupun kami tidak takut!!! Sama sekali tidak!!! Sungguh boddooh bila ada yang mengira kami demikian. 
Meski ada kekurangan di sana sini, sekolah ini dinyatakan sebagai sekolah dengan managemen terbaik di wilayah ini. Begitupun, kami sedikitpun tak bangga dan tak peduli dengan predikat itu, apalagi cuma berhadapan dengan wartawan (entah wartawan beneran atau tidak) yang mau memberitakan hal buruk tentang sekolah kami hanya gara-gara masalah topi. Konyol sekali!!!
Lagi pula apakah wartawan beneran bersikap seperti itu? Kami sangat kenal seperti apa sikap jurnalis yang sesungguhnya. Yang jelas, tidak seperti itu. Sama sekali tidak. Pasal UU pers atau kode etik jurnalistik mana yang membenarkan sikap konyol seperti itu? 
Sungguh terlalu picccik bila ada berfikir kami takut kehilangan murid, sebab itu berarti menganggap kami mendirikan sekolah ini demi rupiah. Dan pasti lebih guoblog lagi bila  ada yang mengira kami hidup dari sekolah ini. 
Sekolah ini memiliki managemen paling transparan di wilayah ini. Keluar dan masuknya uang jelas, tidak ada yang lebih terbuka dibanding sekolah kami, dan semua orang tahu berapa puluh juta kami harus menutupi biaya pendidikan di sekolah ini tiap tahu. Mereka yang melek managemen pasti tahu berapa besar dana yang kami keluarkan setiap tahun agar anak-anaknya dapat memperoleh pendidikan terbaik di wilayah ini? Hanya orang super bodoh yang berfikir mendirikan sekolah sebagai bisnis.  
Beberapa waktu lalu ada juga yang bersikap serupa, mengumbar amarah, mengumbar kata-kata sinis, kasar, kotor tanpa sedikitpun merasa malu. Syukur alhamdulillah, sebagian sudah keluar dari sekolah ini, karena mereka tidak pantas berada bersama kami. Ironisnya, sepertinya masih ada beberapa pengikutnya yang tersisa.
Kami tidak tahu pasti mengapa akhir-akhir ini ada wali murid yang bersikap seperti itu. Apa masalah mereka? Mengapa mereka tidak bicara baik-baik? Mengapa mereka begitu mudah mengumbar sikap konyol seperti itu?
Yang pasti kami justeru kasihan terhadap orang-orang seperti ini. Mereka pasti sedang bermasalah, dan hanya menjadikan orang lain sebagai kompensasi. Apakah mereka lupa di lembaga pendidikan ini putera-puterinya belajar, memulai membangun harapan bagi masa depan mereka? Apakah mereka tak tahu sikap moral mereka tak pantas dilihat, didengar apalagi ditiru anak-anaknya? Mengapa mereka bisa kehilangan akal sehatnya????  

Tidak ada komentar: