TRANSLATE

Senin, 12 Januari 2009

MISORIENTASI PENDIDIKAN

-->
Masalah mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah rendahnya mutu lulusan baik dari segi keilmuan (intelektual), pembentukan kepribadian (character building) maupun kompetensi profesional. Akibatnya pendidikan di negeri ini seolah hanya menjadi masa penundaan pengangguran hingga sesorang anak manusia lulus dari dunia pendidikan. Tentu saja, penyebab rendahnya mutu pendidikan tersebut terkait dengan berbagai hal, mulai dari faktor manusia (antropologi), budaya, sistem pendidikan, situasi politik, ekonomi dan berbagai faktor lain yang sangat kompleks dan saling kait-mengkait.
Dari perspektif manusia dan kemanusiaan (antropologi), kecenderungan rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat dicermati dari cara pandang dan orientasi masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri. Tanpa banyak disadari, masyarakat kita telah berkembang menjadi manusia yang formalistik. Artinya orientasi hidup kita lebih tertuju pada target-target formal dibanding meraih kenyataan yang hakiki (esensial). Dalam kasus yang umum dapat kita perhatikan, banyak orang bangga bila anaknya naik kelas, lulus ujian akhir sekolah atau bahkan menjadi juara kelas, meski mungkin bila melihat kemampuan sebenarnya tidak demikian. Sebaliknya, mungkin sekali kita kecewa bilamana anak kita atau kita sendiri tidak naik kelas atau lulus ujian, meski berdasarkan kemampuan dan hasil tes yang dilalui anak memang yang bersangkutan tidak layak lulus.
Di masyarakat juga mudah dijumpai banyak orang bangga memakai gelar kesarjanaan, bahkan magister atau doktor dalam bidang keilmuan tertentu, meski tidak melalui proses pendidikan sebagaimana mestinya. Dari kalangan pejabat tinggi sampai rendahan dengan mudah dapat dijumpai, banyak orang tidak malu memakai gelar akademik tertentu meski kemampuan yang dimiliki tidak merepresentasikan kualitas gelar yang disandang.
Dari sini dapat dinyatakan bahwa banyak orang yang menempuh pendidikan tertentu tapi sebenarnya tidak untuk mencerdaskan diri. Meski menempuh pendidikan formal, sebenarnya banyak orang tidak benar-benar ingin pintar atau menguasai bidang keilmuan/keahlian tertentu, melainkan hanya menginginkan ijasah saja. Karena itu, dapat dipahami mengapa pendidikan di negeri ini tidak dapat mencapai tujuannya. Tujuan pendidikan yang mestinya untuk pencerdasan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sering terbelokkan menjadi jalan untuk meraih gengsi dan harga diri.
Dalam pengalaman mengelola lembaga pendidikan Darush Sholihin, kami sering menjumpai banyak pelamar yang nota bene sarjana pendidikan tapi tak tahu apa-apa soal menyusun program, tak paham visi dan misi, tak kenal administrasi pendidikan, strategi pengajaran, pengembangan program dan hal-hal yang mestinya menjadi bagian dari keahlian seorang sarjana pendidikan. Banyak sarjana yang kemampuannya hanya di atas kertas ijasah, dan tidak dalam keilmuan dan praktik kependidikan.
Bukan rahasia lagi, ujian akhir sekolah yang masih dipaksakan saat ini banyak dipenuhi kecurangan yang melibatkan kalangan guru dan sekolah, dan sedihnya, justeru banyak seolah dan orang tua yang bangga anak-anaknya lulus dengan cara demikian. Kita tidak merasa sedih dan bersalah meski anak-anak kita dibekali kebohongan dan kecurangan justeru di lembaga yang seharusnya membentuknya menjadi manusia jujur dan penuh integritas. Sebaliknya, banyak wali murid kecewa dan memilih memindahkan putera-puterinya ke sekolah lain karena putera-puterinya dinyatakan tidak naik kelas.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa orientasi pendidikan masyarakat kita sebenarnya masih belum terarah pada upaya mencerdaskan putera-puterinya melainkan juga demi nilai-nilai yang bersifat formalitas. Bila kecenderungan ini terus berlangsung maka yang terjadi dan tak mungkin terhindarkan adalah lahirnya sarjana-sarjana formal seperti di atas. Akibatnya, generasi yang akan melajutkan masa depan negeri ini sepuluh atau dua puluh tahun ke depan tampaknya tidak akan banyak berbeda dari yang ada saat ini.
Kasus-kasus serupa juga terjadi di luar dunia pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kecenderungan serupa seolah menjadi bagian dari keseharian kita, seperti dalam mengurus SIM (Surat Ijin Mengemudi), melanjutkan pendidikan, menjadi pegawai negeri, militer atau instansi tertentu, atau memenangkan suatu perlombaan. Kita selalu ingin berhasil, meski tidak melalui proses yang sebenarnya; kita selalu ingin menang meski seharusnya kalah. Kita hanya menginginkan selembar SIM, status sosial, atau juara meski sebenarnya kita belum pantas mendapatkannya. Kita selalu ingin diakui sebagai orang hebat atau diakui punya anak-anak pintar, meski sebenarnya tidak demikian. Padahal, dengan sikap demikian berarti kita sudah mengorbankan harga diri kita yang hakiki.
Ironis, dan mungkin inilah yang disebut éyang Ronggo Warsito sebagai jaman édan; sing ora édan ora kêduman. Lembaga pendidikan benar-benar dihadapkan pada dilema, bila mudah mencetak ijasah dan meluluskan siswa dengan segala cara diminati orang, sementara mereka yang bersungguh-sungguh memegang teguh prinsip akademik ditinggalkan. Padahal, tugas lembaga pendidikan mestinya untuk membentuk manusia yang mampu berfikir waras, jernih dan cerdas, bukan sebaliknya. Naudzubillahi min dzalik.

1 komentar:

DUNIA ANAK KITA mengatakan...

Sebagai guru dan pendidik PAUD saya merasa bahwa anak-anak kita kebanyakan diajarkan untuk mengejar prestasi yang tertuang di kertas. Anak-anak di uji bacaan sholatnya namun tidak dilihat seberapa banyak dia bolong sholatnya, anak-anak disuruh menghapal lagu-lagu wajib namun tidak pernah dinilai seberapa paham dia terhadap lagu-lagu tersebut... Hal yang sangat memprihatinkan bagi saya....